Jamie berusaha tak melihat matanya. Ia hanya menatap Josh yang tanpa Josh tahu berada di sebelah roh jahat tersebut, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Jamie.
Tentu saja, tak ada kata yang keluar di saat pandangan mata kentang menyeramkan itu melekat pada Jamie.
Tenang Jamie, tenang … jangan memberinya kesempatan.
Jamie menenangkan diri dalam pikirannya tanpa berucap.
“Apa yang kau lakukan? Kau akan memukulku sekarang?” Josh terus memancing emosi Jamie.
“Josh, hentikan!” Bibinya mencoba menengahi mereka berdua. Dia merasa ada yang aneh dengan tatapan Jamie.
Jamie ingin memberitahu mereka berdua, tetapi lidahnya terasa kelu. Satu kesalahan dan kentang itu pasti masuk ke dalam tubuh salah satu dari mereka, tetapi sepertinya kentang menyeramkan itu telah mengunci targetnya.
Mom, di mana kau berada? Aku tak bisa mengatasi ini.
Berharap bisa memanggil Anna dalam pikirannya, tetapi ....
Josh menyeringai. “Kau membutuhkan ibumu sekarang?” Ia terdengar meledek. “Lihat Bi, dia tak ada pembelaan, memang benar dia pencuri dan sepertinya ingin memukulku.”
Mendengar ucapan Josh, Jamie pun terpancing emosi. Semakin ia emosi, semakin kentang menyeramkan itu mendekatinya. Jamie pun perlahan melangkah mundur, ia tak ingin membuat gerakan tiba-tiba.
Tenang Jamie, tenang …
Namun, ia tanpa sengaja menabrak piano besar yang berada di belakangnya, membuat sebuah bingkai foto yang berada di atas piano terjatuh.
Pranggg!!!
Aku tahu ini akan terjadi. Aku harus pergi sekarang.
Jamie tak ingin berpikir panjang.
“Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menjatuhkan foto itu dan ingin pergi?”
Mendengar Josh lagi-lagi menuduhnya, Jamie teralihkan, ia terpancing emosi. Deg. Tubuhnya mendadak berat. “Tidak … dia tak boleh … memasuki tubuh ….”
Terlambat.
Jamie terjatuh, tubuhnya merangkak di lantai ruangan itu. Ia berusaha menguatkan dirinya, tak ingin dirinya dikuasai roh itu, apalagi sampai tak sadarkan diri. Entah apa yang akan roh itu lakukan.
Namun, Jamie tak sekuat roh jahat.
“Hahahaha … rumah baruku!” Tawa puas roh itu dalam tubuh Jamie. Jamie mulai terdengar menyeramkan.
“Apa kau sudah gila? Ini rumahku dan kau membuat kekacauan di sini!” seru Josh pada Jamie.
Julia merasa ada yang tak beres dengan Jamie, dia mendekat pada Josh dan memberinya kode untuk diam, tetapi Josh masih terus memancing emosi Jamie.
“Aku adalah pemilik rumah ini!! KALIANLAH PARA PENGACAU!!” Roh itu mulai terdengar marah dan membelalakkan mata pada Josh.
“Jamie …,” panggil Anna, tetapi Jamie tak dapat menjawabnya.
Anna, ibunya merasa terlalu lama Jamie bersama Josh dan Julia, dia datang ke ruangan itu dan melihat Jamie yang tak lagi Jamie.
Julia pun menghampiri Anna, panik. “Sepertinya Jamie kerasukan, Anna.”
Anna meminta Julia mengambilkannya air. Air adalah kemampuan Anna. Dia berharap dapat menggunakan kemampuannya.
“Kalian memasuki rumahku dan merubahnya! Aku tak menyukainya!!!” Roh itu mulai berteriak-teriak.
Jamie bangkit atas kemauan roh dan mulai menghancurkan barang-barang di ruangan itu menjadi pecah belah. Ia pun menuju piano yang hanya beberapa langkah darinya dan hendak membalikkan piano yang lebih besar dari tubuhnya.
Josh sudah menyadari situasi tersebut, tetapi ia ragu—situasi nyata atau Jamie sedang berpura-pura. Dan ia tak dapat membiarkan Jamie menghancurkan piano tersebut.
Josh dengan berani mencengkeram pergelangan tangan Jamie, mencoba menghentikannya.
Roh jahat menatap Josh dengan sorot mata buas. Bola mata berwarna merah dengan lingkaran hitam mengelilingi matanya. Matanya tak lagi mata Jamie.
Dia melepaskan cengkraman tangan Josh dengan sangat mudah, membuat Josh luar biasa terkejut. Kali itu, dia berbalik ke arah Josh, mencengkeram leher Josh dengan kuat, mendorong Josh ke tembok belakangnya dan mengunci Josh dengan sebuah cekikan.
Tubuh Jamie jauh lebih kecil dari Josh, tetapi mampu mencekik dan menahannya di tembok, bahkan Josh hampir terangkat.
Josh kali itu yakin, Jamie tak berpura-pura. Ia berjuang melepaskan diri, tetapi tak bisa.
“Juliaaaaa, cepatlah!” teriak Anna tak sabar.
Julia sudah datang dengan William. Mereka berdua terkejut dengan yang terjadi di hadapannya. Julia segera memberikan wadah air pada Anna, sedangkan William terdiam dan terdengar sebuah kalimat lirih.
“Oh my God, apa itu?” tanya William setelah dia melihat apa yang merasuki Jamie. Julia gemetar melihat situasi di ruangan tersebut.
Julia dan William mencoba memisahkan Jamie dari Josh, tetapi roh jahat dalam tubuh Jamie lebih kuat dan Josh mulai kehabisan nafas.
Anna menutup mata Jamie dengan tangan yang telah dia basahi dengan air.
Woosshh!
Roh jahat itu keluar dari tubuh Jamie, membuat Jamie kelelahan dan terjatuh. Begitu juga dengan Josh yang hampir kehilangan nyawa.
Dia kembali menjadi kentang menyeramkan. Kali itu dia memelotot pada Anna—marah. Dia mengincar salah satu dari mereka yang lemah atau sedang emosi.
Namun, sebelum rencananya berhasil lagi, kentang itu terbakar dan berteriak. “Aaarrgghhhhhh … kalian pengacaunya! Ini rumaaahhhhh—“
Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, kentang itu tiba-tiba musnah dan suasana mendadak hening.
Plakkk!!! Sebuah tamparan mendarat di atas pipi Josh.
Tubuh Jamie masih terasa lemah, tamparannya pun dirasa tak terlalu kencang. Namun, tetap saja membuat Josh terkejut dan jengkel.
“Kau telah mencekikku dan sekarang menamparku?”
“Kau pantas mendapatkannya! Aku berusaha menahan diri agar roh jahat itu tak masuk ke tubuhku dan kau terus menerus memancing kemarahanku dengan ucapanmu,” terang Jamie.
Jamie mengatakan saat di supermarket, sesosok makhluk gaib sedang mengikuti dan mengganggunya. Ia sengaja berkali-kali mengatakan tak melihatnya hanya agar pikirannya tak kosong, tetapi Josh justru menuduhnya mencuri.
“Untungnya, makhluk gaib di supermarket hanya roh penasaran, bukan roh jahat seperti tadi. Jika itu roh jahat, apa yang terjadi berikutnya adalah tanggung jawabmu!” Jamie tak dapat menahan diri dan menyalahkan Josh.
“Kami akan pamit pulang sekarang, Julia, William.” Anna membawa Jamie pergi dari sana.
Julia menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang, tetapi Anna menolak.
“Siapa mereka?” tanya Josh dan Julia bersamaan, setelah Jamie dan ibunya pergi.
“Siapa pun mereka, jangan mengusiknya. Ingat, kita tak sendiri di dunia ini,” jawab William pada Josh.
****
“Apa Mom yang memusnahkan roh itu?” tanya Jamie penasaran ketika mereka tiba di rumah.
Anna menggelengkan kepala dan mereka saling bertatapan. “Bukan kita satu-satunya di dunia ini yang memiliki kemampuan, Jams.”
“Ah, pantas saja, anaknya dapat mendengar pikiranku. Dasar menyebalkan!” Jamie masih menggerutu. “Aku sudah bilang, di sana ada sesuatu, tetapi Mom tak mendengarku. Rumah itu sudah kosong selama bertahun-tahun—“
Jamie masih terus berbicara panjang tanpa henti dan Anna mengambil air dari wastafel, kemudian mencipratinya dengan air sebelum bicaranya selesai, membuat ucapannya terhenti.
“Mommmm!!!”
“Mom pikir kau masih kerasukan. Segera ganti baju sana!”
Flashback tiga tahun sebelumnya. Jamie Anne Mikell, seorang remaja dengan rambut hitam sebahu, sedikit bergelombang. Kulitnya putih cerah, tetapi hitam legam rambutnya membuat kulit Jamie terlihat agak pucat. Ia terlahir istimewa. Jamie memiliki kemampuan supranatural. Kemampuan yang berasal dari keluarga ibunya secara turun menurun kepada anak perempuan yang telah berusia lima belas tahun. Beruntung, satu-satunya anak dari keluarga Mikell seorang anak perempuan, Jamie. Anna, ibu Jamie, tak ingin Jamie terkejut saat waktunya tiba. Dia lebih dulu memberitahu Jamie dan menuturkan satu per satu kemampuan yang dimiliki anggota keluarga lainnya, termasuk dirinya yang dapat memanipulasi energi air. Kemampuan yang mereka miliki pun tak semuanya sama, tak pula berbeda. “… kemampuan Great-Granny membaca pikiran, sedangkan Granny dapat memindahkan benda tanpa menyentuhnya. Itu disebut telekinesis. Hebat, bukan?”
“Telur … telur … telur ….,” gumam Jamie seraya memejamkan matanya. Ia melihat sesosok makhluk gaib berdiri menatapnya dari pojok ruang baca dekat kamarnya. Jamie masih terus berlatih cara mengendalikan pikiran seperti yang Anna, ibunya, ajarkan padanya. Terkadang ia berhasil, terkadang belum berhasil. Jamie membuka matanya sedikit demi sedikit—hendak mengintip apa kali itu ia berhasil lagi. Namun, sayangnya tidak. “Arrrgghhh!!” Jamie memekik kencang. Suaranya dari lantai dua kediaman tersebut tiba di lantai dasar bahkan sampai keluar. Seketika pelayan dan penjaga keamanan di rumahnya terperanjat. Makhluk gaib yang ternyata hanya roh penasaran sudah berdiri di hadapannya persis. Menatap Jamie lekat-lekat. Jamie terbirit-birit menuju kamar orang tuanya yang telah ia lewati sebelumnya, tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk. Ia membelalak dan mulutnya menganga, tetapi segera ia tutup matanya rapat-rapat. Jamie b
Jamie lulus dari Sekolah Menengah Pertama W di Bentonville sejak akhir bulan Mei lalu. Ia dan Anna, ibunya, baru pindah ke Toronto pada awal bulan Juni lalu. Liam, ayahnya, yang telah lebih dulu pindah beberapa bulan sebelumnya mengurus pendaftaran sekolah Jamie di Toronto. Sekolah Menengah Atas The Y Toronto, tempat Jamie akan menempuh pendidikan selanjutnya. Dan sekolah akan di mulai awal bulan September. Dua minggu lagi. Jamie sudah lebih terbiasa dengan kemampuannya. Ia dapat keluar rumah dengan leluasa sembari melatih mengendalikan pikirannya di luar rumah. Musim panas pertama Jamie di Toronto. Ada energi baru di udara. Dari jalanan perumahan, pekarangan sampai taman umum membuat Jamie bersemangat dengan kota Toronto. Ia pergi dengan sepedanya ke area taman tak jauh dari kediamannya pada sore hari. “Wah, ini sungguh taman yang sangat bagus, Aku sangat menyukainya!!” ungkap Jamie ketika ia tiba di Taman Sir Winston Churchill. Ya, i
Dua hari berikutnya, Jamie sudah lebih dulu berada di taman sore itu. Ia duduk di tempat biasa dirinya dan Sophie berada. Sophie tak datangkah hari ini? Haruskah aku menghubunginya? Sudahlah, kutunggu saja. Jamie berdebat dengan pikirannya sendiri. Tak sabar ingin bertanya pada Sophie. Ia menunggu sembari memandang orang-orang yang berada di area taman. Tak berapa lama, Sophie pun tiba. Dia tersenyum saat melihat Jamie sudah duduk di kursi taman, hanyut dalam lamunannya. “Jamie, apa yang kau lamunkan?” “Ahh, tak ada, aku pikir kau tak datang hari ini,” ucap Jamie saat Sophie sudah duduk di sebelahnya. Jamie masih penasaran dan sedikit berharap. “Kau masih belum tanya orang tuamu di mana sekolahmu nanti, Sophie?” tanyanya. Sophie kembali mengangkat kedua bahunya, seakan tak peduli dengan sekolah selanjutnya. Jamie sedikit memiringkan kepalanya sembari mengerutkan dahi. Ia bingung karena sekolah akan dimulai, tet
Keesokan harinya, Jamie kembali ke taman, tetapi tak menemukan Sophie. Satu hari, dua hari sampai tiga hari masih sama. Ia tak pernah lagi melihat Sophie. “Ponselnya pun tak dapat dihubungi.” Jamie bergumam lirih. Jamie pernah meminta nomor ponsel Sophie, tetapi belum pernah menghubunginya. Sophie juga tak pernah membawa ponsel saat mereka bertemu. Jamie pikir karena orang tua Sophie melarangnya membawa ponsel ke taman. Ia juga belum pernah bertukar pesan pada Sophie karena mereka selalu bertemu. Namun, Jamie merasa tak enak, berpikir ketidakhadiran Sophie karena marah padanya saat kejadian terakhir kali. Ia pun kembali menekan tombol panggilan pada ponselnya ke nomor Sophie—tak lebih dari tiga kali. Setelah hampir satu jam menunggu di kursi taman, Jamie menyerah dan pulang. “Sophie pasti marah dan kecewa padaku karena Mom,” ucap Jamie bersungut-sungut—menyalahkan Anna, ibunya. Mereka berdua berada di ruang keluarga se
Jamie mengumpati dirinya dalam hati—menyalahkan diri karena terlalu ceroboh. “Ya, aku … lurus saja kalau begitu,” ucap Jamie sendiri—ia pura-pura tak mendengar. “Kau ingin ke kantor administrasi, bukan?” tanya si makhluk gaib. Dia sejak tadi memerhatikan Jamie dan mendengar Jamie kebingungan. Dia hanya iseng bertanya tanpa tahu manusia di hadapannya bisa melihat dan mendengarnya atau tidak. Namun, Jamie tanpa tahu siapa yang menegurnya, ia langsung menjawab. Si makhluk gaib itu gembira. Dia menjelaskan arahnya pada Jamie, tak peduli dengan sikap Jamie yang mengabaikannya. Dia tahu Jamie berpura-pura. “Kalau kau mau ke kantor administrasi, kau berbelok ke kanan, kembali ke meja penerima tamu dan belok kiri di sana.” Jamie mendadak ragu, tetapi ia tetap melangkahkan kakinya perlahan seraya berpikir. “Kanan? Kanan atau kiri, ya? Kalau aku ke kanan, aku akan ketahuan mendengar dia, kalau aku ke kiri? Apa murid tadi masih ada di san
Ternyata, bukan hanya Andy, beberapa teman lainnya sudah lebih dulu melihat kejadian seperti hari itu. Kejadian di mana Jamie terlihat berbicara sendiri, terkadang terlihat tertawa meledek dan terkadang terlihat sangat marah dengan seseorang, tetapi mereka tak menemukan siapa pun di sekitar Jamie. Tak hanya di kelas, tetapi laboratorium, toilet, kantin, koridor dan hampir semua tempat di sekolah. Jamie tak punya pilihan lain selain menyalahkan serangga. Dari sana mereka menganggap Jamie agak aneh. Mereka pikir Jamie memiliki kepribadian lain. Namun, walaupun begitu mereka masih berteman dengan Jamie karena di luar keanehan Jamie, ia teman yang menyenangkan. Tak berbeda dengan Leslie, teman dekat Jamie di sekolah. Dia selalu bersama dengan Jamie, jadi tak mungkin Leslie tak merasakan hal yang sama. Selain dirinya beberapa kali memergoki Jamie berbicara sendiri, dia merasa ada sesuatu yang lebih aneh lagi. Beberapa minggu belakangan, Leslie meli
Di saat si pemilik kemampuan supranatural sibuk menutupi kemampuannya, di tempat lain si penyihir sibuk pamer kekuatannya. Josh mengarahkan tangannya pada gelas di atas meja ruang keluarga. “Naik!” perintahnya dan gelas itu pun terangkat. Ia melirik ke arah Mike yang berada di sebelahnya, kemudian Josh menyeringai. Ia lanjut menggerakkan tangannya sampai gelas yang berada di atas meja terjangkau olehnya. “Apa kau masih belum bisa melakukannya, Mike?” tanya Josh meledek Mike. Joshua Christian Keith, seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun. Dia sangat tinggi dan kurus. Rambutnya lurus berwarna cokelat dengan belahan samping. Wajahnya sedikit lebih kecil dari ukuran remaja seusianya, ditambah rahang tegas dan kulit agak kecoklatan membuat Josh—panggilan Joshua, terlihat