GHEA
“Nggak bawa payung?”
Sebuah suara yang berasal dari sisi sebelah kananku membuat aku menoleh, Lhambang ada di sana. Sedang memandangku yang sedang menggerutu karena hujan datang sore hari ini.
“Hai,” Sapaku.
“Hai juga.” Dia balas menyapa. “Nggak bawa payung atau lagi nunggu di jemput Syailendra?”
“Nggak bawa payung dan nggak lagi nunggu Syailendra.” Jawabku. “Tumben jam segini udah pulang? Nggak lembur?”
Dia tersenyum. “Mau ke rumah Tissa, makanya nggak ambil lemburan.”
“Ada apaan nih? Kok nggak ngajak-ngajak gue?”
&ld
GHEAAku dan Lhambang sudah tiba di rumah Tissa sejak lima belas menit yang lalu, tapi kami belum juga bisa mengobrol dengan kedua orangtua Tissa karena mereka sedang melakukan ibadah magrib berjamaah jadi terpaksa kami menunggu mereka selesai ibadah terlebih dahulu alih-alih ikut melakukan ibadah juga. Aku tak menanyakan kenapa Lhambang tak sholat Magrib karena aku tahu kalau dia memang jarang sekali beribadah, kalau bukan Tissa yang suka ngambek-ngambek dan marah sama Lhambang kalau dia nggak solat mungkin Lhambang masih akan bolong-bolong terus sholatnya seperti hari ini saat tak ada Tissa dia tak sholat. Ini memang bukan contoh yang baik, jangan ditiru ya.“Lama ya, eh udah pada makan belum, Ghe? Lham?” Ibu Tissa yang bernama Tante Yana menghampiri kami seorang diri Om Uya—Papanya Tissa, belum bergabung bersama kami katanya sedang ada mengurusi kerjaan.“Udah udah kok, Ma.” Lhambang menj
SYAILENDRAAstaghfirullah!!! Gara-gara macet di jalan kami nggak jadi mantai dan malah berujung kami hanya bisa makan, ibadah dan cari tempat buat tidur. Dan kalian tahu apa hal yang paling gilanya lagi? Nih, sekarang aku lagi satu kamar sama Tissa dia nggak berani tidur sendirian di hotel ini karena takut katanya. Jadilah aku dan dia nyewa kamar yang ada tempat tidurnya dua. Walaupun misah tempat tidur, tapikan tetap aja ini nggak benar. Orang yang melihat kami pasti akan berpikir yang bukan-bukan soal kami, mana wajah kami nggak ada mirip-miripnya lagi nggak bisa deh aku buat alasan kalau dia adalah adik aku.“Nggak mandi?” Tissa baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan dia lagi ngucek-ngucek tuh rambut pakai handuk.Kami baru saja tiba di hotel ini, dan dia—Tissa langsung ngabrit buat bersih-bersih, karena katanya tubuhnya udah lengket banget. Padahal kalau dilihat-lihat dia nggak ada
GHEA“Berhenti dulu, lo mau kemana sih?!” aku terpaksa berteriak sembari menarik tangan Lhambang agar dia berhenti berjalan. Kami sudah tiba di depan gerbang kompleks perumahan Tissa, tinggal menunggu taxi atau ojek lewat saja kami sudah bisa pergi dari tempat ini.“Ke rumah Lendra!” teriaknya tak kalah kesal, sementara malam hari ini masih hujan. Orang-orang yang berteduh di sebrang warung sudah melihat ke arah kami.“Percuma, dianya aja nggak ada dirumahnya!”“Gue tunggu dia sampai pulang!”“Bisa besok, 'kan?” aku memelankan nada suaraku. “Ngapain repot-repot ke sana kalau nggak ketemu orangnya, besok pas orangnya pulang baru deh lo kesana.”Orang emosi memang bebas melakukan apa saja, orang emosi memang kadang pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memaklumi sikap Lhambang k
TISSASyailendra nggak benar-benar memeluk diriku, kukira ketika dia bangun dari ranjangnya dan berjalan ke arahku itu akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku sudah membayangkan dia akan membuka bajunya perlahan-lahan sambil berjalan ke araku, lalu ketika sudah mendekat dia akan berjongkok dan menggendongku lalu melemparkan aku ke atas ranjang dan permainan panas kami akan di mulai. Pemikiranku memang terlalu liar, mungkin karena itulah aku gagal menggoda Syailendra malam ini. Cuaca yang dingin serta hawa kamar yang terasa panas tak mampu membangkitkan gairah nafsu Syailendra, apa mungkin aku yang kurang menarik di matanya sehingga dia tak sama sekali kepikiran untuk tidur dengan aku saat ini?“Masih kedinginan nggak?” Dia bertanya sambil meletakkan minuman kaleng di meja, lalu dia duduk di sebelahku. Kami sama-sama menghadap ke arah laut saat ini. “Suhunya udah gue atur, kalau masih kedinginan bilang aja ya.”
GHEAMemulai sesuatu memang berat, tapi percayalah. Nggak ada proses yang percuma, begitu yang aku tahu. Karena itu aku selalu bersemangat untuk memulai pendekatanku dengan Lhambang saat ini, karena aku tahu nggak akan ada proses yang percuma meskipun jalannya berat dan panjang. Tapi aku yakin banget kalau proses akhirnya adalah aku yang akan bahagia nantinya dengan apa yang sudah aku lakukan sejauh ini, ingat sekali lagi kalau nggak akan ada proses yang percuma. Proses itu nggak akan pernah mengkhianati hasil, aku yakin sekali itu makanya sekarang aku hanya perlu berusaha lebih keras lagi agar apa yang aku mau segera tercapai.“Apartemen ini nggak pernah ditinggalin?” Lhambang bertanya padaku, kami sama-sama sudah mengganti pakaian dan sekarang kami sedang makan mie instan.“Jarang.”“Kenapa?”“Dulu ini tempat minggat bokap gue, makanya
SYAILENDRA Akhirnya, aku mendadak langsung pulang dengan Tissa malam hari ini juga. Bukan karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak mengenakan nanti malam tetapi karena kami—Aku dan Tissa—baru saja dapat kabar kalau Lhambang dan juga Ghea baru saja pulang dari rumah Tissa. Ibu Tissa yang menceritakan semua kronologi tersebut melalui telepon, saat kami sedang asik mengobrol sambil menikmati pemandangan laut yang aduhai, telepon itu pun masuk. Butuh waktu sepuluh menit untuk Tissa bertelepon dengan Ibunya dan butuh waktu lima menit bagi Tissa meyakinkan aku untuk pulang ke Jakarta karena ada hal yang harus dia urus, yaitu tentang kesalahpahaman Lhambang. “Tidur aja, nanti kalau udah sampai gue bangunin, Tiss.” Kataku. “Nggak apa, gue emang lagi pengen begadang sih malam ini. Gue temenin lo nyetir aja, nanti kalau lo capek atau ngantuk gantian aja sama gue nyetirnya.”
GHEASebuah kenyamanan itu pasti datang tanpa disengaja, seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Saat aku dipeluk dengan begitu erat oleh Lhambang, pelukan ini terasa hangat dan nyaman. Membuat aku tak rela jika harus menutup mata untuk tidur, padahal Lhambang sudah menyuruh aku tidur sejak tadi. Sejak dia menyelesaikan permainan kami setelah dua ronde berjalan, katanya dia tak ingin membuat aku kelelahan padahal aku tahu dia masih sangat ingin menghabiskan malam yang panjang ini bersamaku.“Kamu nggak tidur?” dia bertanya, sambil memeluk tubuhku dari belakang.“Belum bisa.”“Kenapa?”“Nggak tahu.”“Pengen lagi?” Tanyanya. “Atau lapar? Mau aku belikan makanan?”Lihat kan, dia memang seperhatian dan sepengertian ini. Wajar kalau aku selalu ngotot kepada S
TISSATengah malam hari ini, aku sedang mencoba terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya terluka. Bagaimana tidak, baru datang ke rumah ini ketika si pemilik rumah membukakan pintu dan melihat siapa yang datang aku langsung di tampar tanpa tahu salahku apa, Syailendra sempat maju dan memarahi si pemilik rumah. Menanyakan apa maksud dan tujuannya langsung menamparku, dan betapa terkejutnya kami saat ini ketika mendengar Ibu dari Lhambang mengatakan alasannya. Katanya, aku selingkuh dengan laki-laki di sebelahku ini. Aku juga sedang mengandung anak dari laki-laki di sebelahku ini, aku tak tahu siapa yang menebar fitnah sekeji ini apakah itu Lhambang atau Ghea.“Tante denger dari mana berita nggak bener ini?!” kupanggil saja dia Tante saat ini karena aku tak sudi menyebutnya dengan panggilan Mama atau Ibu, terlalu istimewa.“Dari anakku,” katanya melipat tangan di dada dan menandangiku dengan raut