Sudah dua minggu sejak malam kedua kami. Dua minggu yang terasa seperti hidup ganda: pagi sebagai istri patuh bernama Raisa Hartadi, dan malam sebagai perempuan yang kembali merasa hidup. Pagi ini, Dimas duduk di meja makan, membaca berita di tablet. Di depannya sarapan roti bakar dan telur mata sapi, tapi matanya terpaku pada layar. "Proyek Surabaya ditunda lagi," gumamnya. "Kenapa?" aku bertanya sambil menuang kopi. "Klien minta revisi. Jadi aku harus lembur seminggu ini." Lembur. Artinya pulang malam. Dan itu artinya… kesempatan. Begitu mobilnya menjauh, aku mengirim pesan ke Aldo. "Dia lembur minggu ini." Balasannya langsung masuk: "Berarti kita bisa lebih sering bertemu, sayang." Kata "sayang" itu… seperti bisikan yang membuat seluruh tubuhku hangat. Aku tidak ingat kapan terakhir Dimas memanggilku seperti itu. "Malam ini ke rumahku jam 7. Ada kejutan." tulis Aldo. "Apa?" "Surprise. Percaya sama aku." Sore harinya, aku bertemu Bu Wati saat menyiram tanaman. "Rais
Pukul dua siang, rumah kami hening seperti makam. Dimas sudah berangkat ke kantor sejak pagi dengan wajah datar seperti biasa—tak ada pelukan perpisahan, tak ada kecupan singkat di pipi, bahkan tatapan matanya pun seolah menembus tubuhku tanpa benar-benar melihat. Aku berdiri di balik tirai ruang tamu, memastikan tidak ada orang sebelum langkahku bergerak menuju pintu belakang.Jantungku berdegup kencang, hampir seperti ingin melompat keluar dari dada. Tanganku gemetar saat memutar gagang pintu. Udara siang yang panas menerpa wajahku, tapi bukan matahari yang membuat kulitku membara—melainkan antisipasi akan sentuhannya. Langkahku pelan, hampir menyelinap, melintasi halaman belakang menuju pagar pembatas. Di sana, seperti yang sudah menjadi ritual rahasia kami, Aldo menunggu."Kamu sudah lama menunggu?" bisikku, suaraku serak oleh hasrat yang menumpuk. Senyumnya muncul—senyum nakal yang selalu berhasil membuat perutku berdegup liar. "Sejak tadi pagi aku sudah tidak sabar," jawabnya
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak
Dua hari berlalu sejak kejadian di bawah payung, tapi bayangan moment itu terus menghantui. Setiap kali memejamkan mata, aku masih bisa merasakan napas hangat Aldo di wajahku, sentuhan lembut jari-jarinya di pipiku. Jantungku berdetak lebih cepat setiap kali melihat rumahnya dari jendela dapur.Pagi ini Dimas berangkat lebih awal untuk presentasi penting. Kecupan singkat di dahiku, lalu ia menghilang bersama tas laptop dan berkas-berkasnya."Aku mungkin pulang malam, Raisa."Rumah kembali sunyi. Hanya dengung kulkas dan detik jarum jam yang terasa menggema. Aku berkeliling tanpa tujuan, membereskan barang yang sudah rapi, mencari kesibukan untuk mengalihkan pikiran yang terus kembali pada Aldo.Sekitar jam sepuluh, ketukan pelan di pintu belakang membuat jantungku berpacu. Aldo berdiri di balik kaca, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya sempurna. Rambut sedikit berantakan, mata jernih menatapku seolah aku satu-satunya hal penting di dunia."Hai," suaranya serak, lebih dalam dar