Alarm iPhone Dimas berbunyi tepat pukul 05:30 dengan nada "By The Seaside" yang lembut. Ia bangkit dengan gerakan terpola—mengusap wajah, meraih ponsel, lalu beranjak ke kamar mandi tanpa melirik ke arahku.
Aku pura-pura tidur, mendengar rutinitasnya yang sudah terlalu akrab. Suara shower, sikat gigi, laci yang terbuka-tutup. Semua dalam keheningan yang menyakitkan.
Lima belas menit kemudian, ia keluar dengan pakaian olahraga yang membuat tubuh atletisnya terlihat proporsional. Di usia 34 tahun, Dimas masih menjaga bentuk badan dengan baik. Sayangnya, tubuh terawat itu seolah bukan milikku lagi.
"Morning," gumamnya sambil mengambil jam tangan, suara datar tanpa kehangatan.
"Morning, sayang. Jogging lagi?" Aku pura-pura baru bangun.
"Hmm." Matanya tidak lepas dari ponsel. "Nggak usah buatin sarapan. Aku makan setelah jogging aja."
Kalimat pendek. Tanpa tatapan mata. Seperti berbicara dengan robot.
Suara pintu tertutup menandakan ia pergi. Aku berbaring lagi, menatap langit-langit sambil mendengar kicau burung yang kontras dengan kesunyian rumah ini.
Pukul tujuh lewat, Dimas kembali dari jogging. Langsung menuju kamar mandi tanpa menyapa. Aku sudah menyiapkan nasi uduk favoritnya—kebiasaan yang masih kupertahankan meski entah dia menyadarinya atau tidak.
"Wah, nasi uduk," komentarnya sambil duduk, mata tertuju pada ponsel. Jempolnya bergerak di layar, scrolling atau membaca email.
"Iya, aku bangun pagi khusus buatin ini."
"Hmm, makasih." Tidak ada kontak mata.
Kami sarapan dalam diam. Hanya suara sendok dan notifikasi W******p yang sesekali berbunyi. Aku mencari topik pembicaraan.
"Kemarin malam aku dengar musik dari rumah sebelah. Kayaknya yang sewa udah pindahan."
"Hmm." Jawaban tanpa mengangkat kepala.
"Weekend ini kita kemana?" tanyaku dengan nada lembut.
"Weekend?" Ia menatapku sebentar. "Aku ada meeting sama klien dari Singapore. Mereka ke Jakarta cuma sabtu-minggu. Penting banget, bisa dapat kontrak besar."
Selalu ada alasan. Selalu ada klien, meeting, deadline yang "penting banget." Dan yang menyakitkan, dia mengatakannya tanpa merasa perlu meminta maaf.
"Oh... oke. Mungkin lain kali ya."
"Iya, lain kali."
Lain kali. Mantra dalam pernikahan kami yang tidak pernah terwujud.
Dimas menghabiskan sarapan dengan cepat, masih bermain ponsel. Aku memperhatikan ekspresinya—serius, alis berkerut, kadang tersenyum tipis saat membaca sesuatu. Ekspresi yang tidak pernak ia tunjukkan saat berinteraksi denganku.
"Aku berangkat dulu ya." Ia bangkit, mengambil tas dan kunci mobil.
"Pulangnya jam berapa?"
"Agak malam. Ada presentasi jam 4, terus lanjut dinner."
"Dinner sama siapa?" Pertanyaan spontan yang langsung kusesali.
"Tim kantor sama client. Kenapa?"
"Nggak... cuma tanya aja."
"Oke. Jangan lupa kunci pintu ya.". Lalu tiba-tiba dia menoleh,
"Oh iya, lupa bilang, nanti sore Tia mau main ke rumah. Dia mau ambil buku-buku kuliahnya."
"Oke, nanti aku siapin makan siang." Balasku.
"Thx."
Thx. Bahkan untuk berterima kasih, ia menggunakan singkatan.
Tanpa ciuman, tanpa pelukan, bahkan tanpa kontak mata. Suara BMW-nya perlahan menjauh.
Saat menyiram tanaman di teras, ponsel Dimas yang tertinggal di meja konsol berdering. Laalu ku bergegas mengambilnya, saat hendak mengambil ponsel Dimas nama "Sarah - Marketing" muncul di layar. Aku ragu sebentar, lalu mengangkat.
"Halo, Dimas?" suara di ponsel menyapa.
"Oh... maaf, ini istrinya. Dimas lupa bawa ponselnya."
"Ah, iya Bu. Saya Sarah dari kantor. Bisa tolong sampaikan kalau meeting sore ini dipindah ke hotel? Lokasi sudah di-share ke WA grup."
"Baik, akan saya sampaikan."
Setelah menutup telepon, rasa penasaran mengganggu. Hotel? Bukannya tadi dia bilang meeting di kantor? Dan kenapa harus di hotel untuk meeting klien?
Tanpa sadar, jempolku menyentuh layar ponsel. Tidak terkunci—Dimas lupa mengaktifkan screen lock. Chat terakhir dengan Sarah terlihat:
"Kamar sudah di-book. Usual place. See you at 2 PM ❤️"
"Can't wait to see you too, beautiful."
Dunia rasanya berputar. Jantungku berdebar kencang. Aku scroll ke atas, menemukan chat-chat yang membuatku mual:
"Last night was amazing..."
"I miss your touch already..."
"When can we tell your wife?"
"Not yet, Sarah. Give me more time."
Ponsel terjatuh dari tanganku. Tiga tahun pernikahan, dan selama ini dia... Sarah dari kantornya. Pantas saja dia semakin dingin, semakin sibuk, semakin jauh.
Aku duduk terpaku di sofa, air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Semua puzzle terpasang—meeting weekend, pulang malam, dinner dengan "tim kantor", sikap dingin, ponsel yang tidak pernah lepas dari tangannya.
Suara pintu dari rumah sebelah membuatku menoleh. Seorang pria muda keluar—tinggi, berkulit sawo matang, rambut ikal, mengenakan kaos putih dan jeans. Ia tersenyum dan melambaikan tangan.
"Pagi, Bu," sapanya ramah.
"Oh... pagi juga," balasku sambil menyeka mata.
"Baru pindah ya? Saya Aldo. Maaf kalau kemarin malam musiknya agak kencang."
"Raisa. Tidak apa-apa kok. Malah... enak didengar."
"Baguslah kalau nggak ganggu. Saya freelance desainer interior, tapi hobby musik. Bu Raisa sendiri kerja apa?"
Pertanyaan sederhana yang membuat dadaku sesak. "Saya... ibu rumah tangga."
"Oh, berarti di rumah terus dong. Pasti sepi ya kalau suami kerja."
Ada empati dalam nada bicaranya. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.
"Lumayan. Ya sudah, saya masuk dulu."
"Sampai jumpa, Bu Raisa."
Aku masuk dengan perasaan campur aduk. Baru saja menemukan bukti perselingkuhan suami, tapi entah mengapa percakapan singkat dengan tetangga baru itu memberikan sedikit kehangatan di tengah kehancuran hatiku.
Sisa hari kuhabiskan dengan pikiran kacau. Sore hari Tia datang dengan wajah masam seperti biasa, tapi kali ini aku tidak peduli. Pikiranku penuh dengan pertanyaan—apa yang harus kulakukan? Berapa lama ini sudah berlangsung? Apakah masih ada harapan untuk pernikahan kami?
Saat malam tiba dan Dimas belum juga pulang, aku duduk di teras, menatap rumah Aldo yang remang-remang. Suara jazz lembut terdengar dari sana, memberikan sedikit ketenangan di tengah badai emosiku.
Hidup yang kupikir monoton ternyata menyimpan rahasia yang menghancurkan. Dan di saat yang sama, ada tetangga baru yang tanpa sadar mulai mewarnai hari-hariku yang kelam.
Tetangga bernama Aldo yang mungkin menjadi secercah cahaya di tengah kegelapan pernikahanku.
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar
Tiga hari berlalu sejak percakapan di halaman belakang. Tiga hari aku menghindari kontak mata dengan Aldo, meski setiap kali melihatnya di teras, ada sesuatu dalam perutku yang berkedut—campuran keinginan dan ketakutan yang membuatku bingung.Langit mendung sejak pagi. Aku memutuskan pergi ke pasar tradisional, butuh udara berbeda dari keheningan yang mulai mencekik. Di tengah hiruk pikuk pasar, aku membeli sayuran dan bumbu dapur. Saat melangkah keluar, titik-titik air mulai berjatuhan.Hujan berubah menjadi guyuran dalam hitungan menit. Aku berlari mencari perlindungan, akhirnya berhenti di bawah atap seng warung kopi tutup. Napasku terengah, rambut basah menempel di wajah, kaos biru langit mulai tembus pandang."Raisa?"Aldo berdiri tidak jauh, juga basah kuyup dengan kaos hitam menempel di tubuhnya yang atletis. Rambut menetes air, di tangannya payung lipat hitam."Beruntung aku bawa payung," ia tersenyum hangat meski tubuhku basah kedinginan. "Mau bareng pulang?"Aku mengangguk t
Pagi itu terasa berbeda. Setiap helaan napas lebih berat, setiap detik mengalir lambat seperti madu. Aku berdiri di jendela dapur dengan cangkir kopi dingin, memandang rumah Aldo yang sepi. Tirai kamarnya masih tertutup rapat—seperti rahasia yang belum siap terbuka.Kemarin, saat tangannya menyentuh punggungku di taman, ada sesuatu yang berubah. Benang tipis mulai mengikat kami—halus tapi kuat, tak terlihat mata namun terasa di jiwa.Dimas sudah pergi sejak subuh dengan cium rutinitas yang tak berjiwa—seperti cap stempel di surat resmi. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir ia menciumku dengan sungguh-sungguh, mata terpejam dan tangan meremas pinggangku seperti tak ingin berpisah.Aku berjalan ke pintu belakang, tanganku terulur ke handle lalu berhenti. Biasanya selalu kukunci sebelum tidur—kebiasaan yang ditanamkan Dimas. Tapi tadi malam, entah kenapa, kubiarkan terbuka. Hanya grendel tipis yang mudah dibuka dari luar.Udara pagi menyapa dengan semilir angin membawa aroma tanah basah d