"Saya terima nikahnya Tiara Aisyah Kurniawan binti Kurniawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 10 gram dibayar tunai."ucap Mas Adam lantang dengan satu tarikan nafas. "Sah""Sah..." ucap mereka serempak memenuhi ruang rawat inap ayah. "Baarakallahu laka wabarakoa 'alaika wajma'a bainakumaa fii khoir." ucap Pak Penghulu.Kucium punggung tangan Mas Adam dengan khidmat, lelaki yang kini telah menjadi imamku. Lelaki yang baru kukenal hari ini di hari pernikahanku. Mungkin kebanyakan orang tak percaya, menikah dengan orang yang sama sekali kita tak kenal. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Bukankah sebagai seorang anak kita harus mematuhi perintah orang tua? Inilah salah satu alasanku menerima pernikahan ini. Mas Adam membacakan doa dan mencium keningku. Kutahan gejolak yang ada di dada. Menahan sesak yang kian memuncak. Aku harus kuat, tak boleh menangis di depan ayah. Aku tak ingin melihatnya sedih karena tahu aku terpaksa menyetuj
Azan isya berkumandang, segera kami berwudhu dan melaksanakan shalat wajib empat rakaat. Kami shalat berjamaah di imami Mas Adam. Suara merdu Mas Adam saat melantunkan ayat-ayat suci. Ku cium tangan Umi dan Abi dengan khitmat. Ku cium tangan Mas Adam. Ini kulakukan semata-mata karena Mas Adam adalah suamiku. Tak pernah lebih dari itu. Aku dan Mas Adam berada di depan untuk menyambut para tetangga yang hadir di acara tahlilan ayah. Para tetangga mulai berdatangan dan setiap orang yang melewati kami selalu menatap Mas Adam dengan penuh tanda tanya. Maklumlah, karena baru pertama kali Mas Adam menginjakkan kaki di rumah ini. "Saya turut berduka cita ya mbak, semoga Almarhum Pak Kurniawan diterima di sisiNya, mbak Asiyah yang sabar ya." Bu Marni menatapku dengan iba lalu menatap Mas Adam dengan penuh selidik. "Aamiin Bu, terima kasih atas doanya." kuberikan seulas senyum walaupun berat. "Mbak Aisyah, maaf, yang di samping mbak ini siapa ya? Saya kok baru lihat ya." tanya Bu Marni. "
Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau. "Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas. "Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi. "Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi. Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku
Kriiingg ... Kriiingg.... Suara ponsel membangunkanku. Siapa yang meneleponku? Dari pada terus berbunyi, kuambil ponsel yang masih ada di dalam tas. Nama Putra terlihat di layar ponselku. Bingung antara menjawab teleponnya atau tidak, mengingat diri ini sudah memiliki suami. Meski Mas Adam tak menganggapku ada. Akhirnya kubiarkan bunyi ponsel berhenti dengan sendirinya. Aku belum sanggup mendengar suara Putra. Bagaimana mungkin aku dapat mendengar suara orang yang aku cintai setelah aku menancapkan belati di hatinya. TingSatu pesan masuk. Ku buka, benar saja Putra mengirim pesan setelah teleponnya ku abaikan. [Aisyah, tolong angkat teleponku. Aku ingin berbicara serius. ]Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Putra benar-benar ingin berbicara denganku. Apa dia sudah tahu kalau aku sudah menikah? "Assalamu'alaikum..." suara Putra sedikit bergetar. Apa dia habis menangis? Apa benar dia sudah tahu pernikahan siriku? Bagaimana aku bisa mengatakan pada Putra kalau sebenarny
"Mas Adam..." Mas Adam dan wanita itu menoleh ke arahku. Mas Adam membisu, wajahnya menegang seperti maling yang sedang ketahuan mencuri. Ada apa ini, dan apa hubungan mereka sebenarnya? Beberapa saat kami saling terdiam, sibuk dengan praduga masing-masing. "Siapa dia Mas?" matanya melirik ke arahku lalu berpindah ke Mas Adam."Perkenalkan nama saya Aisyah, saya is...""Dia sepupuku Jes," Mas Adam memotong ucapanku. DEG...! Sepupu? Ada gemuruh yang disini, di hati ini. Sebegitu malukah dia mengakuiku sebagai istri? Apa aku benar-benar tak dianggap? "Saya Jesica, pacar Mas Adam, senang berkenalan dengan kamu Aisyah." Jesica mengulurkan tangan. Ku sambut ulur tangannya dengan menahan gemuruh di dalam hati. Jadi ini alasan Mas Adam tak menyentuhku, bukan karena berduka atas meninggalnya ayah. Tapi karena cinta dan hatinya milik Jesica. Sekarang aku paham, akulah orang ketiga dalam hubungan mereka sekalipun aku istri pertama, tapi aku hadir di tengah-tengah hubungan mereka.
Sayup-sayup terdengar muadzin sedang mengumandangkan azan subuh. Kubuka mata, berjalan perlahan ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya untuk berwudhu dan segera melaksanakan ibadah sholat subuh. Kutengadahkan tangan, meminta pada Sang Pemilik hati untuk menyatukan hatiku dan Mas Adam. Karena sesungguhnya Dialah yang mampu membolak-balikan hati hambanya. Bukan karena aku mulai mencintainya, tapi karena sebuah ikatan suci tak layak dijadikan permainan. Tak mengenal dan tak mencintai bukan berarti dengan gampang menjadi alasan untuk berpisah. Sedikit lega yang kurasakan saat dapat mencurahkan isi hati kepada Sang Pemilik kehidupan. Ku lipat mukenah, lekas ku buka pintu kamar. Berjalan menaiki anak tangga, membangunkan Mas Adam untuk menjalankan ibadah wajib. Tok... Tok.... "Mas shalat subuh dulu." Hening tak ada jawaban. Jangan-jangan Mas Adam masih tidur lagi. Tok... Tok.... "Subuh dulu mas." Tak ada sahutan, sepertinya Mas Adam memang masih tidur pulas. KlikKnop pintu kuput
"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya. "Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar. "Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada. Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan. "Puas Mas?""Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa. "Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas. Ups...! "Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah. "Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah. "Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan. ****Tok... Tok... Tok.... "Sebentar..." Aku be
Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan. Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak! Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan? Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus. Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, ku