Share

Bertemu Kanaya

Aku terus saja mengusap darah yang mengalir melewati mata. Kepala terasa berdenyut, dan tubuh terasa remuk akibat hantaman keras tadi. Kulit juga terasa perih karena memarut aspal.

Ya Allah, sakit sekali rasanya. Apalagi tidak ada seorang pun yang mau membantu, atau sekedar mendekat ke tempat kejadian. Bagaima jika aku sampai kehabisan darah dan mati?

Suara sirine mobil polisi terdengar mendekati. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya akan ada yang membawaku ke rumah sakit. Dua orang polisi akhirnya turun menghampiri, menanyakan keadaanku lalu membantuku untuk masuk ke dalam mobil.

Saat hendak masuk ke dalam mobil tersebut tiba-tiba kepala ini terasa pusing. Bumi tempatku berpijak seolah ingin menelanku lalu menenggelamkannya. Semua terasa gelap, hingga ketika membuka mata aku sudah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang terasa lemas seperti tidak bertenaga.

Aku terus menoleh ke arah kanan dan ke kiri, tidak ada seorang pun yang menemani. Berbeda dengan pasien sebelah yang terlihat begitu diperhatikan oleh anggota keluarganya.

"Bapak sudah bangun?" sapa seorang suster dengan intonasi sangat lembut.

Aku hanya menjawab dengan menganggukan kepala.

"Saya sudah menghubungi keluarga Bapak, dan kata ibu serta adik Bapak, mereka akan segera datang ke rumah sakit. Ini ponsel milik Bapak. Maaf, kami tadi mengambil ponsel Bapak yang ada di saku celana untuk menghubungi kerabat terdekat Bapak." Dia menyodorkan benda pipih persegi milikku, menyerahkannya kepadaku sambil menerbitkan senyuman.

"Saya permisi dulu. Kalau butuh apa-apa, silahkan panggil kami saja di nurse station."

Ah, bagaimana caranya aku memanggil perawat? Buat bangun saja susah, apalagi buat berjalan. Aku menggerutu dalam hati, sambil terus menatap punggung suster hingga dia menghilang di balik pintu.

*

Malam hari.

Aku menatap benda bulat berwarna biru yang menggantung di bilik dinding. Sudah pukul sembilan malam, tapi belum ada satu orang pun yang datang menjenguk, baik Ibu maupun Adelia. Kemana mereka, sampai-sampai tidak punya waktu membesukku yang sedang terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit.

Mengambil gawai yang tergeletak di samping tubuh, aku menghubungi Ibu ingin meminta dia untuk datang. Tersambung, tetapi tidak juga dijawab.

[Assalamualaikum, Bu. Tolong ke rumah sakit sekarang ya. Aku kecelakaan dan sekarang sedang dirawat.] Segera mengirimkan pesan kepada Ibu, karena aku lihat di pojok kiri layar kalau saat ini statusnya sedang online.

Hening. Hingga jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka satu dini hari, baik pesan w******p ataupun pesan short message rervice-ku tidak dibalas.

Ternyata seperti ini aslinya mereka semua. Hanya perduli ketika aku sehat dan membutuhkan uangku saja. Saat aku terkapar tidak berdaya, tidak ada yang mau perduli. Mereka enggan membesukku apalagi merawatku.

Ya Tuhan. Andai saja Kanaya masih berada di sisiku, pasti saat ini sudah ada yang menemani, bahkan menyiapkan segala kebutuhanku. Sebab jika aku sakit, Kanaya itu selalu terlihat panik dan mengurusku dengan telaten sampai aku sembuh. Bahkan ketika aku jatuh dan tidak bisa jalan hingga bagian tulang ekorku terkena penyakit ulkus dekubitus karena hampir tidak pernah digerakkan, dia dengan begitu telaten serta tanpa rasa jijik sedikit pun mengurusku walaupun saat itu dia sedang hamil muda.

"Kamu nggak jijik, Nay? Padahal tubuh aku bau, lho?" tanyaku sambil menatap lamat-lamat wajah cantiknya.

"Untuk apa jijik, Mas. Kamu ini 'kan suami aku. Kamu saja dulu tidak merasa jijik sama aku walaupun tubuhku sudah kotor, apalagi aku hanya membersihkan nanah seperti ini." Dia menyahut sambil mengembangkan sedikit senyuman.

Aku mengusap rambut Kanaya yang tergerai indah. Jika saja yang melakukannya bukan aku, mungkin juga akan merasa jijik menyentuh tubuh perempuan yang sudah dijamah oleh laki-laki lain. Karena aku bukan lelaki sebaik juga selegowo itu.

Tanpa sadar dua butir air bening sudah meluncur begitu saja membasahi pipi. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan istri yang begitu sempurna seperti Kanaya, mengabaikan perasaannya selama ini hanya demi menjaga perasaan orang-orang yang ternyata tidak pernah perduli kepadaku.

"Naya, Mas kangen. Kapan kamu kembali, Sayang?" Mengusap air mata yang sudah mengular, menatap potret istri yang ada di galeri ponsel.

Senyumnya, wajah cantiknya, dulu semuanya telah membuatku buta sehingga dengan tega menghancurkan masa depan Kanaya, merebutnya secara paksa dari Dilan dan bahkan membuat dia dibuang oleh keluarganya. Dia dianggap aib oleh bapak serta ibunya, diusir dari rumah dan akhirnya aku bagai seorang pahlawan datang melamar Kanaya dan menikahinya sehari setelah pinangan itu digelar.

"Maafkan Mas, Nay. Jika kamu masih cinta sama Mas, tolong kembalilah. Mas masih ingin menjalani biduk rumah tangga sama kamu. Memiliki banyak keturunan, dan Mas berjanji akan menyayangi anak kita nanti." Aku berujar sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk.

***

"Hari ini Bapak sudah boleh pulang ya. Alhamdulillah keadaan Bapak sudah membaik. Ini rincian biayanya, silahkan diurus dibagian administrasi." Suster menyerahkan selembar kertas dan kubaca dengan teliti. Total tujuh juta rupiah.

Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sakit sekaligus sesak karena hampir dua hari dirawat di rumah sakit tetapi tidak ada satu anggota keluarga pun yang menjenguk. Kasihan sekali diri ini. Hanya diperdulikan saat aku sedang sehat saja.

Berjalan tertatih menuju bagian administrasi, mentransfer semua biaya pengobatanku melalui mobile banking sebab dompetku hilang entah kemana saat terjadi kecelakaan. Setelah semua urusan selesai, aku segera memesan taksi online, berniat pulang ke rumah untuk mengistirahatkan badan serta hati.

Sebuah mobil berwarna hitam metalik menepi tidak jauh dari tempaku duduk. Aku pikir mobil tersebut taksi daring yang memang kupesan. Tetapi alangkah terkejutnya aku ketika melihat Dilan turun dari dalam mobil, memapah seorang wanita berhijab oranye membantunya berjalan menaiki undakan teras rumah sakit. Wajah si perempuan begitu pucat. Matanya sembab seperti habis menangis semalaman.

"Aku gendong ya, Nay. Aku nggak tega lihat kamu jalan seperti ini," ucap Dilan sambil menatapnya dengan penuh cinta.

Wanita itu hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Namun bukan Dilan namanya kalau langsung menyerah. Hatiku terbakar cemburu ketika tiba-tiba dia membopong tubuh lemah istriku, membawanya masuk ke unit gawat darurat lalu merebahkannya di atas brankar.

"Terima kasih, Dilan." Dengan suara lemah seperti orang tengah berbisik Kanaya berujar, menatap manik Dilan laki-laki yang dulu pernah dekat dengannya.

Bibir plum Dilan menerbitkan senyuman, membalas tatapan istriku tanpa berkedip. Sakit rasanya hati ini, melebihi rasa sakit di sekujur badan. Pedih hingga meresap ke pori-pori, panas bagai tersiram lava gunung berapi.

Tidak akan kubiarkan kalian kembali bersatu, karena Kanaya adalah milikku dan selamanya akan menjadi istriku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mariana Ulfi Fa
mantap trus lanjut kan semakin seru cerita ea tor .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status