Pagi itu berbeda. Rutinku sama—jam enam kurang lima menit sudah berdiri di dapur, menyiapkan kopi hitam untuk Dimas dan teh jahe untukku. Tapi ada sesuatu di udara, seperti listrik sebelum hujan turun, yang membuatku merasa... hidup.
Setelah Dimas berangkat dengan ciuman singkat di keningku—rutinitas yang sudah kehilangan makna—aku memutuskan pergi ke pasar lebih awal. Kakiku seperti tak sabar melangkah keluar rumah.
Pasar tradisional di ujung kompleks selalu ramai di pagi hari. Aku berkeliling dari satu lapak ke lapak lain, mengisi kantong belanja dengan sayuran segar dan bumbu dapur.
"Bu, tomat yang ini bagus, Bu. Masih segar dari kemarin sore," kata Bu Sari sambil mengangkat tomat merah mengkilap.
"Saya ambil setengah kilo," jawabku, mengamati tangannya yang kasar, penuh garis-garis bertahun-tahun bekerja. Berbeda dengan tanganku yang halus, terawat, tapi kosong dari cerita apa pun.
"Bu Raisa!"
Suara itu membuatku menoleh. Aldo berdiri di ujung lorong pasar, mengenakan kaos putih yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti baru bangun tidur, tapi entah kenapa itu membuatnya terlihat... menggoda.
"Aldo," sapaku, berusaha terdengar casual meski jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam caranya bergerak—langkah yang percaya diri, senyuman yang hangat—yang membuatku merasa seperti gadis remaja lagi.
Dia berjalan mendekat dengan santai, otot-otot lengannya terlihat tegang saat mengangkat kantong belanja. "Jarang lihat tetangga belanja sepagi ini."
Aku tertawa kecil, menyadari matanya yang cokelat hangat menatapku dengan intensitas yang membuatku gugup. "Hari ini pengen yang segar-segar."
"Betul juga." Matanya melirik kantong belanjaku yang penuh. "Wah, berat tuh kayaknya."
Ketika aku mengangkat kantong untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja, tanganku tiba-tiba terasa lemas. Mungkin karena gugup, atau karena cara matanya menatapku. Kantong itu hampir terlepas dari genggamanku.
"Eh, hati-hati!" Dengan refleks cepat, Aldo menangkap kantong belanjaku. Tangannya bersentuhan dengan tanganku—hanya sebentar, tapi cukup untuk membuatku merasakan hangatnya kulitnya yang kasar namun lembut. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang menjalar dari ujung jariku ke seluruh tubuh.
"Makasih," gumamku, wajahku tiba-tiba terasa panas. Aku menyadari betapa dekatnya dia berdiri—aroma maskulinnya yang segar bercampur dengan sedikit keringat pagi membuatku hampir pusing.
"Sama-sama." Dia tidak langsung melepaskan kantong belanjaku, jari-jarinya masih bersentuhan dengan tanganku. "Ini beneran berat, lho. Gimana kalau aku bantuin bawa ke rumah?"
"Nggak usah, Aldo. Nanti kamu repot." Tapi suaraku terdengar lemah, tidak meyakinkan.
"Repot apanya? Lagian kita searah, kan?" Senyumannya yang miring itu membuatku merasa seperti sedang meleleh di bawah sinar matanya.
Berkali-kali aku menatap wajahnya—rahang yang tegas, bibir yang terlihat lembut, mata yang menatapku seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwa. Ada sesuatu yang membuatku merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang—antara melompat atau mundur ke belakang.
"Ya udah, makasih ya," kataku akhirnya, suaraku hampir berbisik.
Kami berjalan berdampingan keluar dari pasar. Setiap kali lengan kami tidak sengaja bersentuhan, tubuhku bergetar halus. Aku mencoba fokus pada obrolan ringan, tapi pikiranku terus melayang pada caranya bergerak—percaya diri, maskulin, namun lembut.
Sampai di depan rumahku, Aldo menyerahkan kantong belanjaanku. Jari-jarinya sengaja menyentuh tanganku lebih lama dari yang diperlukan.
"Makasih ya, udah bantuin," kataku, menatap matanya yang cokelat hangat.
"Sama-sama. Kapan-kapan kalau belanja lagi, bilang aja."
Tapi dia tidak langsung pergi. Kami berdiri di sana, saling menatap dalam keheningan yang penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Matanya menatapku dengan cara yang membuatku merasa... dilihat. Benar-benar dilihat sebagai seorang wanita.
"Raisa..." katanya pelan, suaranya serak dan dalam.
"Iya?" Jantungku berdetak kencang, mengantisipasi apa yang akan dia katakan.
"Kamu baik-baik aja, kan?" Pertanyaan itu terdengar seperti lebih dari sekadar perhatian tetangga. Ada keintiman dalam cara dia mengatakannya.
"Kenapa nanya gitu?"
"Kadang-kadang kamu kelihatan... sedih gitu." Matanya menelusuri wajahku dengan lembut, seolah mencoba membaca setiap ekspresi.
"Aku baik-baik aja kok," jawabku, tapi suaraku bergetar.
"Aku punya kopi bagus di rumah. Kalau kamu mau nyoba someday... rumahku selalu terbuka." Cara dia mengatakan itu—dengan suara rendah dan mata yang menatap intens—membuatku merasa seperti dia menawarkan lebih dari sekadar kopi.
"Kadang-kadang kita butuh teman ngobrol, kan?" Nada suaranya yang lembut dan penuh perhatian itu membuatku ingin menangis sekaligus memeluknya.
"Aku... aku harus masuk. bye."
"Kalau butuh apa-apa, rumahku di sebelah. Jangan sungkan." Matanya masih menatapku dengan intensitas yang membuatku merasa telanjang.
Setelah dia pergi, aku bersandar pada dinding dapur, napas terengah-engah. Aku menyentuh tangan yang tadi bersentuhan dengan tangannya—masih ada sisa-sisa hangatnya di sana, membakar kulitku dengan kenangan yang manis.
Saat mencuci sayuran, aku tidak sengaja melihat ke jendela yang menghadap rumah Aldo. Bayang-bayang tubuhnya bergerak di balik tirai, dan aku membayangkan bagaimana rasanya jika... Aku cepat mengalihkan pandangan, wajahku memanas.
Aku menutup mata sejenak.
Bayangan wajahnya memenuhi benakku—cara matanya menatapku seperti menguliti semua lapisan yang selama ini kubangun. Lalu bayangan itu bergerak lebih jauh… lebih dekat.
Dalam pikiranku, aku berdiri di dapur ini, dan Aldo masuk diam-diam dari pintu belakang, membungkamku dengan ciuman yang lembut tapi penuh hasrat. Tangannya menelusuri punggungku dengan perlahan, lalu memelukku dari belakang—erat, tubuhnya yang panas menyatu dengan kulitku yang dingin. Aku bisa merasakan napasnya di tengkukku, berat dan dalam, saat bibirnya menyentuh leherku, meninggalkan jejak lembap yang membuatku menggigil.
"Kamu harum," bisiknya di telingaku. "Aku udah lama ngebayangin ini."
Aku tidak menjawab, hanya membiarkannya memutar tubuhku, menatapku dengan mata yang menyala. Lalu bibirnya menyergap bibirku—hangat, penuh, mengisap pelan hingga aku mendesah tanpa sadar. Tangan kami saling mencari—menyentuh, menggenggam, menggali rindu yang belum sempat tumbuh tapi sudah terasa menyakitkan.
Kemeja tipis yang kupakai terasa terlalu mengganggu, dan dalam bayangan itu, Aldo menyibakkannya, menyentuh kulitku dengan telapak tangannya yang kasar. Sentuhannya seperti aliran listrik yang menyambar—panas, memabukkan. Aku mencengkeram bahunya, tubuhku bergetar di bawah desahannya yang berat.
"Aku pengen kamu, Raisa..."
Kalimat itu berbisik di benakku, dan aku menarik napas panjang, membuka mata. Aku kembali berdiri sendiri di dapur yang dingin, dengan sayuran yang masih basah di baskom dan aroma jahe dari cangkirku yang sudah dingin.
Suara mobil Dimas membuatku tersadar. Aku bergegas menyelesaikan persiapan makan siang, tapi ketika dia masuk dan menyapaku, aku merasa menyembunyikan rahasia besar.
"Kamu kelihatan... berbeda," kata Dimas. "Lebih bersemangat."
"Habis ke pasar pagi-pagi," jawabku, tersenyum sambil menyembunyikan gejolak dalam dadaku.
Saat Dimas menghilang ke ruang kerjanya, aku berdiri di dapur, menatap jendela yang menghadap ke rumah Aldo. Untuk pertama kalinya dalam waktu sangat lama, aku merasa ada sesuatu yang patut ditunggu dalam hidupku.
Sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang mungkin akan menghancurkan segalanya.
Tapi juga sesuatu yang membuat aku merasa hidup kembali—bernapas, berdesir, dan berharap dengan cara yang sudah terlalu lama kulupakan.
Pagi itu tubuhku masih menyimpan hangat yang bukan berasal dari selimut atau udara kamar. Gaun merah marun yang kupakai semalam sudah terlipat rapi, tersembunyi di balik tumpukan pakaian lama. Tapi sentuhan itu… cara tangan Aldo menelusuri punggungku, ciumannya yang memabukkan, dan bisikan “sayang” yang meleleh di telingaku—semuanya masih melekat di kulitku.Aku memasak seperti biasa. Telur mata sapi dan roti panggang. Rutinitas lima tahun yang seharusnya membosankan. Tapi pagi ini berbeda. Aku bersenandung lagu yang ia nyanyikan semalam saat memelukku di sofa."You are so beautiful... to me…"Suaraku mengalun lembut, dan aku tak sadar sedang tersenyum pada bayangan di cermin dapur.“Kamu kenapa?” suara Dimas membuatku tersentak.Aku menoleh cepat. Ia berdiri di ambang pintu dapur, rapi dengan kemeja putih dan dasi biru tua. Tapi tatapannya… tidak seperti biasanya. Kali ini ia menatapku penuh tanya.“Kamu... bersenandung. Udah lama banget kamu nggak nyanyi,” katanya.“Oh, ya? Mungkin
Sudah dua minggu sejak malam kedua kami. Dua minggu yang terasa seperti hidup ganda: pagi sebagai istri patuh bernama Raisa Hartadi, dan malam sebagai perempuan yang kembali merasa hidup. Pagi ini, Dimas duduk di meja makan, membaca berita di tablet. Di depannya sarapan roti bakar dan telur mata sapi, tapi matanya terpaku pada layar. "Proyek Surabaya ditunda lagi," gumamnya. "Kenapa?" aku bertanya sambil menuang kopi. "Klien minta revisi. Jadi aku harus lembur seminggu ini." Lembur. Artinya pulang malam. Dan itu artinya… kesempatan. Begitu mobilnya menjauh, aku mengirim pesan ke Aldo. "Dia lembur minggu ini." Balasannya langsung masuk: "Berarti kita bisa lebih sering bertemu, sayang." Kata "sayang" itu… seperti bisikan yang membuat seluruh tubuhku hangat. Aku tidak ingat kapan terakhir Dimas memanggilku seperti itu. "Malam ini ke rumahku jam 7. Ada kejutan." tulis Aldo. "Apa?" "Surprise. Percaya sama aku." Sore harinya, aku bertemu Bu Wati saat menyiram tanaman. "Rais
Pukul dua siang, rumah kami hening seperti makam. Dimas sudah berangkat ke kantor sejak pagi dengan wajah datar seperti biasa—tak ada pelukan perpisahan, tak ada kecupan singkat di pipi, bahkan tatapan matanya pun seolah menembus tubuhku tanpa benar-benar melihat. Aku berdiri di balik tirai ruang tamu, memastikan tidak ada orang sebelum langkahku bergerak menuju pintu belakang.Jantungku berdegup kencang, hampir seperti ingin melompat keluar dari dada. Tanganku gemetar saat memutar gagang pintu. Udara siang yang panas menerpa wajahku, tapi bukan matahari yang membuat kulitku membara—melainkan antisipasi akan sentuhannya. Langkahku pelan, hampir menyelinap, melintasi halaman belakang menuju pagar pembatas. Di sana, seperti yang sudah menjadi ritual rahasia kami, Aldo menunggu."Kamu sudah lama menunggu?" bisikku, suaraku serak oleh hasrat yang menumpuk. Senyumnya muncul—senyum nakal yang selalu berhasil membuat perutku berdegup liar. "Sejak tadi pagi aku sudah tidak sabar," jawabnya
Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan
Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le
Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak