"Ya, tapi sebenarnya penangkapan Wanda juga berkat petunjuk yang diberikan oleh Pak Ardi. Sejak awal dia sangat memperhatikan kasus ini, juga memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangannya. Tanpa bantuan Pak Ardi, kami nggak akan bisa menyelesaikan kasus ini secepat ini. Dia juga mendesak kami untuk mempercepat persidangan, membawa para pelaku ke pengadilan," jawab Bu Neila dengan serius.Aku menjadi lebih terkejut dan tidak tahan untuk bertanya, "Bukankah dia datang untuk membebaskan Zelda?""Membebaskan Zelda? Dokter Raisa, apa kamu bercanda? Bukti atas tindakan Zelda nggak terbantahkan, mustahil bisa lolos begitu saja. Hukum itu adil untuk semua orang." Bu Neila menatapku dengan geli, tetapi langsung tenang kembali, "Dokter Ardi nggak akan melakukan hal seperti itu. Dia sendiri yang menyerahkan Zelda ke polisi.""Apa?"Aku mengerti setiap kata dari kalimat terakhir Bu Neila, tetapi semuanya terasa tidak masuk akal.Sebenarnya bukannya tidak mengerti, melainkan aku tidak b
Saat itu Ardi sedang berdiri di pintu masuk kantor polisi dan Bu Neila berbicara dengannya.Ardi agak menarik perhatian. Meskipun hanya berdiri diam mendengarkan Bu Neila, aura yang tenang dan wajah yang tajam itu saja sudah cukup untuk menarik perhatian dari kejauhan.Tatapanku terpaku pada sosok gelap itu sejenak, lalu buru-buru menjauh dengan kepala tertunduk dan terus maju.Tidak mengejutkan kalau Ardi ada di sini, dia juga salah satu pihak yang terlibat dalam kasus ini. Aku diculik karena dia.Terlebih lagi, Zelda yang Ardi cintai ditahan di kantor polisi dan dia pasti sibuk berusaha membebaskannya.Dia benar-benar bekerja keras demi Zelda.Melihatku datang, Bu Neila menoleh ke arahku dan langsung melambaikan tangan. "Dokter Raisa, sini."Ardi menoleh.Tatapan pria itu jatuh ke wajahku, sudut bibir tipisnya agak melengkung dan sudut mata penuh harap di balik kacamata berbingkai perak itu terangkat, berangsur-angsur menjadi cerah."Raisa," panggilnya dengan gembira.Ardi melangkah
"Siapa dia?" tanyaku dengan jantung berdebar.Aku sangat ingin tahu jawaban atas pertanyaan ini karena Rian mendadak menjadi sangat sibuk dua hari terakhir dan bahkan tidak mengirimkan pesan padaku. Awalnya kukira itu karena peningkatan beban kerja mendadak karena kehilangan tiga orang di Departemen Bedah Saraf, tetapi hari ini sepertinya bukan itu masalahnya.Kesibukan Rian belakangan ini ada hubungannya Nana itu."Nana itu Savina, putri sulung Keluarga Benedict yang hampir bertunangan dengan Rian," kata Steven dengan lembut.Aku tertegun, tidak bisa percaya. "Jadi ...."Jadi, Rian sangat dekat dengan nona Keluarga Benedict itu, karena hari ini aku mendengar caranya membujuk Nana."Ada lagi, dulu aku yakin kita harus bersaing secara adil, aku juga nggak suka merugikan orang lain demi keuntunganku sendiri. Tapi sekarang karena semuanya sudah begini, kurasa aku harus mengatakan yang sebenarnya." Steven berbicara lagi.Aku menatapnya dengan bingung. "Ada apa?"Ada sesuatu yang bergejolak
Kabar ini datang begitu mendadak, membuatku terkejut bukan kepalang.Aku ingat betul saat pergi ke kantor polisi dua hari lalu, Bu Neila bilang dia tidak bisa menemukan informasi apa pun mengenai Pak Rendra.Aku juga tahu betul Pak Rendra diutus oleh Keluarga Tanadi, mana mungkin Keluarga Tanadi membiarkannya ditemukan begitu mudah? Meskipun ditemukan petunjuk yang mengarah padanya, Keluarga Tanadi akan langsung memilih untuk membungkam semuanya. Mana mungkin mereka membiarkan Pak Rendra ditangkap hidup-hidup?Namun informasi Bu Neila memang akurat. Setelah terkejut sesaat, aku langsung menjawab, "Aku akan ke sana sepulang kerja."Saat pulang kerja, aku bertemu Rian di pintu lift. Dia sedang berbicara di telepon. "Nana, jangan begini. Tunggu aku, aku akan segera ke sana."Rian terlihat sangat cemas. Setelah mengakhiri panggilan, dia bergegas masuk ke lift dengan kepala tertunduk dan sibuk mengirim pesan, bahkan tidak menyadari aku yang berdiri di sampingnya.Melihat Rian sibuk, aku tid
Tadi saat turun dari mobil, aku terlalu terburu-buru dan panik, hanya memikirkan untuk segera melepaskan diri dari Ardi. Saat turun dari mobilnya, aku lupa membawa tas kanvas itu.Sekarang aku sudah melalui berbagai macam hal, tetapi sama sekali belum menyelesaikan satu tugas pun.Lupakan saja. Aku akan memintanya dari Ardi nanti. Aku rasa dia tidak akan menahan tasku dan menolak memberikannya padaku.Hujan deras memang turun sesuai dugaan saat sore hari. Aku beberapa hari ini merasa cukup lelah, jarang ada kesempatan untuk memegang secangkir teh panas sambil berdiri di dekat jendela untuk beristirahat sebentar. "Hujan ini turun dengan sangat cepat.""Ya. Hujan ini langsung turun tanpa ada peringatan. Dalam sekejap mata semuanya sudah basah." Devi sedang menunduk untuk memainkan ponselnya. Jari-jarinya mengetuk layar dengan sangat cepat."Kamu mengobrol dengan siapa? Kenapa sibuk sekali?" Ketika melihatnya begitu sibuk sampai tidak mendongak, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Itu adalah Steven.Keningnya yang tampan sedikit berkerut, sepasang mata indahnya tampak penuh kekhawatiran. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu tampak putus asa? Tadi kamu hampir saja ditabrak mobil. Apa yang terjadi?""Aku ...." Pada saat ini aku memang benar-benar bingung, hatiku merasa sangat kacau.Saat menatap sepasang mata Steven yang jernih, aku baru sedikit tersadar. Namun, sebelum aku bisa menjawab pertanyaannya, aku mendengar suara kendaraan dari belakang.Aku menoleh, melihat bahwa Range Rover hitam yang seperti binatang buas itu sedang mengejarku ke arah sini. Saat mobil mendekatiku, lajunya perlahan melambat. Wajah Ardi muncul setengah dari jendela mobil. Di balik kacamata berbingkai peraknya, sepasang mata hitam itu menatapku dalam, tetapi bibir tipisnya terkatup rapat.Kata-kata yang sudah sampai di ujung lidah akhirnya aku telan kembali.Steven mengikuti pandanganku, melihat ke sana. Pandangan Ardi berpindah dari wajahku, langsung bertatapan mata dengan Steven. Di udara tib