Ketegangan begitu mewarnai suasana apartemen malam itu. Meski lampu ruangan menyala terang, tetapi tidak cukup agaknya mengusir kegelapan. Bukan kegelapan dalam artian sejati, tapi kegelapan yang menggantung di antara Ayesha dan Daren. Ayesha berdiri di ruang tamu, tubuhnya tegang dan nafas yang tersengal-sengal. Di tangannya, dia menggenggam ponsel saksi bisu perselingkuhan Daren. Tatapannya berubah tajam, menusuk langsung ke arah pria yang selama ini dia cintai. Daren, di sisi yang berlawanan, berdiri beberapa langkah, mencoba terlihat tenang, tetapi tangan yang perlahan bergerak ke arah dasi menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
“Kita perlu bicara, sekarang juga,” suara Ayesha memecah keheningan. Suaranya meskipun tidak keras, tetapi penuh tekanan yang menggambarkan amarah yang dia coba tahan.
Daren menatapnya dengan alis berkeru
Di ruangan observasi markas Alexei yang remang, cahaya dari layar-layar besar menjadi satu-satunya sumber penerangan, memantulkan kilatan biru dan merah ke dinding beton yang dingin. Suasana di dalamnya terasa seperti jantung dari sebuah sistem yang mengawasi dunia yang sedang runtuh perlahan. Layar utama menampilkan berbagai statistik real-time — angka-angka yang terus bergerak, tak pernah berhenti, seolah menggambarkan denyut nadi dari kekacauan yang sedang berlangsung.Jumlah serangan bertambah setiap menit, zona-zona yang sebelumnya aman kini berubah menjadi wilayah terkunci, ditandai dengan warna merah menyala yang menyebar seperti luka di peta digital. Di sisi lain layar, grafis yang menunjukkan tingkat kepanikan publik berdenyut pelan namun pasti, seperti gelombang yang tak henti menghantam garis pantai. Setiap lonjakan grafik bukan sekadar data — itu adalah jeritan, ketakutan, dan kehilangan yang tak terlihat.Beberapa operator duduk di depan konsol, wajah mereka tegang, mata
Ruangan konferensi Balai Kota dipenuhi aura tegang saat Daren masuk dengan langkah berat, jas biru gelapnya tampak kusut karena malam tanpa tidur. Di hadapannya, barisan tim kampanye dan pejabat tinggi menunggu dengan ekspresi campuran panik dan skeptis. Lampu ruangan menyinari wajah mereka tanpa ampun, menegaskan kelelahan yang terpancar jelas. Suara Daren serak saat ia membuka rapat, seolah kelelahan dan tekanan telah mengikis ketegasannya sedikit demi sedikit. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dinding dan dengung pendingin ruangan yang terdengar samar. Ia berdiri di ujung meja oval panjang, tubuhnya tegak namun matanya menyimpan bayangan keraguan.“Kita sedang menghadapi krisis kepercayaan, media menuntut jawaban, oposisi membidik kita, dan warga… mereka ketakutan,” ucapnya menggema di ruangan, menyentuh setiap sudut dan setiap orang yang duduk di sana.Ia menatap satu per satu wajah di depannya — para pejabat, analis, dan kepala divisi — mencari sesuatu yang lebih dari sekadar
Peringatan status darurat sipil diumumkan tepat saat fajar menyingsing di atas Singapura. Speaker publik yang biasanya mengumumkan pembukaan sekolah pagi itu mendadak memancarkan sirine peringatan. Kepala dinas sipil muncul di layar, mengenakan jas pelindung ringan, menyampaikan dengan suara gugup,"Bandara Changi ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut, semua penerbangan dilayani darurat, dan warga diminta tetap di dalam rumah." Seketika, jalan menuju terminal kosong, konter tiket mati lampu, dan layar keberangkatan kosong tanpa satu jadwal pun tercantum. Seketika, suasana berubah drastis. Jalanan yang biasanya dipenuhi langkah-langkah tergesa para penumpang kini lengang, sepi tanpa satu pun jejak manusia. Terminal yang dulu riuh oleh suara koper berderak dan panggilan keberangkatan kini hanya menyisakan gema hening yang menyayat. Konter tiket berdiri bisu dalam kegelapan, lampu-lampunya padam seperti harapan yang perlahan meredup. Layar keberangkatan yang biasanya menampilkan der
Pagi hari setelah serangan di Bukit Merah dimulai dengan keheningan yang tak wajar. Matahari menyinari kota dengan kilau keemasan, namun tak ada yang menyambutnya seperti biasa. Jalan-jalan utama di sekitar distrik selatan terlihat kosong, dan suara kendaraan yang biasanya padat pada pukul tujuh pagi kini nyaris lenyap, digantikan bisik-bisik ketakutan yang menyebar seperti asap. Di layar-layar digital yang terpampang di berbagai sudut kota, berita utama muncul serentak ‘Serangan Tawon Misterius Hantam Bukit Merah, Puluhan Luka-Luka, Tiga Korban Jiwa’. Tayangan drone yang bocor di media sosial menunjukkan gambar yang mengerikan, seseorang tergeletak dengan wajah lebam dan tubuh bengkak, suara dengungan berat terdengar samar-samar di latar video.Bandara Changi langsung menghentikan seluruh jadwal penerbangan domestik dan internasional untuk sementara waktu, “Langkah preventif terhadap potensi penyebaran spesies agresif,” begitu penjelasan dari Departemen Pertahanan Hayati Singapura.
Langit di atas distrik Bukit Merah malam itu dipenuhi awan pekat yang menyelimuti lampu kota dengan kabut lembab dan suram. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyadari bahwa sesuatu yang tak biasa akan terjadi. Di tengah keheningan yang hanya sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan larut malam, ada bayangan bergerak cepat di balik gedung tua yang telah lama terbengkalai. Di dalam bangunan itu, tersembunyi dari pandangan publik, Ayesha berdiri di depan sebuah kapsul transparan berbentuk bulat, dikelilingi alat kontrol feromon dan layar pemantau termal. Di dalam kapsul itu, ratusan Vespa mandarinia hasil modifikasi berdesakan dengan tubuh gemuk, sayap berdenyut pelan, dan mata yang menyala kemerahan dalam gelap. Mereka seperti mesin biologis yang tengah menunggu perintah untuk dilepas.“Target dalam radius 1.8 kilometer, populasi malam hanya 27 persen dari kapasitas siang hari, minim gangguan sipil,” ujar seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan headset komunikasi. N
Hujan deras mengguyur kota Singapura malam itu, menimbulkan ritme monoton yang menggema di dinding kaca markas Alexei. Langit malam menggantung kelam, menyisakan sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan. Di dalam ruangan yang temaram, Ayesha berdiri dengan tubuh kaku, menatap pria di depannya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Nafasnya masih sedikit tersengal setelah kejadian di luar sana—kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi, tetapi justru mengubah segalanya.Beberapa jam sebelumnya, Ayesha hampir kehilangan nyawanya. Dia sedang dalam perjalanan menuju laboratorium ketika sebuah mobil hitam tanpa plat nomor tiba-tiba melaju kencang ke arahnya. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya reaksi insting yang membawanya menghindar tepat sebelum mobil itu menabraknya.Tapi dia tidak cukup cepat—bahunya menghantam keras trotoar, membuatnya terseret beberapa meter di atas aspal yang basah. Kesakitan yang menusuk membuat kepalanya berputar, dan saat itulah dia melihat seseorang keluar