Cahaya pagi menyusup masuk ke apartemen mereka yang minimalis, memantulkan kemewahan sederhana dari lantai kayu yang mengkilap. Ayesha tengah duduk di kursi dekat dapur, mengenakan piyama sutra berwarna sage, memegang secangkir teh hangat di tangannya. Di atas meja, vas bunga mawar merah yang sudah mulai layu tetap berdiri layaknya hubungan mereka yang kian terasa rapuh. Pikirannya sedang terbang, tersangkut pada jaring kekosongan yang sulit diuraikan, sementara suara langkah Daren mencatut jarak kian mendekat dari arah kamar tidur.
Daren muncul seperti biasanya dengan jas formal yang kali ini berwarna abu-abu, dasinya sudah tergantung rapi di leher tanpa bantuan Ayesha. Rambut hitam pendeknya disisir sempurna menonjolkan wajah karismatik. Namun, kali ini, ada sedikit perbedaan dalam gerak-geriknya. Langkah Daren terlihat tergesa-gesa, tatapannya enggan menyapa mata Ayesha saat dia melangkah ke dapur untuk menyambut kopi paginya.
“Hari ini, aku akan pergi lebih awal,” katanya diantar suara datar tanpa nada hangat yang biasanya memeluk telinga Ayesha, “ada rapat penting dengan tim sukses program baru,”
Ayesha menatapnya dari balik cangkir teh, alisnya sedikit terangkat,
“Rapat lagi? sepertinya kau rapat terus-terusan minggu ini,”
Daren terdiam sejenak, menghela napas seolah sedang mencoba menahan kekesalannya,
“Ayesha, kau tahu seberapa sibuknya aku dengan program sosial akhir-akhir ini, proyek yang sangat penting menjadi batu loncatan bagiku, jadi aku perlu memastikan semua berjalan dengan lancar,”
Ayesha mengangguk, perlahan mencoba memahami keadaan, tetapi dalam hatinya merasa ada yang tak betul,
“Aku tau, tapi... aku cuma merasa kita semakin menjauh, hampir tak pernah bicara lagi, bahkan saat kita bersama, kau selalu memikirkan hal lain,”
Daren akhirnya menatap Ayesha, tetapi tatapan yang cepat dan dangkal,
“Aku juga tak punya pilihan, aku janji ini cuma sementara, begitu aku terpilih oleh AP, semuanya akan kembali normal, aku janji, bersabarlah sedikit,”
“Sabar?” Ayesha meletakkan cangkir dengan sedikit keras, menimbulkan suara risih yang membuat Daren melirik tajam, “Daren, aku mendukungmu sejak awal, aku mengorbankan waktuku, pekerjaanku, untuk membantumu, tapi jika kamu mau terus seperti ini, kapan punya waktu untuk kita?”
“Ayesha,” potong Daren dengan nada lebih tegas. “Aku sedang tidak ingin memperdebatkan ini sekarang, aku pergi dulu,” Dia meraih jaketnya dan berjalan menuju pintu tanpa menunggu jawaban. Sebelum dia benar-benar keluar, kepalanya sempat menoleh sebentar, “kita bicarakan ini nanti, oke?”
Ayesha pun tak menjawab. Dia hanya duduk diam, memandangi pintu yang sudah tertutup di belakang Daren. Ruangan itu sekarang terasa jauh lebih sunyi, seolah kepergiannya membawa serta semua kehangatan yang pernah ada. Ayesha menunduk, menyaksikan tangannya sendiri gemetar pelan. Dia tahu bahwa dia masih mencintai Daren, tetapi cinta itulah yang kian mulai terasa seperti beban menekan dadanya.
Hari itu, Ayesha berusaha bekerja di laboratorium agar pikirannya teralihkan. Dia mencoba kembali fokus ke tawon-tawon Vespa mandarinia yang menjadi subjek utama penelitiannya. Cahaya lampu neon di ruang laboratorium memantul dari kaca kandang serangga, menciptakan kilauan aneh di mata Ayesha. Dia mengamati habit dan gerakan tawon-tawon itu dengan intensitas yang hampir obsesif, mencatat setiap perubahan mereka.
“Kurasa mereka terlihat lebih agresif,” gumamnya sambil mencatat, “apa mungkin ini efek dari modifikasi genetik yang baru?”
Tetapi di tengah perhatiannya pada eksperimen, pikirannya terus kembali kepada Daren. Kilas ingatan tentang malam-malam ketika mereka dulu membicarakan tentang rencana masa depan mereka sampai larut, saat Daren menyentuh tangannya dan meyakinkannya bahwa mereka tak terpisahkan. Sekarang, kata-kata itu terasa hampa.
Apa yang berubah?
Dan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?
Pikiran-pikiran itu semakin mengganggu ketika Ayesha mengambil ponsel, ia berniat menghubungi Daren. Namun, saat dia membuka daftar panggilan, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Nama yang tidak dikenalnya muncul di riwayat panggilan Daren, dengan durasi panggilan cukup lama. Perasaan tidak nyaman mulai menjalar.
“Mungkin hanya teman kerja,” ujarnya meyakinkan diri sendiri.
Tetapi, perasaan curiga tak mudah diabaikan. Dia sadar bagaimana Daren semakin sering keluar malam untuk menghadiri acara-acara yang tidak pernah dia ceritakan secara rinci. Dia juga ingat bagaimana Daren semakin jarang membalas pesannya, selalu dengan alasan yang sama – sibuk. Semua ini mulai terasa seperti potongan teka-teki, dia takut perlahan membentuk gambaran yang tak pernah diinginkannya.
Saat malam datang, seperti belakangan Ayesha menunggu kepulangan dengan perasaan campur aduk. Dia duduk di sofa ruang tamu, mencoba membaca buku, tetapi pikiran kacaunya sulit untuk fokus. Pukul sebelas malam ketika akhirnya pintu terbuka, Daren masuk, tampak lelah, tetapi ada sesuatu lain dalam ekspresinya — sesuatu yang membuat Ayesha semakin curiga.
“Kau pulang terlambat,” kata Ayesha, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
“Ada rapat tambahan,” jawab Daren singkat sambil melonggarkan dasinya.
Ayesha menutup bukunya dan menatap Daren serius,
“Daren, apa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku?”
Daren berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Ayesha dengan tatapan waspada. “Apa maksudmu?”
“Aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan,” kata Ayesha, suaranya yang netral kini mulai bergetar, “kau semakin jauh, Daren, kau tidak pernah lagi bicara padaku seperti dulu, aku cuma ingin tahu... apakah semua baik-baik saja di antara kita?”
Daren menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan,
“Ayesha, aku sudah bilang, aku sibuk, proyek ini begitu memerlukan banyak perhatian, ini bukan hanya tentang kita, ini pencapaianku untuk sesuatu yang lebih besar.”
“Tapi aku terlibat dalam itu, bukan?” desak Ayesha, “aku memberikan dukungan selama ini, aku cuma mau tahu kalau aku masih menjadi bagian dari hidupmu, Daren.”
Daren menatap Ayesha dengan ekspresi sulit diartikan, lalu mengangguk pelan. “Tentu saja, Ayesha, kau selalu menjadi bagian penting dari hidupku, aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan ini semua,”
Ayesha mencoba tersenyum, tapi senyuman itu sengaja dipaksakan. Dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah. Namun, dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa lagi malam itu.
Ketika Daren pergi ke kamar, Ayesha tetap duduk di sofa, memandangi sekelilingnya yang terasa dingin dan asing. Bayangan kehangatan hubungan mereka dulu semakin terasa jauh, seperti mimpi yang perlahan memudar dan berubah menjadi kenyataan pahit.
Hari-hari berlalu sejak percakapan di balkon itu, tetapi suasana di antara Ayesha dan Alexei berubah. Tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Alexei memperlakukannya. Sesuatu yang lebih halus dari kata-kata, sesuatu yang nyaris tak terlihat kecuali bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Ayesha menyadarinya dalam gestur kecil. Cara Alexei selalu memastikan dia berjalan di sisi dalam trotoar ketika mereka keluar dari markas, seolah-olah secara naluriah melindunginya dari kemungkinan ancaman. Cara dia secara tidak langsung memerintahkan anak buahnya untuk tidak mengganggunya saat dia bekerja di laboratorium, memastikan bahwa Ayesha memiliki ruangnya sendiri. Bahkan dalam rapat strategi yang paling serius, Alexei selalu memastikan dia mendapatkan informasi terlebih dahulu sebelum yang lain.Awalnya, Ayesha menganggapnya sebagai bagian dari kontrol Alexei terhadap proyek ini. Dia mengira itu hanya bentuk kepastian bahwa semuanya
Malam telah menggurita, menyelimuti Singapura dengan keheningan yang nyaris magis. Ayesha melangkah pelan menuju balkon markas Alexei, napasnya mengikuti irama angin yang berhembus lembut, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi tiada menusuk—sebaliknya, ada ketenangan yang merayap di antara gemerlap lampu kota yang membentang luas di bawah sana, seolah-olah ribuan bintang jatuh dan berpendar di bumi.Dia menyandarkan tangannya di pagar besi, jemarinya menggenggam erat dinginnya logam, membiarkan pikirannya berkelana. Sorot matanya menangkap siluet gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh, tetapi bagi Ayesha, itu hanyalah latar belakang dari gejolak yang berkecamuk di hatinya. Begitu banyak hal yang ingin dia lupakan, tetapi semuanya justru semakin nyata di bawah langit yang mendung ini.Langkah berat mendekat dari belakang, menghancurkan keheningan yang sempat menjadi pelarian. Ayesha tidak perlu berbalik untuk
Ayesha duduk di tepi ranjang medis kecil di sudut laboratorium itu, tubuhnya dilingkupi bayang-bayang lampu neon yang suram. Cahaya redup lampu seperti mengungkap setiap garis kelelahan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, terputus-putus seperti angin lemah yang berusaha menembus celah pintu yang rapat. Matanya menatap dinding putih di hadapannya, kosong, tak peduli pada retakan kecil di sudut atas yang biasanya menarik perhatiannya. Sekarang, dunia serasa melambat, penuh dengan gema sunyi dari rasa sakit dan bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu.Bahunya yang terluka masih terasa menyengat, seperti api yang tak kunjung padam, membakar setiap saraf yang dilaluinya. Kulit di sekitar luka itu memerah, membengkak dengan brutal, meski sedikit demi sedikit efek dari serum penawar racun—buah kerja kerasnya selama berbulan-bulan—mulai mengurangi penderitaannya. Namun, bukan luka di bahu
Laboratorium bawah tanah itu dipenuhi suara dengungan rendah yang semakin lama semakin intens. Cahaya dari layar komputer memantulkan serangkaian data yang terus diperbarui, memperlihatkan grafik perubahan respons Vespa mandarinia terhadap sinyal feromon terbaru yang dikembangkan Ayesha. Dengan napas tertahan, Ayesha berdiri di depan kandang kaca, menatap tajam puluhan tawon yang diam di dalamnya, seolah menunggu aba-aba.Dia menggeser kursor pada layar sentuh dan menekan tombol aktivasi. Gas feromon baru mulai menyebar di dalam kandang, tidak berwarna, tidak berbau bagi manusia, tetapi memiliki dampak luar biasa bagi makhluk-makhluk kecil itu. Awalnya, mereka tetap diam. Lalu, dalam hitungan detik, tubuh mereka mulai bergerak, sayap mereka bergetar lebih cepat, dan antena mereka bergoyang seolah-olah merespons sesuatu yang tidak kasatmata.Ayesha mengamati dengan saksama sambil bergumam, “Sempurna!”Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan lebih jauh, sesuatu yang tidak terduga te
Ruang pertemuan di markas Alexei dipenuhi oleh atmosfer yang tegang, seolah-olah setiap molekul udara membawa beban dari rencana besar yang akan segera dieksekusi. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni gelap terlihat kokoh dan berwibawa, di atasnya terbentang peta kota Singapura dengan detail yang luar biasa. Peta tersebut tidak hanya menampilkan jalan-jalan utama dan kawasan penting, tetapi juga ditandai dengan titik-titik merah yang menandakan area potensial untuk eksekusi Operasi Vespa—sebuah proyek rahasia yang akan mengubah keseimbangan kekuasaan di kota ini.Ayesha berdiri di salah satu sisi meja, mengenakan setelan formal yang rapi namun sederhana. Matanya yang tajam dan penuh konsentrasi mengamati setiap titik merah di peta, memetakan setiap langkah yang harus diambil. Wajahnya yang cantik namun tegas menunjukkan determinasi yang tidak goyah, mencerminkan beban
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara