Pukul 02:47 dini hari. Angka merah di jam digital menyala seperti mata iblis dalam kegelapan kamar. Aku terbangun lagi dengan perasaan hampa yang menggerogoti dada.
Di sampingku, Dimas tidur membelakangi tubuhku. Bahunya naik-turun teratur, tenggelam dalam tidur lelap yang tak terganggu. Suara napasnya bercampur dengan dengingan AC, menciptakan simfoni kesunyian yang terlalu familiar.
Aku menggeser tubuh perlahan di atas kasur king size yang terasa terlalu luas untuk dua orang yang tak lagi berbagi kehangatan. Sprei satin krem itu dingin menyentuh kulit, sedingin jarak yang menganga di antara kami.
Mata yang enggan terpejam memandang langit-langit polos. Cat putih sempurna tanpa retakan—seperti kehidupan pernikahan yang kami pamerkan pada dunia. Tapi di balik kesempurnaan itu, ada kehampaan yang menggerogoti dari dalam.
Kapan terakhir kali Dimas menyentuhku dengan lembut? Bukan sentuhan terburu-buru di pagi hari atau sentuhan mekanis saat ia membutuhkan pelepasan. Memori itu terasa jauh, seolah milik orang lain.
Tiga tahun sudah sejak kami menikah. Rasanya seperti tinggal bersama orang asing yang kebetulan berbagi nama keluarga. Dimas Prasetya, suami mapan yang setia pada pekerjaannya, selalu pulang tepat waktu tapi tak pernah benar-benar "pulang" untukku.
Aku bangkit dari tempat tidur, kaki telanjang menyentuh lantai parket sejuk. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita 29 tahun dengan rambut sebahu berantakan, mengenakan piyama sutra dusty pink—hadiah anniversary pertama dari Dimas. Dulu ia bilang warna itu cocok dengan kulitku. Sekarang, bahkan dalam lingerie termahal, matanya tetap tertuju pada laptop atau ponsel.
Langkah membawaku ke jendela yang menghadap taman belakang. Gordyn cream kusingkap, membiarkan cahaya bulan masuk. Pohon mangga yang kami tanam saat baru menikah kini tinggi, daunnya bergoyang tertiup angin.
Aku ingat betapa excited-nya kami merancang rumah ini. Dimas yang pendiam jadi cerewet membahas setiap detail. Kami pernah bertengkar karena perbedaan selera warna cat. Sekarang kusadari, pertengkaran itu lebih hidup dibanding percakapan datar belakangan ini.
"Morning, sayang." "Sudah makan?" "Jangan lupa kunci pintu." "Aku pulang agak malam."
Kalimat-kalimat pendek itu sudah jadi rutinitas. Tidak ada lagi "Aku merindukanmu" atau mata yang berbinar saat bertemu. Yang ada hanya kewajiban suami-istri yang dijalankan dengan autopilot.
Tiba-tiba, musik memecah keheningan. Suara jazz lembut dengan saxophone sensual dari rumah sebelah—rumah yang baru ditempati minggu lalu. Siapa yang masih terjaga jam segini?
Aku mendekatkan wajah ke jendela, mengintip. Lampu rumah sebelah menyala, bayangan seseorang bergerak di balik tirai. Penasaran itu memberikan sensasi yang sudah lama tak kurasakan. Sesuatu yang baru, berbeda dari rutinitas membosankan yang menjerat hidupku.
Dulu, sebelum menikah, aku Raisa yang berbeda. Yang bekerja di bank, punya teman kantor, sering keluar malam, tertawa lepas, merasa hidup. Sekarang hanya Raisa si istri Dimas, hari-hari diisi rutinitas yang sama: bangun, masak, bersih-bersih, menunggu suami pulang, tidur, lalu bangun dengan perasaan hampa yang sama.
Kapan aku mulai kehilangan diriku sendiri?
Musik berganti—lebih slow, lebih intim. Melody itu membuatku teringat malam-malam pertama pernikahan. Saat Dimas masih mencium keningku sebelum tidur, memelukku erat, saat kami bercinta dengan mata terbuka, saling tenggelam dalam hasrat tulus.
Sekarang bercinta pun jadi rutinitas. Sebulan sekali, dengan gerakan terprediksi. Dimas menyentuh dengan terburu-buru, aku merespons seadanya, lalu selesai. Tidak ada foreplay, kata manis, atau pelukan setelahnya. Ia langsung ke kamar mandi, aku terbaring dengan perasaan kosong.
Aku pernah mencoba membicarakan ini. Setelah "sesi rutin" yang mekanis, aku bertanya, "Dimas, apa kita baik-baik saja?"
"Kenapa? Ada masalah apa?"
"Aku merasa kita... berbeda. Jarang bicara, jarang dekat."
"Raisa, kita kan sudah menikah. Wajar kalau tidak seperti dulu lagi."
Kalimat itu seperti tamparan halus. Jadi menikah berarti kehilangan keintiman? Menerima kehambaran sebagai sesuatu "wajar"?
Malam itu aku menangis dalam diam sementara Dimas tertidur nyenyak. Sejak itu, aku tak pernah lagi membicarakan perasaanku. Untuk apa? Ia sudah merasa hidup kami "normal-normal saja."
Tapi aku tidak. Aku merasa mati perlahan-lahan.
Musik dari rumah sebelah berhenti. Kesunyian kembali menyelimuti. Aku masih berdiri di jendela, memandang rumah yang kini gelap. Siapa dia? Pertanyaan-pertanyaan menari di kepala, memberikan distraksi dari keresahan. Sudah lama aku tidak merasakan penasaran seperti ini.
Jam menunjukkan 03:15. Sebentar lagi subuh. Dimas bangun 05:30 untuk jogging—rutinitas yang ia jalani tanpa mengajakku. Setelah itu sarapan dalam diam, lalu berangkat kerja hingga malam. Dan aku? Melanjutkan hari dengan aktivitas sama: bersih-bersih rumah yang sudah bersih, memasak untuk orang yang makan tanpa berkomentar, menonton TV sendirian.
Hidup yang sempurna di mata orang lain. Rumah mewah, suami mapan, tidak ada masalah finansial atau kekerasan. Tapi mengapa rasanya seperti mati?
Aku kembali ke tempat tidur. Dimas masih memunggungi, seolah bahkan dalam tidur tidak membutuhkanku. Aku berbaring hati-hati, tidak ingin membangunkannya.
Di luar, burung-burung mulai berkicau samar. Fajar akan menyingsing, membawa hari baru dengan rutinitas sama, perasaan sama, kekosongan sama.
Tapi malam ini berbeda. Ada musik dari rumah sebelah. Ada seseorang yang juga terjaga. Untuk pertama kali dalam waktu lama, aku merasa penasaran pada sesuatu. Dan entah mengapa, perasaan itu membuatku sedikit lebih hidup.
Ketika tidur datang, aku bermimpi tentang musik jazz lembut, bayangan di balik tirai, dan kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar
Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t
Pagi itu terasa berbeda. Setiap helaan napas lebih berat, setiap detik mengalir lambat seperti madu. Aku berdiri di jendela dapur dengan cangkir kopi dingin, memandang rumah Aldo yang sepi. Tirai kamarnya masih tertutup rapat—seperti rahasia yang belum siap terbuka.Kemarin, saat tangannya menyentuh punggungku di taman, ada sesuatu yang berubah. Benang tipis mulai mengikat kami—halus tapi kuat, tak terlihat mata namun terasa di jiwa.Dimas sudah pergi sejak subuh dengan cium rutinitas yang tak berjiwa—seperti cap stempel di surat resmi. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir ia menciumku dengan sungguh-sungguh, mata terpejam dan tangan meremas pinggangku seperti tak ingin berpisah.Aku berjalan ke pintu belakang, tanganku terulur ke handle lalu berhenti. Biasanya selalu kukunci sebelum tidur—kebiasaan yang ditanamkan Dimas. Tapi tadi malam, entah kenapa, kubiarkan terbuka. Hanya grendel tipis yang mudah dibuka dari luar.Udara pagi menyapa dengan semilir angin membawa aroma tanah basah d