"Maaf sebelumnya, saya lupa bertanya tentang status Anda. Apakah Anda suaminya Nona Naya? Teman atau saudaranya?" Pertanyaan dari dokter itu seketika membuyarkan lamunan Ustad Yunus.
"Bukan, Dok." Ustad Yunus menggeleng. "Saya bukan siapa-siapanya.""Kalau begitu tolong hubungi keluarganya, Pak," pinta dokter. "Beritahukan mereka tentang kondisi Nona Naya supaya dia cepat mendapatkan perawatan khusus.""Tapi, Dok, apakah depresi yang dialami Naya bisa disembuhkan?" tanya Ustad Yunus yang masih penasaran dengan kondisi Naya."Tergantung pada tingkat depresinya, Pak. Saya tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut ... karena saya bukan dokter spesialisnya. Tapi semoga saja Nona Naya bisa pulih. Dan saran saya, tolong minta keluarganya untuk mencari seseorang bernama Yunus, karena sejak tadi Nona Naya terus menyebut-nyebut namanya."Ustad Yunus merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar kata-kata dokter itu.'Naya menyebut-nyebut namaku?' pikirnya. 'Apakah benar kondisinya seperti ini karena aku? Karena dia ingin menikah denganku?'"Yunus!!"Seseorang tiba-tiba memanggil namanya dan membuatnya menoleh. Ternyata dia adalah Ayah Cakra, yang datang tergesa-gesa bersama istrinya.Entah bagaimana mereka tahu, tapi yang jelas Ustad Yunus belum menghubungi mereka. Bahkan dia juga tidak memiliki nomor kontaknya."Jadi ini yang namanya Yunus, Yah?" tanya wanita berhijab pashmina berwarna merah, di samping Ayah Cakra. Dia tampak memerhatikan Ustad Yunus dari ujung kaki hingga kepala. Dan sebuah senyuman seketika muncul diwajah cantiknya yang sudah tak lagi muda.Jika dilihat-lihat, wajah perempuan itu sangat mirip sekali dengan Naya."Betul, Bu. Saya Yunus." Ustad Yunus mengangguk sambil membungkuk sopan."Salam kenal Yunus, aku Noni. Bundanya Naya," kata perempuan itu."Salam kenal juga, Bu." Ustad Yunus tersenyum."Apa kalian orang tua dari Nona Naya?" tanya Dokter itu sambil menatap Ayah Cakra dan Bunda Noni bergantian. Keduanya pun langsung mengangguk. "Apa Ayahnya Nona Naya bisa pergi ke ruangan saya? Karena saya akan menjelaskan lebih detail tentang kondisi Nona Naya.""Sebetulnya kami sudah tau kondisi Naya, Dok, bahkan sebelum dia berada disini," ungkap Ayah Cakra yang terlihat sendu."Jadi kalian sebelumnya sudah tau jika Nona Naya mengalami depresi berat Pak, Bu?""Iya." Keduanya menyahut bersama dengan sama-sama menganggukkan kepala. "Kami sudah membawa Naya ke psikiater, Dok. Sayangnya Naya nggak mau menjalani terapi, apalagi minum obat. Meskipun sudah dibujuk ... dia tetap susah, malah yang ada ngamuk," tambah Ayah Cakra."Mungkin Bapak dan Ibu harus kenali dulu pemicu yang membuat Nona Naya depresi, karena mungkin itu bisa menyembuhkannya. Saya perhatikan sejak dia pingsan ... dia terus menyebut-nyebut nama Yunus, Pak, Bu. Dan kebetulan ... pria yang bernama Yunus sudah ada di depan kita." Dokter itu menatap mata Ustad Yunus. Ada kekhawatiran yang tergambar jelas dia lihat.Dokter berpikir jika kehadiran Ustad Yunus berperan penting di sini, karena pasti bisa menyembuhkan apa yang dialami Naya."Kami sudah tau, Dok," sahut Ayah Cakra. "Itu semua karena Naya ingin dinikahi sama Yunus. Tapi sayangnya Yunus nggak mau." Ayah Cakra melirik Ustad Yunus. Dia sedikit menyindirnya supaya pria itu merasa tidak enak padanya."Jadi kamu nggak mau, Nus?" tanya Bunda Noni menatap Ustad Yunus yang sedari tadi diam mematung. "Kenapa, Nus? Bukankah kata Naya kamu mencintainya? Apa selama ini kamu nggak benar-benar mencintainya?""Saya sudah punya istri, Bu. Dan Naya sudah tau itu.""Kan aku sudah bilang padamu, Nus ... jika Naya mau menjadi istri kedua," kata Ayah Cakra dengan raut kesal. "Apa salahnya kamu berpoligami?"Enteng sekali Ayah Cakra mengatakan hal itu. Apakah dia tidak memikirkan hati istri dari Ustad Yunus?Mungkin memang tidak, karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaan anak semata wayangnya."Naya memang mau jadi istri kedua, tapi Bapak harus pikirkan juga istri saya. Dan bukankah Bapak juga sudah tau kalau dia nggak mau dimadu?""Kamu 'kan bisa membujuknya, Nus."Ustad Yunus perlahan membuang napasnya dengan gusar, lalu memijat dahinya sebentar yang mendadak kepalanya terasa pening."Suamiku benar, Nus, coba bujuk saja istrimu itu." Bunda Noni menimpali. Tampaknya pemikirannya sama seperti suaminya."Meski dibujuk pun Dek Yumna nggak akan mau Pak, Bu. Dan saya di sini nggak mau menyakiti hatinya.""Dicoba saja dulu, Nus, kalau belum mencoba mana bisa kita tau." Ayah Cakra berusaha membujuk, serta menghasut supaya pria itu luluh. "Sekarang kamu pulang dan bujuk dia, kalau dia nggak mau mending kamu ceraikan saja, lalu menikah dengan Naya. Beres!" lanjutnya dengan enteng."Ya Allah, Pak ... nggak kayak gitu. Itu sama seperti menyakitinya."Entah mengapa Ustad Yunus terlihat sangat lemah sekali disini. Dia bingung untuk mengambil keputusan. Sungguh dia merasa dilema.Naya memang masa lalu baginya, tapi tidak dipungkiri jika cintanya masih utuh di dalam hati.Namun, Ustad Yunus juga tak boleh melupakan Yumna yang menjadi cinta baru dihidupnya, meskipun cinta itu sempat rusak karena hilangnya suatu kepercayaan."Terkadang kita memang harus menyakiti hati seseorang, Nus, untuk bisa meraih kebahagiaan kita sendiri. Aku juga yakin ... bahwa cintamu kepada Naya jauh lebih besar dibanding cintamu kepada istrimu," lanjut Ayah Cakra menghasut.Benarkah demikian apa yang dia katakan? Entahlah, hanya Ustad Yunus dan Allah yang tahu.Setelah terus menerus dihasut, Ustad Yunus akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.Sepertinya, tujuannya kali ini akan membujuk Yumna, tapi entah itu berhasil atau tidak. Tapi yang jelas, seperti apa yang dikatakan Ayah Cakra dan Bunda Noni—yakni dia akan mencobanya terlebih dahulu.Sebelum sampai rumah, Ustad Yunus menyempatkan mampir ke konter hape dan toko bunga. Untuk membeli ponsel baru untuknya sekalian membeli sebuket mawar merah untuk Yumna.**"Assalamualaikum," ucap Ustad Yunus saat sudah turun dari mobilnya.Umi Mae yang berada di warung, sedang melayani pembeli langsung berlari menghampiri anaknya. Apalagi dia tidak melihat Yumna di sana.Umi Mae memang punya usaha warung kecil di samping rumah.Bangunan kecil itu adalah hadiah ulang tahun yang pernah diberikan oleh Ustad Yunus."Walaikum salam," jawab Umi Mae, lalu Ustad Yunus membungkukkan badan dan mencium punggung tangannya. "Di mana Yumna, Nak?" lanjutnya bertanya."Yumna?!" Kening Ustad Yunus terlihat mengerenyit."Iya, Yumna. Dia dari pagi ke masjid untuk menemuimu sekalian mengantarkan sarapan. Tapi sampai sekarang dia belum pulang."Bahkan sekarang sudah jamnya makan siang."Pergi ke masjid?!" Ustad Yunus sontak membelalakkan matanya. Bagaimana bisa dia tidak tahu istrinya ke masjid, dan apakah Yumna juga tahu jika Naya sempat datang? Itulah hal yang dia pikirkan sekarang. Lantas, buru-buru dia berlari masuk lagi ke dalam mobilnya lalu pamit dan mengucapkan salam. "Aku mau balik ke masjid dulu, Umi, assalamualaikum.""Walaikum salam. Hati-hati, Nak."Umi Mae menatap kepergian anaknya dengan penuh tanda tanya. Entah mengapa perasaannya pun jadi tidak enak.'Ya Allah... tolong jaga keutuhan rumah tangga anakku. Berikan Yunus dan Yumna kebahagiaan,' batinnya berdo'a dalam hati.Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi