Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 28
Lelaki itu masuk ke area bengkel mobil tepat di sebelah bengkel motor tempat Mas Yusuf memperbaiki motornya. Dari jauh kulihat ia masuk ke sebuah ruangan berdinding kaca dan duduk di satu-satunya kursi besar yang ada di ruangan itu.
Setelah duduk ia melambaikan tangan pada satu orang karyawan yang sedang mencuci mobil untuk masuk ke ruangan ber AC itu. Tak butuh waktu lama, seorang lelaki bertubuh kurus itu datang menghampirinya. Tampak kepala laki-laki muda itu mengangguk setelah mendapat perintah dari lelaki yang sedang duduk di kursi besar itu. Lelaki itu lantas berdiri dari kursinya, kemudian mengambil dua botol minuman dari lemari pendingin, lalu diberikannya kepada laki-laki muda.
Laki-laki muda itu adalah karyawan yang bertugas sebagai pencuci mobil. Setelah menerima dia botol minuman, ia lalu berjalan dengan sedikit cepat menuju ke arah tempatku duduk.
Sepasang bola mata dari dalam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 29"Kamu nggak pernah cerita punya teman pemilik bengkel mobil?" tanya Mas Yusuf saat kami sedang istirahat bersama siang ini."Alina saja baru tahu, Mas, kalau dia punya bengkel. Dulu sih cuma karyawan biasa!" jawabku sambil melingkarkan lengan di perutnya. Menikmati saat-saat berdua setelah kemarin kami terpisah jarak. Rumi sudah lebih dulu tidur di sisiku, nyenyak sekali."Yang ngasih minum tadi? Kenal juga?" selidiknya."Oh itu, anak buah Mas Azam juga, disuruh sama bosnya ngasih minuman.""Namanya Azam?" Mas Yusuf merubah posisi tidurnya menjadi berhadapan denganku. Mengamati setiap inci perubahan wajahku atas pertanyaannya."Iya, Mas Azam namanya," jawabku jujur tanpa ada yang kututupi sedikitpun."Azam yang waktu kita nikahan datang pake bawa bunga?""Iya, Mas."Rupanya Mas Yusuf masih ingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat di
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 30Mas Azam kembali dengan membawa sebotol bahan bakar di tangannya. Saat ia hendak menuangkan isi botol, bersamaan dengan itu Mas Yusuf melintas di depan kami. Ia melihatku berdiri di pinggir jalan, kemudian menghentikan laju kendaraannya. Lalu menghampiri kami tepat setelah Mas Azam selesai menuang seluruh isi bahan bakar dari botol ke dalam tanki kendaraaan.Mas Yusuf berjalan tergopoh menuju tempatku dan Mas Azam berdiri."Kenapa motornya, Dik?" tanya Mas Yusuf cemas."Ayaaahh!!!" teriak Rumi melihat Ayahnya datang menghampiri."Iya, Sayang." Rumi mendekat kemudian merangkul kaki Ayahnya."Kehabisan bahan bakar, Mas." Mas Azam menyahut setelah selesai menutup kembali tanki kendaraan milikku."Astaga!! Mas lupa isi, Dik! Maaf ya?" ucap Mas Yusuf. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya, sebab jarang sekali ia lupa. Biasanya sebelum menyerahkan uang hasil o
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 31"Ini obat yang Ibu minta," ucap Mas Yusuf seraya menyerahkan sebungkus obat. Kami tiba di rumah saat Ibu sedang melayani pembeli di warungnya."Berapa ini tadi? Ibu tadi habis dapat rejeki, lumayan bisa untuk beli obat ini," jelas Ibu setelah menerima obat dari tangan Mas Yusuf. Setelah obat itu dipegangnya, tangannya yang lain merogoh kantong bajunya, mengambil selembar uang lima puluh ribu untuk diserahkannya kepada Mas Yusuf."Ini, Suf.""Iya, Bu," jawab Mas Yusuf setelah menerima uang dari tangan Ibu dengan enggan. Kemudian Mas Yusuf masuk dengan wajah agak sungkan. Aku faham bagaimana perasaannya, dalam hatinya ia enggan menerima uang Ibu, tapi keadaan memaksa untuk ia menerimanya. Meskipun Mas Yusuf sudah diterima kerja kembali, tapi kami masih butuh biaya untuk menyambung hidup hingga ia gajian bulan depan. Biarlah sekarang ia terima uang Ibu, esok jika sudah gajian, akan kami beri sedikit rejek
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 32"Al ini tolong kupas bawangnya.""Al ini bawa ke sana, tata di meja.""Al ini kardusnya lipat.""Al ini belikan buah."Tak henti suara ibu memberi perintah, membuat tubuh ini seakan tak ada waktu untuk sekedar beristirahat barang sejenak.Ingin kuabaikan perintahnya, namun aku tak enak hati. Tak bisa menyumbang materi, setidaknya tenagaku harus mampu untuk meringankan pekerjaan Ibu. Juga karena pagi tadi sebelum berangkat Mas Yusuf sudah memintaku untuk membantu ibunya, sungkan bila tak amanah.Beruntung Rumi anteng bermain bersama Maya, aku jadi tenang melanjutkan pekerjaan dapur yang tak ada habisnya ini.Meskipun dibantu beberapa orang, tetap saja aku yang lebih ibu percaya untuk diberi banyak perintah, membeli segala sesuatu bila masih ada yang kurang. Seperti saat ini, aku sedang membeli buah segar untuk tambahan suguhan. Be
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 33Acara lamaran Ratih masih berlangsung di ruang tamu. Aneka macam suguhan tertata rapi di atas karpet yang digelar memenuhi ruangan. Para tetua kampung sudah duduk memadati ruangan yang disediakan untuk menjamu para tamu.Ratih tampak cantik dengan kebaya marun dengan bawahan batik warna senada. Hijab yang menutupi dadanya membuat penampilannya tampak anggun. Wajah Ratih juga tampak berbeda dari biasanya, dengan make up natural membuatnya terlihat lebih segar. Ia berjalan dengan anggun dari kamarnya menuju ruang tamu tempat dimana Arya sudah menunggu untuk menyematkan cincin sebagai tanda ikatan antara mereka berdua.Berbeda dengan Ratih, Ibu mengenakan gamis warna salem berbahan katun dengan kombinasi brokat di dadanya. Memakai hijab lebar menutupi sebagian dada, juga memberi sedikit sapuan bedak pada wajah tuanya yang membuatnya terlihat lebih cantik dari biasanya.Berbeda dengan mer
Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 34"Dek, Mas kan sudah bilang, nggak usah terlalu ngoyo bantu ibu!" ucap Mas Yusuf menjelang tidur malam. Kami sudah naik ke atas tempat tidur, menemani Rumi yang sudah terlelap sejak tadi."Gimana mau ngga ngoyo, Mas. Lihat ibu begitu sama aku, mau makan aja disuruh blender bumbu dulu." Aku semakin merapatkan tubuh pada Mas Yusuf. Berbantal lengan kirinya agar tubuh kami makin erat.Ini adalah saat yang paling menyenangkan bagiku setelah ia kembali bekerja di pabrik, karena kami bebas mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagai obrolan sebelum tidur. Kami bebas berdiskusi, untuk masa depan keluarga kecil ini nantinya.Setelah sekian tahun menikah, keadaan seperti ini baru aku lakukan setelah Mas Yusuf pulang dari rumah sakit kemarin. Saat dimana ia menyadari bagaimana sikap ibunya terhadap kami. Ketidakpe
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 35Pagi ini Mas Yusuf mengajakku melihat kondisi rumah yang akan kami sewa. Rumah minimalis dengan pagar setengah dada di depannya. Rumahnya sudah di renovasi sehingga tak nampak bentuk asli perumahannya. Bagus menurutku, tapi entah berapa harga sewanya, mungkin bisa sampai diatas lima juta per tahunnya.Sebenarnya aku ragu soal harga sewanya, takut jika keuangan kami tak menjangkau, namun Mas Yusuf berhasil meyakinkanku."Bagaimana Dek rumahnya? Kamu suka?" tanya Mas Yusuf meminta pendapatku.Sedangkan aku, sibuk mengamati setiap sisi rumah ini. Tampak bersih dan nyaman, hanya saja debu di atas lantainya lumayan tebal, mungkin karena lama tak dibersihkan oleh pemiliknya."Bagus sih Mas. Tapi, bagaimana harga sewanya? Kurasa harganya bisa sampai di atas lima juta pertahunnya. Sedang jika uangku kemarin untuk bayar sewa semuanya, hanya tersisa sedikit saja. Padahal kita masih harus beli
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 36"Masak gitu aja nangis, Mas?" tanyaku pada Mas Yusuf yang baru saja menceritakan sebab ibu menangis."Namanya juga orang tua Dek. Pasti punya kekhawatiran sendiri!" Jawabnya seraya merebahkan diri di sebelahku. Sedang aku masih sibuk dengan ponsel di tanganku."Khawatir gimana? Harusnya senang dong anaknya sudah bisa hidup mandiri? Meskipun masih ngontrak!" ucapku tak terima."Mungkin khawatir nggak ada yang bantu urus rumah kali!" imbuhku."Huss mulutnya!" Sahutnya sambil meletakkan jari telunjuk di tengah bibirnya."Ya apa lagi coba yang dipikirkan? Warung biasanya aku yang bantu beresin, rumah aku yang bersihin, bantu cuci gelas bekas kopi, kalau aku nggak ada? Capek dong ibu ngerjakan sendirian!" selaku tak mau berhenti. Takut bila Mas Yusuf s