Kubuka mata perlahan walau berat. Sorot cahaya menyilaukan mata. Aroma minyak kayu putih menyeruak masuk ke indra penciuman. "Kamu sudah sadar Ais?" Kutoleh sumber suara. Daniel berdiri di sampingku, sorot kekhawatiran nampak di matanya. "Aku di mana,Dan?" Kulihat sekelilingku, ruangan bernuansa putih. Dengan aroma obat menyeruak di seluruh ruangan dan berbagai alat medis tertata rapi. Aku ingat-ingat, ya, tadi di rumah sakit setelah dari ruang rawat inap umi aku berjalan sempoyongan di koridor, setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. "Kamu masih di IGD,Ais, tapi kamu pingsan di koridor rumah sakit. Lalu ku bawa kamu ke mari. Dan sudah hampir satu jam kamu tak sadarkan diri," ucapnya sambil membantuku duduk. Satu jam, ternyata aku pingsan lumayan lama. Pasti Daniel khawatir padaku. "Terima kasih,Dan.""Diminum dulu, setelah itu kita periksa kondisi kamu." Daniel menyodorkan sebotol air mineral padaku. Ku teguk seperempatnya. "Kamu sudah enakan?" tanyanya dengan raut cemas. "Al
Mobil berjalan meninggalkan rumah sakit. Kendaraan berlalu lalang menimbulkan kemacetan di jalan kota. "Kita langsung pulang atau mau makan dulu Ais?" tanya Daniel memecah keheningan diantara kami. "Pulang saja Dan, aku tak nafsu makan."Daniel hanya mengangguk kemudian fokus melajukan mobil.Kupejamkan mata karena kepala masih terasa berputar-putar. "Aisyah, kita sudah sampai." tepukan pelan di pundak membangunkanku. Tak terasa mataku terlelap karena pusing hingga tak sadar telah sampai. Lho, kenapa berhenti di halaman rumah Mas Adam? Astaga, aku belum cerita pada Daniel. "Ayo turun Aisyah!" ucap Daniel setelah membuka pintu mobil. "Aku tidak tinggal disini lagu Aisyah. Bisa tolong antarkan aku pulang.""Oke." Daniel kembali menutup pintu dan melajukan mobil meninggalkan rumah Mas Adam. "Kamu sudah tak tinggal di rumah Adam?" tanya Daniel sambil melirik ku dari kaca spion. "Tidak Dan, aku tinggal di rumah peninggalan orang tuaku.""Bersama suami kamu? Bagaimana kalau suami ka
Tok ... Tok ... Tok.... Suara kaca jendela di ketuk dari luar. Daniel membuka pintu. Menanyakan pada lelaki berkulit hitam apa keperluannya."Masih lama tidak Mas?tempatnya mau dipakai mobil lain." ucap tukang parkir.Sebuah mobil berwarna hitam masih berhenti di pinggir jalan karena halaman depan minimarket sudah penuh dengan mobil dan motor."Maaf Mas." Daniel memberikan uang parkir dan melajukan perlahan kendaraan roda empat miliknya.Kami masih diam, jalan terasa lambat. Entah perasaanku atau memang laju mobil lebih lambat dari tadi.Sepuluh menit dalam diam hingga mobil Daniel memasuki kampung tempat tinggalku."Habis ini belok kanan Dan, rumahnya bercat hijau dengan pohon mangga di depannya." terangku. Daniel mengangguk lalu memutar mobil ke arah kanan."Terima kasih Dan." ucapku saat mobil berhenti tepat di depan rumah."Maaf aku gak bisa turun Ais, takut menimbulkan fitnah bagi kamu."Tak menyangka Daniel berfikir sejauh itu. Memang benar akan timbul fitnah jika mereka melihat
Kumasukan ponsel ke dalam tas setelah memesan taxi di aplikasi online. Lalu aku melangkah gontai meninggalkan ruang kerja. Sepi, karyawan lain sudah meninggal butik, hanya tinggal Mbak Bella yang masih di ruangannya. Perkataan Mbak Bella tempo hari kembali terngiang-ngiang di telinga. Aku seperti di hadapkan dua jalan, dan bingung harus memilih jalan yang mana. Kebimbangan kembali menyelimuti hati, satu sisi mengatakan untuk diam, satu lagi menginginkan diri ini berkata jujur kepada Mas Adam. KriinggSuara ponsel menggema di dalam tas. Kuambil benda pipih yang sedari tadi meronta-ronta, mencari perhatian. "Assalamu'alaikum...""Waalaikumsalam, saya sudah di luar mbak," ucap seseorang dari balik telepon. "Tunggu sebentar Pak." Kumatikan sambungan telepon. Berjalan lebih cepat menuju taxi online yang sudah menunggu di depan. "Sesuai aplikasi ya mbak?" tanya pak supir saat aku sudah duduk di bangku penumpang. "Iya Pak."Perlahan mobil melaju meninggalkan tempatku mengais rejeki. M
Sama seperti Mas Adam, Jesica terlihat syok namun berusaha menyembunyikan di balik senyumannya. "Selamat Aisyah, kamu akan menjadi seorang ibu." ucapnya sambil berusaha tersenyum. "Mau kamu apa Aisyah? Uang?" tanya Mas Adam membuat dada ini terasa nyeri. Apa semurah itu diriku di matanya? AstagfirullahKuelus dada yang bergemuruh hebat. Kenapa aku harus bertemu lelaki seperti itu? Hingga benihnya tertanam di rahimku. Apa dosa hamba Ya Allah? "Aku hanya butuh pengakuanmu dan akta kelahirannya.Biar bagaimanapun kamu adalah ayahnya. Aku ingin anak ini lahir memiliki akta kelahiran." Kuelus perut yang masih datar. "Berapapun uang yang kamu minta pasti akan aku berikan. Bahkan kebutuhan anak kamu nanti akan aku penuhi. Tapi aku tak bisa menikahimu secara negara. Aku tak akan mau rujuk padamu. Sampai kapanpun hanya anak Jesica nanti yang akan ku akui."DegUcapannya bagai belati yang menusuk hati. Mengoyaknya hingga tak terbentuk lagi. Aku kemari hanya ingin anak-anakku nanti mendapatk
Kubuka mata, kupindai setiap sudut ruangan. Nihil, aku tak tahu ini di mana. Ruangan dengan dominasi warna biru.Teringat dengan Putra, kekasih hati yang tak bisa ku miliki.Dia sangat menyukai warna biru,andai saja dia datang lebih awal untuk melamar ku pasti semua tak akan seperti ini. Sayang garis takdir Tuhan memisahkan kita. Mungkin ini yang namanya mencintai tapi tak dapat memiliki. Benda bulat yang menempel di dinding kamar menunjukkan angka sebelas. Perasaan semakin tak menentu mengingat kejadian terakhir. Aku pingsan di depan ruko yang telah tutup. Dan ketika membuka mata sudah ada di kamar ini. Ya Allah, aku ada di mana? Mencari tas yang tadi kukalungkan di pundak,ingin mengambil ponsel dan menghubungi Mbak Bella. Kucari kanan kiri tapi tak juga ku temukan. "Ah, kenapa aku ganti baju seperti ini?" teriakku memenuhi kamar. Gamis yang ku pakai tadi telah berganti dengan kaos panjang dan celana panjang lelaki. Dan sebuah hijab model ibu-ibu dengan banyak renda menempel di uj
"Good morning Ais, sini sarapan dulu." ajak Putra saat aku berjalan ke dapur. Semalam aku memang terpaksa menginap di kediaman Putra, karena tak mungkin pulang di tengah malam. Bila orang-orang tahu pasti akan menimbulkan fitnah. Ku jatuhkan bobot di kursi, tepat berhadapan dengan Putra. Bik Tutik sudah menyiapkan semangkuk bubur ayam dan teh hangat di untukku. Ku masukkan setiap sendok bubur hingga tandas tak tersisa. Mungkin ini salah satu nikmat yang Allah berikan padaku. Di saat kebanyakan ibu hamil muntah hingga susah makan. Tapi tidak denganku, muntah dan mual hanya beberapa kali saja. Setelahnya aku hanya mudah merasakan lapar. Mungkin karena aku mengandung dua janin di rahim, hingga membuat nafsu makanku meningkat. "Terima kasih Putra, kalau kamu tidak menyelamatkanku, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku." Ucapku memulai obrolan setelah keheningan menyelimuti kami. "Sama-sama Ais, wajib hukumnya menolong sesama bukan."Ucapannya membuat aku sadar siapa diriku ini. M
Sudah berhari-hari Jesica mendiamkanku setelah insiden tertangkap basah oleh Umi. Telepon tak diangkat.Pesan tak pernah di balas, hanya centang biru saja. Andai saja kamu mau berpindah keyakinan, barang tentu aku akan menikahimu dan menolak perjodohan dengan Aisyah. Jurang dalam hubungan kita terlalu dalam. Sadarkah kamu Jes? Haruskah kita selamanya seperti ini? Aku lelah, sangat lelah. [Sayang, aku ingin bertemu. Akan ku jelaskan semuanya]Kukirim pesan kepada Jesica semoga saja dia mau membalas pesanku ini. Hampir satu jam aku menunggu balasannya namun tetap saja tak ada pesan masuk meski pesanku sudah di baca. Kuacak rambut, frustasi. Aku bisa gila kalau sampai kehilangan Jesica. [Beri aku satu kesempatan Jes, aku tunggu di caffe biasa. Jam lima ya sayang.]Lagi-lagi pesan hanya dibaca tanpa di balas. Jesica jangan perlakukan aku seperti ini! Jarum jam sudah menunjukkan angka empat,ku tutup benda persegi berukuran empat belas inci dihadapanku. Aku harus segera sampai di caff