TISSA
Ada hal-hal tertentu yang terkadang membuat aku malas untuk bekerja salah satu diantaranya adalah; bertemu Lhambang. Kemarin, Ayah dan Ibuku sampai terbengong-bengong melihatku meminta uang untuk membayar taksi lalu pagi hari tadi mereka juga terbengong-bengong melihatku meminjam uang pada mereka dengan asalan akhir bulan nanti aku ganti.
Mereka memang sempat menanyakan ada apa dengan aku, kemana tasku dan apa yang sebenarnya terjadi kenapa hari ini aku tak sama sekali mengenakan pakaian kerjaku malah mengenakan pakaian santai dan bangun siang hari. Kubilang saja kalau hari ini aku memang sedang malas bekerja dan ingin jalan-jalan, memanjakan diriku sendiri. Untungnya, mereka tak banyak bertanya sehingga aku bisa pergi secepat mungkin dari rumah.
Dan disinilah aku saat ini, di toko roti dan kopi di sebrang kantor
SYAILENDRADari pertama kali ke rumah ini aku sudah tahu kalau penghuni rumah ini sangat-sangat ramah, apalagi Ibunya Tissa, dia ceriwis sekali. Baru datang aja dia sudah berani-beraninya nyuruh aku buat nyobain masakannya, udah kayak orang lama kenal kita pokoknya. Keluarga ini asik, saking asiknya aku sampai kepusingan sendiri. Ayahnya Tissa suka main catur, dia juga suka olahraga bulutangkis. Kami udah ngobrol dikit-dikit tadi perihal bulutangkis, nyambung sih. Cuma aku heran, kenapa Tissa kepribadiannya beda banget sama keluarganya ini. Tissa itu, nggak seceria keluarganya dia bahkan sesekali kelihatan banget kalau dia lagi kepusingan padahal kalau ditanya sama Ghea, Tissa lagi nggak mikirin apa-apa, katanya bengong itu enak dan dia lagi menikmati masa-masanya menyukai bengong.“Mau pergi kemana emang sama Tissa, Ndra?” aku melirik Tissa yang duduk di sampingk
GHEA “Bangun udah pagi.” Ucapan Ibuku barusan membangunkan aku dari mimpi jadian sama Lhambang, sial banget. Padahal udah tinggal sedikit lagi tapi matahari udah memancarkan sinarnya aja pagi ini, dan tumben sekali pagi ini Ibuku repot-repot membangunkan aku dari tidurku. Biasanya dia nggak akan pernah mau repot-repot membangunkan aku sekalipun aku udah kesiangan banget buat masuk kerja, dengan masih menguap aku duduk diatas ranjangku. Melihat Ibuku yang sedang membereskan baju-bajuku yang berserakan di dekat bak baju kotor, dia tak mengoceh sih, hanya saja kelakuanku pagi ini membuat aku malu pada Ibuku dan juga diriku sendiri karena sudah sebesar ini aku masih belum juga bisa mengurus diriku sendiri. “Ge, udah kesiangan banget emang, Ma?” “Enggak, ini masih jam enam pagi.” Katanya, menutup bak pakaian kotor. “Terus kenapa bangunin, Ge. Kalau masih sepagi ini?” aku ber
Tissa Hubungan yang awet itu tentang ketulusan, saling menguatkan, saling memberi perhatian dan tahu caranya memberikan rasa nyaman. Aku dulu sering sekali mengidam-idamkan hubungan yang seperti itu, sampai akhirnya aku bertemu dengan Lhambang. Si pria manis yang kelihatannya sangat tulus kepadaku dan yang selalu menguatkan aku ketika aku sedang lelah-lelahnya atau ketika aku sedang mengalami masalah. Aku jatuh cinta padanya, ketika dia selalu membuatku merasa nyaman dan aman. Sampai lupa kalau bisa jadi, semua yang dia lakukan kepadaku itu bukan sebuah bentuk ketulusan melainkan sebuah bentuk keharusan. Dia harus melakukan itu padaku, agar aku percaya padanya dan dia bisa memanfaatkan aku pada akhirnya. “Nih, cemilan.” Lendra masuk kembali ke dalam mobil, setelah kami berhenti sebentar di rest area untuk mengisi bensin. “Banyak amat.” “Iya dong, kan perjalanan ki
GHEA“Nggak bawa payung?”Sebuah suara yang berasal dari sisi sebelah kananku membuat aku menoleh, Lhambang ada di sana. Sedang memandangku yang sedang menggerutu karena hujan datang sore hari ini.“Hai,” Sapaku.“Hai juga.” Dia balas menyapa. “Nggak bawa payung atau lagi nunggu di jemput Syailendra?”“Nggak bawa payung dan nggak lagi nunggu Syailendra.” Jawabku. “Tumben jam segini udah pulang? Nggak lembur?”Dia tersenyum. “Mau ke rumah Tissa, makanya nggak ambil lemburan.”“Ada apaan nih? Kok nggak ngajak-ngajak gue?”&ld
GHEAAku dan Lhambang sudah tiba di rumah Tissa sejak lima belas menit yang lalu, tapi kami belum juga bisa mengobrol dengan kedua orangtua Tissa karena mereka sedang melakukan ibadah magrib berjamaah jadi terpaksa kami menunggu mereka selesai ibadah terlebih dahulu alih-alih ikut melakukan ibadah juga. Aku tak menanyakan kenapa Lhambang tak sholat Magrib karena aku tahu kalau dia memang jarang sekali beribadah, kalau bukan Tissa yang suka ngambek-ngambek dan marah sama Lhambang kalau dia nggak solat mungkin Lhambang masih akan bolong-bolong terus sholatnya seperti hari ini saat tak ada Tissa dia tak sholat. Ini memang bukan contoh yang baik, jangan ditiru ya.“Lama ya, eh udah pada makan belum, Ghe? Lham?” Ibu Tissa yang bernama Tante Yana menghampiri kami seorang diri Om Uya—Papanya Tissa, belum bergabung bersama kami katanya sedang ada mengurusi kerjaan.“Udah udah kok, Ma.” Lhambang menj
SYAILENDRAAstaghfirullah!!! Gara-gara macet di jalan kami nggak jadi mantai dan malah berujung kami hanya bisa makan, ibadah dan cari tempat buat tidur. Dan kalian tahu apa hal yang paling gilanya lagi? Nih, sekarang aku lagi satu kamar sama Tissa dia nggak berani tidur sendirian di hotel ini karena takut katanya. Jadilah aku dan dia nyewa kamar yang ada tempat tidurnya dua. Walaupun misah tempat tidur, tapikan tetap aja ini nggak benar. Orang yang melihat kami pasti akan berpikir yang bukan-bukan soal kami, mana wajah kami nggak ada mirip-miripnya lagi nggak bisa deh aku buat alasan kalau dia adalah adik aku.“Nggak mandi?” Tissa baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan dia lagi ngucek-ngucek tuh rambut pakai handuk.Kami baru saja tiba di hotel ini, dan dia—Tissa langsung ngabrit buat bersih-bersih, karena katanya tubuhnya udah lengket banget. Padahal kalau dilihat-lihat dia nggak ada
GHEA“Berhenti dulu, lo mau kemana sih?!” aku terpaksa berteriak sembari menarik tangan Lhambang agar dia berhenti berjalan. Kami sudah tiba di depan gerbang kompleks perumahan Tissa, tinggal menunggu taxi atau ojek lewat saja kami sudah bisa pergi dari tempat ini.“Ke rumah Lendra!” teriaknya tak kalah kesal, sementara malam hari ini masih hujan. Orang-orang yang berteduh di sebrang warung sudah melihat ke arah kami.“Percuma, dianya aja nggak ada dirumahnya!”“Gue tunggu dia sampai pulang!”“Bisa besok, 'kan?” aku memelankan nada suaraku. “Ngapain repot-repot ke sana kalau nggak ketemu orangnya, besok pas orangnya pulang baru deh lo kesana.”Orang emosi memang bebas melakukan apa saja, orang emosi memang kadang pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memaklumi sikap Lhambang k
TISSASyailendra nggak benar-benar memeluk diriku, kukira ketika dia bangun dari ranjangnya dan berjalan ke arahku itu akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku sudah membayangkan dia akan membuka bajunya perlahan-lahan sambil berjalan ke araku, lalu ketika sudah mendekat dia akan berjongkok dan menggendongku lalu melemparkan aku ke atas ranjang dan permainan panas kami akan di mulai. Pemikiranku memang terlalu liar, mungkin karena itulah aku gagal menggoda Syailendra malam ini. Cuaca yang dingin serta hawa kamar yang terasa panas tak mampu membangkitkan gairah nafsu Syailendra, apa mungkin aku yang kurang menarik di matanya sehingga dia tak sama sekali kepikiran untuk tidur dengan aku saat ini?“Masih kedinginan nggak?” Dia bertanya sambil meletakkan minuman kaleng di meja, lalu dia duduk di sebelahku. Kami sama-sama menghadap ke arah laut saat ini. “Suhunya udah gue atur, kalau masih kedinginan bilang aja ya.”