Gemerlap cahaya dari lampu-lampu malam terpantul ke permukaan Singapore River yang tak sepenuhnya tenang. Sungai ini mengalir melalui pusat kota dengan melewati Jembatan Kim Seng sampai menuju ke Marina Bay. Bertahun-tahun sebelumnya, di tempat yang sama, di sebuah kafe kecil di tepian sungai, Ayesha duduk menunggu seorang pria yang telah merampas perhatiannya. Malam itu, tubuhnya berbalut gaun biru tua sederhana, rambut hitam terurai dengan sedikit gelombang, dan senyum gugup melukis wajah. Dia ingat betapa gugupnya dia, menanti pria bernama Daren itu. Daren, dengan pesona dan ambisi besarnya, menyusup ke kehidupan Ayesha seperti badai, meruntuhkan tembok pertahanan yang selama ini dia kokohkan.
Mereka pertama kali berjumpa di sebuah seminar ilmiah yang diadakan NTU – tempat Ayesha menjadi pembicara tamu. Daren yang saat itu masih seorang mahasiswa pascasarjana dengan fokus pada politik dan hubungan internasional, berpartisipasi sebagai peserta yang penuh antusias. Pada sesi QnA, dia mengajukan pertanyaan cerdas tentang bagaimana penelitian Ayesha berdampak pada perubahan iklim ekosistem perkotaan. Perangai Daren menyusun kata demi kata, dengan nada percaya diri dan karisma alami, membuat Ayesha pertama kalinya begitu terkesan. Belum usai sampai disitu, selepas seminar, berlanjut Daren menemuinya dengan senyum hangat dan tangan terulur,
"Dr. Ayesha Al-Farisi? Saya Daren Lin. Pemaparan Anda luar biasa. Sepertinya saya ingin mendengar lebih banyak lagi tentang penelitian yang sedang Anda kerjakan," katanya saat itu.
Kata-kata penuh rasa ingin tahu, dan entah mengapa Ayesha tidak bisa menolak. Mereka berbincang hingga larut, berpindah dari aula seminar yang megah ke sebuah kedai kopi kecil yang hangat di dekat kampus. Malam itu, menjadi permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan tak terduga. Mereka menemukan diri mereka saling melengkapi — Ayesha dengan kecerdasannya yang analitis dan Daren dengan visi politiknya yang ambisius. Dalam hitungan bulan saja, mereka resmi menjadi pasangan. Dan yang paling tak bisa dimengerti oleh Ayesha, setiap kali mereka bersama, ada suatu percikan yang tak bisa diabaikan, seolah-olah semesta bersatu padu untuk mengikat mereka dalam sebuah romansa.
Namun, hubungan itu tidak hanya selalu penuh dengan momen manis. Nyatanya Daren memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang berpengaruh, dan Ayesha, dengan cintanya, mendukung setiap langkah yang diinginkan Daren. Dia sangat yakin pada visi Daren.
“Ayesha, sepertinya aku tak akan bisa sampai di sini tanpa bantuanmu,” ujar Daren suatu malam ketika mereka duduk di balkon apartemen.
Di bawah mereka, gemerlap lampu kota tampak seperti bintang-bintang yang bersinar di bumi, menciptakan pemandangan yang memukau dan mempesona. Setiap lampu seolah-olah menceritakan kisahnya sendiri, dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi hingga jalan-jalan kecil yang penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan. Di tengah gemerlap itu, Ayesha tersenyum, menggenggam tangan Daren,
“Mimpimu seperti mimpiku juga,” jawabnya.
Saat itu, Ayesha benar-benar percaya. Dia percaya bahwa mereka bisa menjadi dua jiwa yang saling melengkapi dalam setiap langkah dan keputusan..
Namun, kenyataan mulai berubah ketika Daren memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai walikota Central Singapore CDC. Tekanan politik semakin besar, dan Daren semakin terobsesi dengan kesempurnaan reputasi di depan publik sebagai pertimbangan untuk Ketua atau Wakil Ketua Asosiasi Rakyat (People's Association). Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan mulai terasa dingin. Ayesha bisa merasakan kehadiran Daren secara fisik, tetapi tidak secara emosional.
“Ayesha, aku akan pulang lambat nanti malam. Ada rapat bersama tim penggalangan dana,” kata Daren suatu malam, tanpa menatapnya, “Kau tidak keberatan, kan?”
Ayesha tersenyum tipis sembari menahan rasa kecewa,
“Tentu. Aku paham,” jawabnya.
Namun, di dalam hatinya, Ayesha terus bertanya-tanya apakah dia benar masih menjadi bagian dari mimpi besar Daren, atau hanya sekedar alat pendukung yang tersembunyi di belakang layar. Dia mulai meragukan apakah perannya dalam hidup Daren masih memiliki makna yang sama seperti dulu, atau apakah dia hanya menjadi bayangan yang tak terlihat, pendukung ambisi Daren tanpa pernah mendapatkan pengakuan yang layak. Keraguan itu menghantui pikirannya, membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah dia pilih untuk dimainkan.
Puncaknya terjadi ketika Ayesha mendengar kabar dari salah satu koleganya bahwa Daren terlihat bersama seorang wanita lain di sebuah acara gala. Wanita itu adalah putri dari seorang pengusaha kaya yang dikenal sebagai salah satu donatur terbesar program sosial yang dicanangkan Daren. Ayesha tidak percaya pada awalnya, tetapi kenyataan itu menghantam keras ketika dia melihat sendiri foto-foto mereka di media sosial, tersenyum bersama seperti pasangan yang sempurna.
Ketika Ayesha menghadapkan Daren tentang hal itu, percakapan mereka berubah menjadi pertengkaran besar.
“Kamu tidak mengerti keadaan, Ayesha,” kata Daren dengan nada frustasi, “Aku melakukan ini untuk kesuksesanku, Aku butuh dukungan mereka agar bisa membangun reputasi lebih.”
“Jadi kau pikir itu alasan yang cukup untuk mengkhianati aku?!” seru Ayesha, matanya dipenuhi air mata, “Aku sudah memberikan segalanya untukmu, Daren. Aku mengorbankan waktuku, pekerjaanku, bahkan hidupku. Dan ini balasanmu?”
“Ayesha, aku…” Daren mencoba mendekatinya, tetapi Ayesha mundur selangkah, menolak sentuhannya.
“Kau sudah membuat pilihanmu, Daren. Dan aku akan membuat pilihanku.”
Malam itu juga, Ayesha meninggalkan apartemen, membawa serta luka yang dalam di hatinya.
Hari-hari berikut berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Ayesha. Acap kali dia terbangun dengan perasaan hampa, seolah pelangi telah kehilangan warna. Dia tidak bisa fokus pada pekerjaan, pikirannya selalu melayang kembali ke kenangan tentang Daren. Setiap ingatan tentang pria itu terasa seperti pisau tajam yang mengiris-iris jiwanya.
Namun, di tengah kehancuran itu, Ayesha menemukan kekuatan baru yang tak pernah dia sadari ada di dalam dirinya. Dia mulai menyadari bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak membutuhkan Daren lagi.
Ayesha memilih untuk resign dari NUS – tempat dia bekerja dan memulai laboratorium independennya. Keputusan itu bukan hanya tentang karier, tetapi juga tentang merebut kembali identitasnya yang selama ini dikorbankan. Di laboratorium kecilnya, dia menciptakan dunia baru, dunia di mana dia bukan hanya sekedar pendukung orang lain.
Dia menggali lebih dalam ke penelitian tentang serangga, menemukan potensi luar biasa dalam modifikasi genetik yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Setiap hari, Ayesha menghabiskan berjam-jam di laboratoriumnya, Tawon Vespa mandarinia menjadi subjek utama. Dia mengagumi kekuatan, daya tahan, dan bagaimana mereka bisa bertahan di lingkungan paling keras sekalipun.
Malam demi malam, Ayesha terus bekerja tak kenal henti. Ia membangun kembali dirinya dari reruntuhan kenangan yang pernah dianggap sebagai segalanya. Daren mungkin telah menghancurkan hatinya, tetapi dia tidak akan membiarkan hancur sepenuhnya. Tidak lagi. Dan saat dia melihat tawon-tawon di kandang kaca, dia tahu satu hal dengan pasti, dia akan memastikan bahwa kali ini, dia yang memegang kendali penuh atas hidupnya. Bukan orang lain.
Di ruangan observasi markas Alexei yang remang, cahaya dari layar-layar besar menjadi satu-satunya sumber penerangan, memantulkan kilatan biru dan merah ke dinding beton yang dingin. Suasana di dalamnya terasa seperti jantung dari sebuah sistem yang mengawasi dunia yang sedang runtuh perlahan. Layar utama menampilkan berbagai statistik real-time — angka-angka yang terus bergerak, tak pernah berhenti, seolah menggambarkan denyut nadi dari kekacauan yang sedang berlangsung.Jumlah serangan bertambah setiap menit, zona-zona yang sebelumnya aman kini berubah menjadi wilayah terkunci, ditandai dengan warna merah menyala yang menyebar seperti luka di peta digital. Di sisi lain layar, grafis yang menunjukkan tingkat kepanikan publik berdenyut pelan namun pasti, seperti gelombang yang tak henti menghantam garis pantai. Setiap lonjakan grafik bukan sekadar data — itu adalah jeritan, ketakutan, dan kehilangan yang tak terlihat.Beberapa operator duduk di depan konsol, wajah mereka tegang, mata
Ruangan konferensi Balai Kota dipenuhi aura tegang saat Daren masuk dengan langkah berat, jas biru gelapnya tampak kusut karena malam tanpa tidur. Di hadapannya, barisan tim kampanye dan pejabat tinggi menunggu dengan ekspresi campuran panik dan skeptis. Lampu ruangan menyinari wajah mereka tanpa ampun, menegaskan kelelahan yang terpancar jelas. Suara Daren serak saat ia membuka rapat, seolah kelelahan dan tekanan telah mengikis ketegasannya sedikit demi sedikit. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dinding dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Ia berdiri di ujung meja oval panjang, tubuhnya tegak namun matanya menyimpan bayangan keraguan.“Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan, media menuntut jawaban, oposisi membidik kita, dan warga… mereka ketakutan,” ucapnya menggema di ruangan, menyentuh setiap sudut dan setiap orang yang duduk di sana.Ia menatap satu per satu wajah di depannya — para pejabat, analis, dan kepala divisi — mencari sesuatu yang lebih dari sekadar
Peringatan status darurat sipil diumumkan tepat saat fajar menyingsing di atas Singapura. Speaker publik yang biasanya mengumumkan pembukaan sekolah pagi itu mendadak memancarkan sirine peringatan. Kepala dinas sipil muncul di layar, mengenakan jas pelindung ringan, menyampaikan dengan suara gugup,"Bandara Changi ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut, semua penerbangan dilayani darurat, dan warga diminta tetap di dalam rumah." Seketika, jalan menuju terminal kosong, konter tiket mati lampu, dan layar keberangkatan kosong tanpa satu jadwal pun tercantum. Seketika, suasana berubah drastis. Jalanan yang biasanya dipenuhi langkah-langkah tergesa para penumpang kini lengang, sepi tanpa satu pun jejak manusia. Terminal yang dulu riuh oleh suara koper berderak dan panggilan keberangkatan kini hanya menyisakan gema hening yang menyayat. Konter tiket berdiri bisu dalam kegelapan, lampu-lampunya padam seperti harapan yang perlahan meredup. Layar keberangkatan yang biasanya menampilkan der
Pagi hari setelah serangan di Bukit Merah dimulai dengan keheningan yang tak wajar. Matahari menyinari kota dengan kilau keemasan, namun tak ada yang menyambutnya seperti biasa. Jalan-jalan utama di sekitar distrik selatan terlihat kosong, dan suara kendaraan yang biasanya padat pada pukul tujuh pagi kini nyaris lenyap, digantikan bisik-bisik ketakutan yang menyebar seperti asap. Di layar-layar digital yang terpampang di berbagai sudut kota, berita utama muncul serentak ‘Serangan Tawon Misterius Hantam Bukit Merah, Puluhan Luka-Luka, Tiga Korban Jiwa’. Tayangan drone yang bocor di media sosial menunjukkan gambar yang mengerikan, seseorang tergeletak dengan wajah lebam dan tubuh bengkak, suara dengungan berat terdengar samar-samar di latar video.Bandara Changi langsung menghentikan seluruh jadwal penerbangan domestik dan internasional untuk sementara waktu, “Langkah preventif terhadap potensi penyebaran spesies agresif,” begitu penjelasan dari Departemen Pertahanan Hayati Singapura.
Langit di atas distrik Bukit Merah malam itu dipenuhi awan pekat yang menyelimuti lampu kota dengan kabut lembab dan suram. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyadari bahwa sesuatu yang tak biasa akan terjadi. Di tengah keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan larut malam, ada bayangan bergerak cepat di balik gedung tua yang telah lama terbengkalai. Di dalam bangunan itu, tersembunyi dari pandangan publik, Ayesha berdiri di depan sebuah kapsul transparan berbentuk bulat, dikelilingi alat kontrol feromon dan layar pemantau termal. Di dalam kapsul itu, ratusan Vespa mandarinia hasil modifikasi berdesakan dengan tubuh gemuk, sayap berdenyut pelan, dan mata yang menyala kemerahan dalam gelap. Mereka seperti mesin biologis yang tengah menunggu perintah untuk dilepas.“Target dalam radius 1.8 kilometer, populasi malam hanya 27 persen dari kapasitas siang hari, minim gangguan sipil,” ujar seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan headset komunikasi. N
Hujan deras mengguyur kota Singapura malam itu, menimbulkan ritme monoton yang menggema di dinding kaca markas Alexei. Langit malam menggantung kelam, menyisakan sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan. Di dalam ruangan yang temaram, Ayesha berdiri dengan tubuh kaku, menatap pria di depannya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Nafasnya masih sedikit tersengal setelah kejadian di luar sana—kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi, tetapi justru mengubah segalanya.Beberapa jam sebelumnya, Ayesha hampir kehilangan nyawanya. Dia sedang dalam perjalanan menuju laboratorium ketika sebuah mobil hitam tanpa plat nomor tiba-tiba melaju kencang ke arahnya. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya reaksi insting yang membawanya menghindar tepat sebelum mobil itu menabraknya.Tapi dia tidak cukup cepat—bahunya menghantam keras trotoar, membuatnya terseret beberapa meter di atas aspal yang basah. Kesakitan yang menusuk membuat kepalanya berputar, dan saat itulah dia melihat seseorang keluar