Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 10
Mentari sudah menepi di ufuk barat. Berganti dengan rembulan yang kian memancarkan sinarnya. Bintang bertaburan memenuhi angkasa. Ibu berjalan mondar-mandir ke sana ke mari menunggu anak bungsunya kembali, namun, tak jua kembali. Mendung menyelimuti hatinya. Hati yang semula membeku itu, nampaknya mulai mencair."Ya Allah Ratih ... kemana kamu pergi, Nak?" ucapnya lirih. Lelah berjalan, sejenak ia meletakkan pantatnya di atas kursi ruang tamu. Pandangannya lurus ke arah pintu, dengan bibir komat kamit, entah apa yang ia baca.
Aku hanya duduk terdiam menemani ibu. Sambil berdoa dalam hati agar dimanapun Ratih berada tetap dalam keadaan baik-baik saja. Terkadang, seseorang hanya butuh teman, bukan nasihat. Ah gini amat anak perawan jika tak mendapatkan restu. Semua merasakan dampak akibat ulahnya.
Mas Yusuf pun tak bisa tenang, ia sedang menunggu di teras rumah setelah menghubungi teman Ratih yang
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 11"Saat menikah saya sedang fokus untuk kuliah. Pemasukan hanya dari pekerjaan sampingan saya sebagai penjaga kafe saat malam hari. Awalnya mantan istri saya bisa menerima keadaan saya, namun karena kebutuhan rumah tangga juga kebutuhan pribadinya yang semakin banyak, membuat ia pada akhirnya sering menuntut. Keadaan saya yang belum mampu itulah yang membuat saya akhirnya memilih untuk berpisah.""Punya anak dengannya?" tanya ibu tegas."Belum, Bu.""Surat cerai?" tanya ibu lagi. Pertanyaannya bak hakim yang sedang menghakimi tersangka."Ada, Bu. Semua jelas dan lengkap.""Lantas, pekerjaan kamu apa? Guru?""Iya, Bu. Alhamdulillah saya sudah pengangkatan. Saya resmi menjadi ASN tahun lalu.""Apa kamu bisa menjamin bahwa jika saya merestui kalian, tidak akan ada perpisahan seperti pada mantan istrimu?"Ah ibu ... bagaimana mungkin bisa memberi pertanyaan seperti itu pada seseo
Aku Mengolah, Mas. Demi Ibumu! 12"Ma, ayo ke rumah nenek Risma," pinta Rumi padaku saat tengah menemaninya tidur siang. Istirahat di siang hari sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Selain menjaga pola makan, istirahat juga wajib dijaga agar tubuh Rumi tidak mudah sakit."Iya, boleh. Minta izin sama ayah dulu, ya? Nunggu ayah pulang kerja dulu.""Kalau nggak boleh, Rumi mau nangis aja," ucapnya pura-pura merajuk."Nangis? Kayak adik bayi itu ya?" godaku sambil menoel pipinya."Cantik-cantik masa nangis? Kalau nangis malah nggak dikasih izin sama ayah," imbuhku.Seketika ia menoleh menghadapku."Jadi, nggak boleh nangis ya? Iya deh, Rumi nggak nangis. Kan Rumi pinter ya?" jawabnya lugu."Iya dong. Anak mama kan pinter.""Sekarang bobok dulu, ya? Habis ini ayah datang, nanti Mama sampaikan kalau Rumi minta ke rumah nenek Risma."Kuusap rambutnya lembut. Kemudian ia berbalik memunggungi
Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 13"Sabarlah, Nak. Tidak ada hidup tanpa ujian."Ibu mengusap lembut rambut panjangku di atas pangkuannya. Turut merasakan kesedihan yang kurasakan. Tidak ada solusi selain bersabar, sebab perpisahan bukan jalan terbaik."Aku lelah, Bu. Setiap hari seperti pembantu, tapi masih saja ibu mertua bicara seenaknya padaku.""Bahkan soal makanan Rumi pun, ibu masih menyalahkanku," ucapku dengan suara parau. Emosiku kembali naik saat mengingat kejadian lalu yang menyesakkan dada. Biarlah kuceritakan semua beban dihatiku, agar lega dada ini, daripada kuceritakan kepada orang lain."Jika segala ucapan orang tua kamu anggap menyalahkanmu, lantas bagaimana kamu akan belajar berbaik sangka?""Maksud Ibu?""Setiap manusia punya watak dan sifat yang berbeda. Juga punya cara sendiri-sendiri untuk menyampaikan pendapat mereka, tidak bisa disamaratakan. Kalau segala ucapannya kamu anggap menyakitimu, l
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 14Di ruangan serba putih suamiku terbaring lemah dengan beberapa luka memar di tubuhnya. Terdapat beberapa jahitan di keningnya karena benturan benda keras saat kecelakaan terjadi. Beruntung keadaannya tidak terlalu parah. Hanya saja butuh perawatan beberapa hari sampai kondisinya membaik.Ku pandangi tubuh lemah itu, tak tega hati ini melihatnya. Membayangkan pekerjaannya yang tiap hari berteman dengan jalan raya, malah mendapat kecelakaan saat akan menjemputku.Tak terasa air bening mengalir dari sudut netra ini. Apa yang sedang dipikirkannya hingga ia tak fokus saat mengendara dan membuat ia celaka seperti ini.Ratih sudah pulang satu jam yang lalu. Beruntung ada Ratih yang membantu mengurusi administrasinya. Karena polisi datang ke rumah ibu mertua untuk memberi kabar bahwa Mas Yusuf kecelakaan, sedangkan aku, masih berada di rumah orang tuaku. Hingga saat aku tiba, semua sudah bere
Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 15Bermalam di rumah sakit sungguh membuat tubuh terasa sakit semua. Tulang terasa ngilu, juga nyeri. Tidur hanya beralaskan tikar tipis di atas lantai. Namun, meski begitu tetap kulakoni demi melihat suamiku segera pulih kembali.Kurenggangkan tubuh setelah bangkit dari atas tikar. Kulihat Mas Yusuf masih terlelap. Karena semalam beberapa kali ia terbangun akibat kepalanya yang terasa nyeri. Aku lalu mencuci muka sebelum pergi shalat subuh.Suster datang membawa sebaskom air hangat untuk menyeka tubuh pasien setelah aku kembali. Kebetulan Mas Yusuf sudah terjaga, segera saja kuseka agar tubuhnya terasa segar.Dengan sangat pelan dan hati-hati kulepas bajunya, mengulur baju agar bisa keluar dari selang infus yang terpasang di tangan kanannya. Lalu kulanjut dengan menyeka tubuhnya, mulai dari wajah, lengan kanan dan kiri, lalu badan. Di bagian tubuh yang masih terdapat luka basah, tak kusentuh sama se
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 16"Jadi benar, Mas Yusuf kepikiran omongan ibu?"Tanyaku saat Ratih dan Bulek Sri sudah pulang.Kudorong kursi itu agar lebih dekat dengan ranjang Mas Yusuf. Kemudian aku duduk diatasnya.Mungkin untuk bersedia menjawab, Mas Yusuf harus diajak bicara dari hati ke hati. Itu artinya, aku harus menekan egoku agar ia mau bicara jujur. Kasihan bila ia terus tertekan dengan ucapan-ucapan ibunya."Mas, rumah tangga itu harus ada saling keterbukaan. Kalau ada apa-apa Mas Yusuf pendam sendiri, buat apa menikah?"Kucecar ia dengan pertanyaan lagi saat satu pertanyaanku tak kunjung ia jawab.Pandangannya kosong menatap langit kamar yang serba putih. Satu tangannya ia gunakan untuk menumpu kepalanya, sedang tangannya yang lain tetap lurus agar pergerakan jarum infus tak membuatnya semakin nyeri.Kupandangi saja wajah Mas Yusuf itu, sambil kubuat wajahku semelas mungkin. Tak boleh ada pera
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 17"Kondisi Pak Yusuf semakin membaik, hari ini kita lihat kondisinya lagi, kalau pusingnya semakin berkurang, besok sudah boleh pulang," ucap dokter Ferdy yang kutahu dari nametag yang menempel di dadanya."Alhamdulillah," sahutku. Senang sekali mendengar kabar sudah boleh pulang, meskipun baru besok."Masih ada keluhan, Pak?" tanyanya lagi setelah memeriksa tubuh Mas Yusuf dengan stetoskop."Nggak ada, Dok. Hanya masih suka terasa pusing saja."Mata Mas Yusuf masih suka terpejam saat pening di kepalanya datang menghampiri. Seperti saat ini, ia tengah meringis merasakan sakit di kepalanya."Nggak apa-apa, Pak. Kan masih dalam pemulihan. Obatnya harus rutin diminum ya, untuk menghilangkan rasa nyerinya. Jangan lupa juga, banyak pikiran juga bisa memicu datangnya rasa pusing. Sebisa mungkin kontrol pikirannya agar tidak terlalu banyak beban, biar cepat pulih," jelas laki-laki bersih nan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 18Bersyukur sekali keadaan Mas Yusuf sudah membaik. Sudah boleh pulang siang ini. Rasa pusingnya juga sudah banyak berkurang. Tak sabar untuk segera memberitahu Ibu dan Nisa agar segera mengantar Rumi kembali ke rumah siang nanti. Juga segera kukabari Ratih agar datang ke sini, untuk membantuku membawa barang-barang yang sudah selesai kukemasi.Tampak binar bahagia dari wajah Mas Yusuf saat dokter sudah memberinya izin untuk pulang. Segera ia memintaku untuk mengemasi barang-barang sebelum menghubungi Ratih tadi. Agar saat administrasi selesai kami bisa langung pulang."Kita pulang naik apa, Dik?"Mas Yusuf bertanya saat aku tengah sibuk menata barang dalam tas. Pertanyaannya sudah kuduga, namun hal ini sudah kupikirkan dengan Ratih."Nggak usah dipikirkan, Mas. Aku nanti akan memesan taksi online untuk kita.""Baiklah. Bagaimana motorku, Dik?""Sudah diantar ke rumah setelah M