GHEA
“Berhenti dulu, lo mau kemana sih?!” aku terpaksa berteriak sembari menarik tangan Lhambang agar dia berhenti berjalan. Kami sudah tiba di depan gerbang kompleks perumahan Tissa, tinggal menunggu taxi atau ojek lewat saja kami sudah bisa pergi dari tempat ini.
“Ke rumah Lendra!” teriaknya tak kalah kesal, sementara malam hari ini masih hujan. Orang-orang yang berteduh di sebrang warung sudah melihat ke arah kami.
“Percuma, dianya aja nggak ada dirumahnya!”
“Gue tunggu dia sampai pulang!”
“Bisa besok, 'kan?” aku memelankan nada suaraku. “Ngapain repot-repot ke sana kalau nggak ketemu orangnya, besok pas orangnya pulang baru deh lo kesana.”
Orang emosi memang bebas melakukan apa saja, orang emosi memang kadang pikirannya tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memaklumi sikap Lhambang k
TISSASyailendra nggak benar-benar memeluk diriku, kukira ketika dia bangun dari ranjangnya dan berjalan ke arahku itu akan menjadi hal yang menyenangkan. Aku sudah membayangkan dia akan membuka bajunya perlahan-lahan sambil berjalan ke araku, lalu ketika sudah mendekat dia akan berjongkok dan menggendongku lalu melemparkan aku ke atas ranjang dan permainan panas kami akan di mulai. Pemikiranku memang terlalu liar, mungkin karena itulah aku gagal menggoda Syailendra malam ini. Cuaca yang dingin serta hawa kamar yang terasa panas tak mampu membangkitkan gairah nafsu Syailendra, apa mungkin aku yang kurang menarik di matanya sehingga dia tak sama sekali kepikiran untuk tidur dengan aku saat ini?“Masih kedinginan nggak?” Dia bertanya sambil meletakkan minuman kaleng di meja, lalu dia duduk di sebelahku. Kami sama-sama menghadap ke arah laut saat ini. “Suhunya udah gue atur, kalau masih kedinginan bilang aja ya.”
GHEAMemulai sesuatu memang berat, tapi percayalah. Nggak ada proses yang percuma, begitu yang aku tahu. Karena itu aku selalu bersemangat untuk memulai pendekatanku dengan Lhambang saat ini, karena aku tahu nggak akan ada proses yang percuma meskipun jalannya berat dan panjang. Tapi aku yakin banget kalau proses akhirnya adalah aku yang akan bahagia nantinya dengan apa yang sudah aku lakukan sejauh ini, ingat sekali lagi kalau nggak akan ada proses yang percuma. Proses itu nggak akan pernah mengkhianati hasil, aku yakin sekali itu makanya sekarang aku hanya perlu berusaha lebih keras lagi agar apa yang aku mau segera tercapai.“Apartemen ini nggak pernah ditinggalin?” Lhambang bertanya padaku, kami sama-sama sudah mengganti pakaian dan sekarang kami sedang makan mie instan.“Jarang.”“Kenapa?”“Dulu ini tempat minggat bokap gue, makanya
SYAILENDRA Akhirnya, aku mendadak langsung pulang dengan Tissa malam hari ini juga. Bukan karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak mengenakan nanti malam tetapi karena kami—Aku dan Tissa—baru saja dapat kabar kalau Lhambang dan juga Ghea baru saja pulang dari rumah Tissa. Ibu Tissa yang menceritakan semua kronologi tersebut melalui telepon, saat kami sedang asik mengobrol sambil menikmati pemandangan laut yang aduhai, telepon itu pun masuk. Butuh waktu sepuluh menit untuk Tissa bertelepon dengan Ibunya dan butuh waktu lima menit bagi Tissa meyakinkan aku untuk pulang ke Jakarta karena ada hal yang harus dia urus, yaitu tentang kesalahpahaman Lhambang. “Tidur aja, nanti kalau udah sampai gue bangunin, Tiss.” Kataku. “Nggak apa, gue emang lagi pengen begadang sih malam ini. Gue temenin lo nyetir aja, nanti kalau lo capek atau ngantuk gantian aja sama gue nyetirnya.”
GHEASebuah kenyamanan itu pasti datang tanpa disengaja, seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Saat aku dipeluk dengan begitu erat oleh Lhambang, pelukan ini terasa hangat dan nyaman. Membuat aku tak rela jika harus menutup mata untuk tidur, padahal Lhambang sudah menyuruh aku tidur sejak tadi. Sejak dia menyelesaikan permainan kami setelah dua ronde berjalan, katanya dia tak ingin membuat aku kelelahan padahal aku tahu dia masih sangat ingin menghabiskan malam yang panjang ini bersamaku.“Kamu nggak tidur?” dia bertanya, sambil memeluk tubuhku dari belakang.“Belum bisa.”“Kenapa?”“Nggak tahu.”“Pengen lagi?” Tanyanya. “Atau lapar? Mau aku belikan makanan?”Lihat kan, dia memang seperhatian dan sepengertian ini. Wajar kalau aku selalu ngotot kepada S
TISSATengah malam hari ini, aku sedang mencoba terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya terluka. Bagaimana tidak, baru datang ke rumah ini ketika si pemilik rumah membukakan pintu dan melihat siapa yang datang aku langsung di tampar tanpa tahu salahku apa, Syailendra sempat maju dan memarahi si pemilik rumah. Menanyakan apa maksud dan tujuannya langsung menamparku, dan betapa terkejutnya kami saat ini ketika mendengar Ibu dari Lhambang mengatakan alasannya. Katanya, aku selingkuh dengan laki-laki di sebelahku ini. Aku juga sedang mengandung anak dari laki-laki di sebelahku ini, aku tak tahu siapa yang menebar fitnah sekeji ini apakah itu Lhambang atau Ghea.“Tante denger dari mana berita nggak bener ini?!” kupanggil saja dia Tante saat ini karena aku tak sudi menyebutnya dengan panggilan Mama atau Ibu, terlalu istimewa.“Dari anakku,” katanya melipat tangan di dada dan menandangiku dengan raut
SYAILENDRAIbu adalah perhiasan rumah, tak ada yang dapat mengetahui hakikat ini kecuali jika kita sudah kehilangannya. Melihat Ibu Tissa menangis sambil memeluk putrinya, aku jadi ikut sedih dibuatnya. Bagaimana tidak, saat datang ke sini sekitar satu jam yang lalu, yang membukakan kami pintu adalah beliau. Yang paling panik dan kaget melihat wajah putrinya memerah dan pakaiannya yang masih basah sedikit adalah beliau, aku bisa lihat dengan jelas raut wajah kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya bagaimana dia ingin mendengar dengan cepat bagaimana cerita yang terjadi pada Tissa dan kenapa hal ini bisa terjadi dengan begitu tenang dan tanpa mereka—orangtuanya Tissa ketahui.“Kamu tahu dimana Lhambang sekarang, Ndra?” Ayah Tissalah yang membuka suara terlebih dahulu, istri dan anaknya masih sibuk menangis sambil berpelukan.“Nggak tahu, Om. Tissa udah hubungi Lhambang tapi dia nggak angkat tel
TISSAGhea salah, yang dia butuhkan bukanlah seseorang yang sempurna. Tetapi, seseorang yang bisa menerima dia dengan sempurna dan menutupi semua kekurangannya. Singkatnya, bukan Lhambanglah yang dia butuhkan tetapi Syailendra namun dengan bodohnya dia membuang laki-laki yang sedang bersamaku ini hanya demi laki-laki yang mempunyai status denganku. Padahal sudah kukatakan berkali-kali kalau Ghea pasti akan menyesal jika menjadi pacar Lhambang, baik aku atupun Syailendra rupanya sudah mengatakan kepadanya kalau Lhambang itu orangnya seperti apa tapi Ghea tetap bersikeras ingin dengannya jadilah aku dan Syailendra tak punya pilihan lain selain diam dan membiarkan dia dengan pilihannya sendiri itu.“Awalnya memang Ghea telepon Mama, Ndra. Dia bilang Tissa lagi hamil anak kamu makanya dia putusin kamu dan sekarang lagi galau banget, dia memang minta izin nggak pulang tapi dia nggak ngomong mau ke mana. Makanya, Mama pikir dia baik-baik aja
TISSAMaafkanlah, meski engkau dizalimi. aku ingat betul apa kata Syailendra ketika kami sampai di tempat ini, ketika aku baru turun dari mobil dia langsung menarik tanganku dan mengatakan bahwa aku harus memaafkan mereka—Ghea dan Lhambang—meski aku habis dizalimi. Dia sama sekali tak meralangku untuk marah, tapi setelahnya akan lebih baik kalau aku berbesar hati untuk memaafkan mereka agar semua masalah ini nantinya kelak tak jadi penyakit hati untuk diriku sendiri dan aku setuju untuk apa yang Syailendra katakan saat ini. Aku akan memaafkan mereka sekalipun mungkin aku akan menjaga jarak dengan mereka nantinya tak akan aku biarkan diriku atau orang-orang baik yang ada di hidupku berhubungan lagi dengan mereka.“105920 kode aksesnya, Ndra. Buka aja nggak perlu diketuk.” Titah Ibunya Ghea, saat ini kami sedang ada di sebuah apartemen milik Ghea. Jujur saja aku baru mengetahui tempat ini, selama berteman dengannya aku