Share

Mengalami Kecelakaan

Lagi, Dilan menyunggingkan bibir menatapku. Ada kepuasan tersendiri mungkin melihat aku terbakar emosi juga terpojok seperti ini. Awas saja, Dilan. Aku tidak akan tinggal diam.

“Lepaskan Kanaya jika kamu merasa terbebani dan tidak mampu menafkahi dia. Biarkan dia bahagia dengan laki-laki yang mencintai dia dengan segenap jiwa dan raga, sebab dia tidak pantas disakiti, apalagi hidup dengan laki-laki tidak berperasaan serta tak bermoral seperti kamu!” Dia berujar sambil membayar nasi yang dia pesan kemudian segera pergi meninggalkan diriku.

Aku terus menatap punggung laki-laki keturunan Tionghoa itu, merasa kesal namun tidak berani memberi dia pelajaran. Dilan terlalu kuat, tenaganya lebih besar daripada aku, dan aku yakin dia juga tidak akan tinggal diam jika aku sampai berani menyakiti fisiknya.

Malam kian beranjak larut. Aku masih duduk di teras sambil menatap jalanan yang sepi, berharap Kanaya kembali dan meminta maaf karena telah berani keluar rumah tanpa pamit kepada suami.

Mengambil sebatang rokok, menyalakan benda bernikotin itu lalu menghisapnya hingga aku terbatuk karena tidak terbiasa. Semenjak Kanaya pergi hidupku selalu sepi juga hampa. Sekedar memejamkan mata kala malam tiba pun terasa begitu sulit, walaupun badan terasa lelah dan menuntut untuk diistirahatkan. Tapi apalah daya, angan tetap saja berkelana memikirkan keberadaan istri.

Kenapa menjadi seperti ini? Sebenarnya ke mana Kanaya pergi. Kenapa dia tidak kunjung kembali?

Mematikan rokok, beranjak masuk dan menghempaskan tubuh dengan kasar di atas kasur. Ya Tuhan. Aku merindukan Kanaya. Aku butuh dia, apalagi sudah beberapa hari tidak menyalurkan hasrat biologisku kepadanya.

Mencoba memejamkan mata, namun baru beberapa detik aku terlelap, tangis seseorang di ruang tamu membuatku kembali terjaga. Buru-buru aku menyibak selimut, berjalan gontai menuju sumber suara sambil meraba tembok mencari sakelar lampu. Dan seperti biasanya, ruangan dalam keadaan kosong ketika penerangan rumah murah menyala.

Shit!

Menguyar rambut frustrasi, lama-lama bisa gila kalau terus menerus seperti ini. Aku harus bangkit. Melupakan, bahkan mungkin mengikhlaskan jika nantinya Kanaya tidak akan kembali.

Tapi, rasa cinta untuknya masih terlalu besar. Bahkan kecantikan serta kemolekan Santi tidak mampu menggantikan posisinya. Aku mengagumi wanita itu, tetapi tidak bisa mencintai dia seperti aku mencintai Kanaya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir jika Kanaya mau mempercantik diri, perbedaan antara dirinya dengan Santi bagaikan langit dan bumi. Kanaya itu berkulit putih dengan tubuh tinggi semampai serta body bagai gitar Spanyol. Namun entahlah. Semenjak dia menikah denganku, ia sudah seperti wanita berusia tiga puluh lima tahunan. Selalu kumal dan tidak mau berdandan. Jika aku menyuruhnya memakai bedak, dia malah hanya mengenakan bedak milik Thalita.

“Kalau mau istri kamu cantik ya belikan bedak dan lipstik, Mas. Cantik itu perlu modal, nggak gratis. Kalau kepengen kulit aku seperti saat masih gadis ya dibelikan skincare, dimodalin. Mau istrinya cantik tapi nggak mau mengeluarkan uang. Bagaimana istrinya mau cantik kalau cuci muka saja pakai sabun mandi. Bedakan pakai bedak bayi!” jawab Kanaya panjang lebar jika aku mengingatkan dia untuk berdandan.

Padahal, mempercantik diri di depan suami itu wajib dan mendapatkan pahala. Tapi tidak untuk istriku. Dia tidak pernah mau menuruti apa kataku dan malah merongrong uangku jika diingatkan. Padahal jika dia bisa menghemat uang yang aku berikan, maka dia bisa membeli apa saja yang dia mau termasuk kosmetik. Tapi Kanaya begitu boros. Uang yang aku berikan selalu saja habis tak tersisa seperak pun.

“Kamu pikir uang lima puluh ribu itu banyak banget, Mas. Buat belanja sayuran dan bumbunya saja sudah habis. Belum nanti jika dedek minta jajan!” sungutnya jika diingatkan untuk berhemat.

Kanaya memang keras kepala. Untung saja cantik dan aku sangat mencintai dia. Kalau tidak, sudah aku tendang sejak pertama kami menikah, apalagi setelah fisiknya mulai berubah.

Duduk di tepi ranjang, aku mengusap wajah kasar sambil menatap lemari baju yang berdiri tegak di samping ranjang. Sekali lagi memeriksa baju Kanaya, dan memang tidak ada yang dia bawa walau hanya sepotong saja. Aku hafal betul bentuk baju Kanaya yang hanya itu-itu saja, bahkan semuanya model lama. Baju yang dia bawa saat dia baru menjejakkan kaki di rumah ini. Makanya aku malas membawa dia ke acara-acara penting. Malu sama teman-teman karena dandanan Kanaya selalu kampungan.

Istri pemilik toko kelontong yang terkenal banyak uang kok bajunya itu-itu saja. Tidak menghargai status suami yang dipandang hebat oleh para tetangga, karena sudah sukses walaupun masih muda.

“Mas Gunawan. Bagaimana kabar Mbak Naya. Sudah dua hari saya tidak bertemu sama dia. Apa dia sakit?” sapa Ustazah Fauziah ketika aku hendak berangkat ke toko.

“Alhamdulillah sehat, Ustazah. Cuma dia belum mau keluar. Masih syok karena kehilangan putri kami,” dustaku. Padahal aku sendiri juga tidak tahu bagaimana kabar istri saat ini.

“Maaf, Mas Gunawan. Kalau bisa, setiap habis magrib diadakan tahlilan. Kalau di rumah nggak bisa, kita adakan di musala juga nggak apa-apa.”

“Saya ngadain tahlilan di rumah Ibu, Ustazah.”

Dahi guru ngaji anak serta istriku itu berkerut-kerut.

“Tapi, di rumah Bu Purwanti tidak pernah mengadakan tahlilan loh, Mas. Saya pernah memberi usul tapi Bu Pur malah marah-marah dan katanya tidak perlu. Dia bilang Cuma buang-buang uang saja, begitu, Mas.”

Kini giliran dahiku yang mengernyit. Bukankah semalam dia mengadakan tahlilan, bahkan sampai menghabiskan dana sebesar lima belas juta?

“Ya sudah, Ustazah. Nanti tolong diatur saja untuk masalah tahlilan. Soal biaya biar saya yang tanggung. Ustazah tinggal catat apa yang sudah dibeli, nanti uangnya saya ganti. Ustazah tahu ‘kan, kalau uang saya banyak dan tidak akan pernah habis tujuh turunan.”

“Baik, Mas Gunawan.” Dia menerbitkan senyuman.

Kami mengakhiri obrolan karena dia hendak mengisi tausiah di masjid komplek. Pun dengan diriku yang harus segera pergi bekerja, mengumpulkan pundi-pundi rupiah supaya semua orang yang ada di sisiku hidup bahagia.

Sebelum pergi ke toko, aku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Ibu, berniat mengklarifikasi ucapan Ustadah Fauziah tadi. Jika ternyata di rumah Ibu mengadakan tahlilan, berarti ustazah bohong. Tapi jika memang benar Ibu tidak mengadakannya, maka aku tidak akan lagi percaya kepada Ibu, walaupun dia wanita yang telah melahirkan diriku.

Memarkirkan sepeda motor, berjalan mengendap masuk tidak mau mengucap salam. Ingin tahu apa yang sedang Ibu lakukan jika sedang berada di rumah.

“Enak ya, punya anak bisa diporotin. Bodoh lagi. Gampang ditipu. Makanya Ibu seneng banget pas Gunawan ngasih kabar kalau Kanaya pergi. Akhirnya wanita benalu itu pergi. Mudah-mudahan orang-orangnya Ibu bisa menemukan Kanaya dan menghabisi dia. Nggak mau Ibu kalau harta warisan Gunawan sampai jatuh ke tangan Kanaya dan anak-anaknya. Enak saja, Ibu yang sudah mengurusnya dari kecil, orang lain yang menikmati.” Entah dengan siapa Ibu sedang berbicara, tapi kata-kata yang keluar dari mulut wanita itu benar-benar mampu membuat hati ini terasa panas.

Sebenci itukah Ibu kepada Kanaya, hanya karena saat menikah dengan diriku dia dalam keadaan tidak suci. Jika saja Ibu tahu laki-laki yang sudah menodai Kanaya itu aku, apakah penilaiannya terhadap istri akan berubah?

Ehem!

Ibu menoleh dan terkesiap ketika aku berdeham. Wajah perempuan berkulit kuning langsat itu berubah pias dan segera mengakhiri obrolannya.

Mataku menyipit ketika melihat kalung emas yang menggantung di leher Ibu. Ya, kalung itu adalah mas kawin yang aku berikan kepada Kanaya. Satu-satunya bukti penyatuan hubungan kami, dan Kanaya pernah bilang kepadaku kalau Ibu merebut paksa kalung emas itu dari dirinya. Tapi seperti biasa, aku tidak mempercayai ucapan Kanaya.

“Bu, siapa yang Ibu suruh untuk menghabisi Kanaya? Dan, kenapa kalung emas yang aku berikan sebagai mas kawin untuk Kanaya ada sama Ibu?” tanyaku berusaha menahan emosi.

“Ka—kamu salah dengar mungkin, Gun. Ibu tidak mungkin setega itu!” gagapnya.

“Tapi telinga aku tidak tuli, Bu. Sebenci itukah Ibu kepada istriku, sampai-sampai berniat menghabisi dia?!” sentakku. Untuk pertama kalinya aku meninggikan nada bicara di depan Ibu.

“Gun, Ibu cuma mau kamu bahagia. Ibu tidak sudi mempunyai menantu sudah tidak suci seperti dia. Memalukan!”

“Dan Ibu mau menguasai hartaku, Ibu juga mengatakan kalau aku ini bodoh!”

Mata Ibu membulat sempurna.

“Aku sudah mendengar semuanya, Bu. Ibu juga sudah mengambil secara paksa kalung itu ‘kan?” menunjuk leher Ibu, dimana kalung emas yang aku jadikan sebagai mas kawin sedang menggantung.

“Kanaya tidak pantas menggunakannya. Dia tidak pantas mendapatkan mahar dari kamu. Dia sudah tidak perawan saat menikah dengan kamu, Gunawan. Jadi kamu tidak perlu memberikan mas kawin sama dia, apalagi sampai membelikan kalung semahal ini!”

“Tapi aku yang mengambil kehormatannya secara paksa, Bu. Aku yang sudah memperkosa dia, demi obsesiku mendapatkan Kanaya!”

“Halah, nggak usah mengada-ada.”

“Terserah, Ibu mau percaya atau tidak.” Memutar badan, berjalan keluar tidak jadi mampir ke rumah.

“Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu kepada Kanaya, aku tidak akan segan-segan memperkarakan Ibu!” ancamku tanpa menoleh.

Kenapa keluargaku tiba-tiba berubah jahat seperti ini, Tuhan!

Menstater motor, melajukan kendaraan roda duaku membelah jalanan kota dengan kecepatan maksimal, sambil terus memikirkan ucapan Ibu juga keadaan istri.

Brak!

Tubuh ini terpental beberapa meter ketika sepeda motor yang sedang kukemudikan tiba-tiba menghantam pengendara lain yang sedang melintas. Tubuh ini berguling di atas aspal, darah segar terus mengucur dari pelipis serta hidung. Aku mengerang kesakitan akan tetapi tidak ada seorang pun yang berinisiatif menolong. Mereka hanya menonton dari kejauhan dan sibuk mengambil gambar, padahal cairan merah nan hangat terus saja mengucur hingga baju yang sedang kukenakan basah oleh darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status