Share

Bab 6: Lina dan Rahasia Arisan

Penulis: Reva Chazep
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-12 23:26:26

Hari Kamis adalah hari arisan bulanan di rumah Bu Sari. Biasanya aku datang karena kewajiban sosial, tapi hari ini aku butuh distraksi dari pikiran yang semakin sering melayang ke Aldo.

Sudah empat hari sejak kejadian coffee maker. Setiap pagi aku menunggu-nunggu melihatnya di halaman. Kemarin ia melambai dan berteriak "Selamat pagi!" dari kejauhan, dan aku hampir tersandung karena terlalu excited membalas. Jurnal rahasiaku bertambah lima halaman dalam empat hari terakhir—tulisan yang semakin berani, bahkan fantasi tentang Aldo yang masuk ke kamarku.

Aku memilih dress floral biru muda yang dulu selalu dipuji Dimas. Ingin terlihat cantik hari ini, meski tidak yakin untuk siapa.

Rumah Bu Sari sudah ramai. Ada enam ibu-ibu yang biasa datang, dan seperti biasa Lina menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang glamor—dress hitam ketat, makeup flawless, perhiasan berkilau.

"Raisa! Wah, kamu cantik banget hari ini," katanya sambil mengamatiku. "Ada acara khusus?"

"Enggak kok, biasa aja."

"Hmm," Lina mengerling nakal. "Atau mungkin ada yang spesial di rumah?"

Jantungku berdebar. Apakah dia tahu sesuatu?

Arisan berjalan seperti biasa—Bu Rina dapat giliran bulan ini, lalu obrolan ringan tentang anak-anak dan suami. Tapi aku merasakan Lina tampak lebih excited, seolah menyimpan berita besar.

Saat kami menikmati kue dan teh, Lina bersandar ke arahku. "Raisa, kamu pernah nggak merasa... bosan?"

"Bosan gimana?"

"Ya, bosan sama rutinitas. Bangun pagi, masak, beresin rumah, tunggu suami pulang, tidur. Besoknya ngulang lagi."

Bu Sari tertawa. "Ah, Lina. Kamu tuh selalu aja cari sensasi."

"Bukan cari sensasi, tapi hidup tuh cuma sekali kan? Masa iya kita spend semuanya untuk orang lain terus?" Lina menatap kami satu per satu. "Kalian tahu nggak, aku baru nyadar sesuatu. Kita tuh udah lama banget nggak ngobrolin hal-hal yang... real."

"Real gimana?" Bu Rina terlihat penasaran.

Lina condong ke depan. "Misalnya... kapan terakhir kali kalian merasa sexy?"

Keheningan tiba-tiba menyelimuti ruangan.

"Lina!" Bu Mega shock. "Pertanyaan apa itu?"

"Pertanyaan yang honest. Ayolah, kita semua udah dewasa." Lina tersenyum lebar. "Oke, aku duluan. Kemarin aku shopping di mall, ada cowok muda yang ngeliatin aku terus. Dia mendekati aku di food court, bilang aku cantik dan mau kenalin sama adiknya. Aku enjoyed banget attention-nya. Udah lama aku nggak diperhatiin sama cowok seperti itu."

Aku merasa jantungku berdebar. Ceritanya mengingatkan perasaanku saat ngobrol dengan Aldo.

"Suami kamu nggak perhatian?" tanya Bu Dewi.

"Perhatian sih, tapi perhatian suami sama cowok lain kan beda. Suami udah taken for granted, nggak perlu effort lagi. Tapi cowok lain? Mereka masih harus berusaha."

Bu Sari mengangguk. "Iya, suamiku juga jarang puji aku cantik."

"Nah, itu dia! Kita butuh validation bahwa kita masih attractive. It's human nature."

"Tapi kan kita udah nikah," kata Bu Mega ragu.

Lina tersenyum misterius. "Siapa bilang mikir aja udah nggak boleh? Yang nggak boleh kan kalo action."

"Bedanya tipis," gumam Bu Dewi.

"Exactly. Makanya kita harus tau batas masing-masing."

Aku merasa sedang mendengar percakapan berbahaya, tapi tidak bisa berhenti. Setiap kata Lina seperti memberikan persetujuan untuk perasaan yang sedang kurasakan.

"Raisa quiet banget," kata Lina menatapku tajam. "Kamu gimana? Pernah nggak merasa... curious?"

"Curious tentang apa?"

"Tentang gimana rasanya jadi wanita lain. Wanita yang bebas, yang bisa flirt, yang bisa merasa attractive tanpa mikirin status sebagai istri."

Pertanyaan itu menusuk tepat ke jantung konflikku. Aku terdiam.

"Lina, kamu terlalu jauh," kata Bu Sari datar.

"Aku cuma honest. Dan aku yakin semua orang pernah merasakan hal yang sama. Kita cuma terlalu takut acknowledge it."

Bu Mega mulai bicara ragu. "Aku kadang mikir, gimana rasanya kalo ada cowok lain yang ngejar aku. Bukan buat selingkuh, tapi cuma... pengen tau aku masih attractive."

"See? Kita semua normal. Kita semua punya fantasies," kata Lina menang. "Kadang fantasy bisa jadi inspiration untuk bikin reality lebih exciting."

"Maksudmu?" tanyaku.

Lina menatapku penuh makna. "Misalnya, kalo kamu fantasy tentang cowok lain, use that energy untuk seduce suami. Win-win solution."

Tapi aku tahu itu bukan maksudku. Fantasi tentang Aldo tidak membuatku ingin mendekati Dimas—justru membuat ku semakin sadar jarak antara kami.

"Atau," lanjut Lina dengan nada rendah, "kadang kita bisa explore fantasy tanpa cross the line. Flirting sedikit, dress up cantik. Nggak ada yang salah."

"Contohnya?"

"Aku sering chat sama personal trainer di gym. Nggak inappropriate, tapi dia compliment aku, tanya kabar. Makes me feel good. Yang penting nggak cheating, kan?"

"Raisa, kamu diem banget. Share dong."

"Aku nggak punya cerita kayak gitu."

"Come on, pasti ada. Mungkin tetangga yang ganteng? Atau maybe... someone new?"

Cara dia bilang "someone new" membuatku curiga. "Kenapa kamu nanya gitu?"

"Intuisi wanita. Plus, aku lihat kamu beda akhir-akhir ini. More glowing. Pasti ada sesuatu yang bikin happy."

"Aku nggak beda-beda," protesku tidak meyakinkan.

"Oke, aku nggak maksa. Tapi kalo butuh teman curhat, aku available. No judgment."

Arisan berakhir dengan atmosfir berbeda. Saat berpamitan, Lina memelukku lama.

"Seriously, Ra, kalo butuh bicara, call me. Aku tau gimana rasanya merasa trapped. Dan aku tau cara handle it without destroying everything."

Sepulang arisan, aku langsung mengambil jurnal:

"Lina bilang: 'Marriage doesn't kill our sexuality, tapi society yang bilang kita harus pretend like it does.' Apa dia benar? Apakah aku pretend menjadi istri yang tidak punya desires?"

"Dia bilang ada cara explore fantasy tanpa cross the line. But what is the line? Siapa yang tentukan?"

"Aku terus mikir Aldo. Tentang pertanyaannya: 'Ibu bahagia?' Tidak ada yang pernah bertanya itu."

Malam itu, saat Dimas pulang dan tenggelam dalam laptopnya, aku tidak merasa sedih. Malah merasa... berdaya. Seperti ada ijin untuk merasakan sesuatu yang natural.

Aku menatap Dimas yang sibuk dengan spreadsheet, lalu ke arah jendela—ke rumah Aldo. Lampu kamarnya masih menyala. Angin malam berhembus pelan melalui jendela yang sedikit terbuka, membelai kulitku yang mulai terasa hangat. Mataku masih tertuju pada cahaya lampu kamar Aldo, membayangkan bayangannya bergerak di balik tirai. Aku membayangkan diriku berdiri di sana, di ruangannya, dengan keberanian yang bahkan tak kumiliki dalam fantasiku selama ini.

Bayangan itu begitu jelas—aku mendekatinya dari belakang, mencium aroma sabun mandinya yang segar bercampur sedikit kayu. Tanganku melingkar perlahan di pinggangnya, merasakan otot perutnya yang kencang saat ia menahan napas.

"Kita tahu ini salah..." bisik Aldo dalam imajinasiku, tapi tubuhnya tidak menjauh.

"Aku tahu," jawabku, membiarkan bibirku menyentuh tengkuknya, menelusuri garis tulang lehernya yang tegas. Napasnya semakin berat, dan tangannya menutupi tanganku yang mulai menjelajah naik ke dadanya.

"Kita tidak boleh—"

"Hanya sekali," desisku, menggigit lembut telinganya. Dalam fantasi ini, ia berbalik dan menatapku dengan mata yang gelap, penuh konflik. Tangannya yang hangat meraba tulang rusukku melalui kain dress tipis, membuat nafasku tersendat.

"Kamu terlalu cantik untuk dilupakan," gumamnya sebelum mulutnya merebut bibirku dalam ciuman yang panas dan dalam. Lidahnya menyelusup dengan mahir, membuat lututku lemas. Tanganku meraih rambutnya yang pendek, menariknya lebih dekat, ingin menghilangkan jarak yang selama ini memisahkan kami.

Tiba-tiba Dimas berseru dengan suara lantang, "Ra, aku mau mandi dulu," kata Dimas, melepas dasinya.

Aku tersentak, seketika kembali ke realita. Jantungku berdegup kencang, pipiku memerah. Fantasi itu terasa begitu nyata sampai-sampai aku masih bisa merasakan sisa kehangatan Aldo di ujung jemariku.

"Aku... aku juga mau mandi," kataku tergagap, bergegas ke kamar mandi sebelum Dimas melihat ekspresiku yang bersalah.

Air dingin mengalir di tubuhku, tapi tidak bisa menghilangkan panas yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Di balik kelopak mata yang tertutup, aku masih melihat Aldo—rasanya, sentuhannya, cara dia membuatku merasa hidup lagi.

Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa bersalah karena tidak bisa berhenti memikirkan tetangga sebelah.

Mungkin Lina benar. Mungkin aku hanya butuh mengakui bahwa aku masih seorang wanita yang mempunyai keinginan.

Mungkin itu langkah pertama untuk merasa hidup kembali.

Meskipun berbahaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 18: Wajah Dingin di Meja Makan

    Pagi itu tubuhku masih menyimpan hangat yang bukan berasal dari selimut atau udara kamar. Gaun merah marun yang kupakai semalam sudah terlipat rapi, tersembunyi di balik tumpukan pakaian lama. Tapi sentuhan itu… cara tangan Aldo menelusuri punggungku, ciumannya yang memabukkan, dan bisikan “sayang” yang meleleh di telingaku—semuanya masih melekat di kulitku.Aku memasak seperti biasa. Telur mata sapi dan roti panggang. Rutinitas lima tahun yang seharusnya membosankan. Tapi pagi ini berbeda. Aku bersenandung lagu yang ia nyanyikan semalam saat memelukku di sofa."You are so beautiful... to me…"Suaraku mengalun lembut, dan aku tak sadar sedang tersenyum pada bayangan di cermin dapur.“Kamu kenapa?” suara Dimas membuatku tersentak.Aku menoleh cepat. Ia berdiri di ambang pintu dapur, rapi dengan kemeja putih dan dasi biru tua. Tapi tatapannya… tidak seperti biasanya. Kali ini ia menatapku penuh tanya.“Kamu... bersenandung. Udah lama banget kamu nggak nyanyi,” katanya.“Oh, ya? Mungkin

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 17: Panggilan Sayang yang Bukan untuk Suami

    Sudah dua minggu sejak malam kedua kami. Dua minggu yang terasa seperti hidup ganda: pagi sebagai istri patuh bernama Raisa Hartadi, dan malam sebagai perempuan yang kembali merasa hidup. Pagi ini, Dimas duduk di meja makan, membaca berita di tablet. Di depannya sarapan roti bakar dan telur mata sapi, tapi matanya terpaku pada layar. "Proyek Surabaya ditunda lagi," gumamnya. "Kenapa?" aku bertanya sambil menuang kopi. "Klien minta revisi. Jadi aku harus lembur seminggu ini." Lembur. Artinya pulang malam. Dan itu artinya… kesempatan. Begitu mobilnya menjauh, aku mengirim pesan ke Aldo. "Dia lembur minggu ini." Balasannya langsung masuk: "Berarti kita bisa lebih sering bertemu, sayang." Kata "sayang" itu… seperti bisikan yang membuat seluruh tubuhku hangat. Aku tidak ingat kapan terakhir Dimas memanggilku seperti itu. "Malam ini ke rumahku jam 7. Ada kejutan." tulis Aldo. "Apa?" "Surprise. Percaya sama aku." Sore harinya, aku bertemu Bu Wati saat menyiram tanaman. "Rais

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 16: Liar dalam Pelukan Tetangga

    Pukul dua siang, rumah kami hening seperti makam. Dimas sudah berangkat ke kantor sejak pagi dengan wajah datar seperti biasa—tak ada pelukan perpisahan, tak ada kecupan singkat di pipi, bahkan tatapan matanya pun seolah menembus tubuhku tanpa benar-benar melihat. Aku berdiri di balik tirai ruang tamu, memastikan tidak ada orang sebelum langkahku bergerak menuju pintu belakang.Jantungku berdegup kencang, hampir seperti ingin melompat keluar dari dada. Tanganku gemetar saat memutar gagang pintu. Udara siang yang panas menerpa wajahku, tapi bukan matahari yang membuat kulitku membara—melainkan antisipasi akan sentuhannya. Langkahku pelan, hampir menyelinap, melintasi halaman belakang menuju pagar pembatas. Di sana, seperti yang sudah menjadi ritual rahasia kami, Aldo menunggu."Kamu sudah lama menunggu?" bisikku, suaraku serak oleh hasrat yang menumpuk. Senyumnya muncul—senyum nakal yang selalu berhasil membuat perutku berdegup liar. "Sejak tadi pagi aku sudah tidak sabar," jawabnya

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 15: Malam Tanpa Izin

    Seminggu setelah kunjungan Aldo, atmosfer di antara kami berubah total. Setiap tatapan yang bertahan lebih lama, senyuman yang lebih dalam, dan pesan-pesan yang semakin berani membakar hasrat yang terpendam."Aku bermimpi tentangmu lagi tadi malam," pesannya kemarin sore."Mimpi menyentuh rambutmu yang tergerai, mencium aroma kulitmu, mendengar suaramu memanggil namaku dengan cara yang... berbeda."Pesan seperti itu membuatku gelisah seharian. Dimas bahkan menanyakan kenapa aku tampak linglung.Malam ini berbeda. Dimas bilang akan lembur hingga larut, bahkan sudah menyiapkan bantal di ruang kerja. Setelah ia masuk dan menutup pintu, ponsel bergetar."Suamimu sudah tidur?""Masih bekerja di ruang kerja. Akan lembur sampai larut.""Berarti kamu sendirian? Boleh aku ke sana? Hanya untuk ngobrol."Jantung berpacu. Ini adalah momen yang kubayangkan dan kutakuti sekaligus."Dimas ada di rumah. Terlalu berisiko.""Ruang kerjanya menghadap ke mana?""Ke depan. Tidak bisa melihat pintu belakan

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 14: Pesan Singkat, Nafas Panjang

    Tiga hari berlalu sejak malam di kamar mandi itu. Setiap kali menatap Dimas, rasa bersalah bercampur hasrat terlarang yang membuatku ingin menjauh, takut ia bisa membaca pikiran kotorku.Pagi ini, seperti biasa, Dimas sudah berangkat kerja sebelum aku bangun. Hanya tersisa aroma kopi dan kehampaan yang semakin menganga di rumah ini.Ponselku berdering saat menyiram tanaman di teras. Pesan dari nomor tak dikenal yang sudah kuhapal."Selamat pagi, Raisa. Semoga harimu menyenangkan."Jantung berdebar seperti remaja yang dapat pesan dari gebetan. Aldo. Jari-jari bergetar di atas keyboard."Selamat pagi juga. Terima kasih."Balasan datang cepat. "Tanamannya bagus sekali. Pasti butuh perawatan khusus, ya?"Kulirik ke arah rumahnya. Tirai jendela kamar tidur bergerak sedikit. Ia memang sedang mengintip. Darah berdesir."Tidak juga. Hanya perlu perhatian dan sentuhan lembut."Setelah mengirim, aku sadar betapa ambigunya kalimat itu."Sama seperti wanita cantik. Perlu perhatian dan sentuhan le

  • Aku, Seorang Istri Tetangga: Gairah Membara yang Terbebaskan   Bab 13: Tubuh yang Merespons Dosa

    Pukul tiga pagi, aku terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi kening, jantung berdetak tak beraturan. Mimpi tentang Aldo masih menggantung seperti asap yang enggan sirna, meninggalkan jejak sensual yang membakar seluruh tubuhku.Kulirik ke samping. Dimas masih tertidur pulas, tak terganggu badai yang mengamuk dalam diriku. Tubuhku bergetar—ada sensasi aneh mengalir dari ujung kaki hingga puncak kepala. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan. Sejak kapan terakhir kali merasakan gairah semurni ini?Bangkit perlahan, kaki telanjang menginjak lantai dingin. Cermin besar memantulkan bayangan seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun dengan mata berkabut karena mimpi yang baru berakhir—mata yang tampak asing, berkilau berbeda.Di kamar mandi, lampu menerangi wajahku yang memerah. Air dingin kucipratkan ke wajah, tapi sia-sia. Setiap tetes malah mengingatkan sensasi dalam mimpi—bagaimana jari Aldo menelusuri pipiku, bibirnya berbisik namaku dengan nada yang tak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status