Share

Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat
Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat
Author: Arif

Bab 1

Author: Arif
Saat aku kembali ke keluarga konglomerat sebagai putri kandung yang sebenarnya, itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Julian Jetarsa.

Karena sekali saja ia membelaku, aku jatuh cinta padanya selama lima tahun dan mengejarnya selama lima tahun.

Akhirnya, ia menjadi tunanganku.

Namun, ia justru merendahkanku, menganggapku tidak punya tata krama sejak kecil, tidak punya anggun dan wibawa seorang gadis dari keluarga terpandang.

Ketika kakek yang membesarkanku sakit parah dan sekarat di saat aku paling membutuhkan bantuannya, ia malah berkata ingin memberiku sebuah pelajaran agar aku “belajar menjadi lebih baik.”

Kakek pun meninggal dalam ketidakberdayaan.

Dan seperti yang dia harapkan, aku memang belajar menjadi “anak baik”.

Tentu saja, aku juga tak mencintainya lagi.

Saat aku dibuang di pinggir jalan kota, aku menjadi bahan tertawaan di kalangan sosialita.

Putri kandung Keluarga Mentari yang sebenarnya, semua orang mengira aku bertengkar dengan putri palsu, lalu dihukum oleh orang tua, semua kartu dibekukan, dan akhirnya kabur dari rumah karena marah.

Di luar tampak keras kepala, tapi diam-diam malah meminjam uang dari rentenir. Karena tak mampu membayar, aku mengalami penyiksaan tak manusiawi.

Berita itu sudah menyebar ke mana-mana.

Entah dari mana mereka mendapat kabar, mereka berkumpul di tempat aku dibuang, tanpa malu-malu merekam kondisiku yang begitu menyedihkan.

Aku tidak lagi seperti dulu, berteriak histeris mengusir mereka demi menyelamatkan citraku.

Karena semua harga diriku sudah habis digerus oleh para penagih utang itu, sedikit demi sedikit.

Sejak aku dipaksa berlutut dan menampar diriku sendiri, hatiku tak pernah lagi terusik demi wajah atau gengsi.

Gadis bernama Mira Mentari yang dulu, angkuh, penuh masalah, dan tak pernah mau kalah, sudah mati.

Itu Keluarga Mentari dan Jetarsa yang perlahan-lahan menghancurkan harga diri dan kebanggaannya, hingga tak tersisa sedikit pun.

Tiba-tiba, beberapa mobil van hitam mewah melaju masuk tanpa peduli situasi, mengusir para sosialita yang sedang menonton dari pinggir jalan.

Mobil yang berada di barisan paling depan tampak rendah hati dan sederhana, tapi aku tahu persis siapa yang ada di dalamnya, Julian dari keluarga Jetarsa.

Dan juga tunanganku.

Aku memandangi mobil itu, menggigit bibir, lalu memalingkan wajah hendak mengambil jalan lain.

Pintu mobil terbuka.

Seorang pria dengan setelan jas turun dari dalam dan berjalan cepat ke arahku. Saat ia melihat jelas wajah dan penampilanku, sorot matanya sejenak menunjukkan keterkejutan.

Aku tahu betul betapa menyedihkannya diriku saat ini.

Masih mengenakan gaun putih yang kupakai saat pemakaman kakek, ternoda di sana-sini, dengan bercak hitam dan kuning.

Tangan kananku yang terlihat penuh memar, bekas diinjak dengan keras oleh para penagih utang menggunakan sol sepatu.

Tangan kiriku memakai sarung tangan kotor yang bahkan tak pantas disebut perlindungan.

Kakiku telanjang, jari-jari memerah dan bengkak.

Mereka pernah mencengkeram pergelangan kakiku, lalu menghantamkan jari-jariku ke anak tangga. Sangat sakit. Teramat sakit.

Pria itu menundukkan pandangan, ekspresinya seakan menunjukkan sedikit rasa iba. Dengan sopan, ia berkata.

“Nona Mira, Tuan Julian sedang menunggu Anda.”

Aku menundukkan kepala, tak menatap si sekretaris, hanya menjawab dengan suara serak.

“Nggak perlu, aku bisa jalan sendiri.”

Lalu berjalan melewatinya.

Si sekretaris tampak terkejut.

Dulu aku menganggap Julian sebagai penyelamat, mengikuti ke mana pun ia pergi selama lima tahun. Meski ia bersikap dingin dan mengabaikanku, aku selalu mencari-cari alasan untuk bisa mendekatinya.

Tapi kini, aku melihatnya seperti monster buas yang harus kuhindari.

Perubahan sikapku jelas membuat sekretaris yang terbiasa melihatku mati-matian menempel Julian itu keheranan.

“Mira!”

Suara pria dalam nada rendah dan tenang membuatku refleks berhenti melangkah.

Sekretaris melihat mataku yang memerah, terdiam sejenak, lalu tetap mengisyaratkan agar aku naik.

Aku melangkah perlahan, menyeret tubuh yang lelah, mengabaikan sorot mata si sekretaris yang tampak ingin berkata-kata, dan akhirnya naik ke dalam mobil.

Julian duduk di sana.

Melihat penampilanku yang kacau balau, ia tidak menunjukkan kepedulian apa pun. Sebaliknya, keningnya berkerut dalam, dan suaranya penuh ketidakpuasan.

“Baru setengah bulan tak bertemu, kamu jadi pengemis?”

Kata-katanya tak lagi menusukku seperti dulu.

Aku juga tak merasa kecewa karena ia tak melihat luka-lukaku.

Aku hanya menunduk dan menjawab pelan:

“Maaf.”

Padahal, bukan aku yang ingin seperti ini.

Aku tak ingin ditipu agar meminjam uang ke rentenir.

Tak ingin dipukuli habis-habisan dan ditendang seperti binatang, tak ingin dipaksa menampar diri sendiri, tak ingin diikat dan ditinggalkan seperti anjing di sudut ruangan, dan aku sungguh tak ingin dipaksa menjilati makanan dari lantai seperti hewan.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 14

    “Luka yang kamu alami juga akibat dari aku dan ibumu yang terlalu memanjakan Yolanda.”“Kamu masih bisa memaafkan Papa dan Mama?”Ibu menatapku penuh harap.Aku menundukkan kepala.“Mama, masih ingat kartu ATM yang dulu pernah kamu kasih ke aku?”“Kalau waktu itu aku benar-benar memilikinya, semua ini mungkin tidak akan terjadi.”“Maksudku, sekarang sudah terlambat.”Kasih sayang yang kalian berikan datang terlalu lambat.Dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi.“Jimmy, aku ngantuk…”Aku pun berbaring, membelakangi mereka.Di belakangku, terdengar isakan tertahan dari Ibu.Aku diam-diam menyeka air mataku, tapi tetap tidak mengubah pendirianku.Di dunia ini, tidak semua hal layak untuk dimaafkan.Dan Julian, dia tahu betul bahwa akulah yang harus menanggung akibat dari semua ini.Dia tahu bahwa akulah yang terjun dari lantai dua karena perbuatannya.Makanya dia tak pernah berani muncul di hadapanku, hanya diam-diam mengambil keputusan untuk menghancurkan Yolanda sepenuhnya.Hari sidang

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 13

    “Uang yang kupinjam itu kugunakan untuk mengurus pemakaman Kakek. Tapi bahkan sebelum waktunya tiba, mereka sudah datang menagih.”“Sebenarnya aku bisa saja kabur, atau bersembunyi. Tapi mereka bilang, kalau aku berani kabur, mereka akan bongkar makam Kakek.”“Aku nggak punya jalan lain, dan satu-satunya harapan yang kupunya, aku gantungkan padamu, Julian.”Nadaku sangat pelan, nyaris seperti bisikan.“Itulah keputusan paling salah yang pernah kubuat.”“Aku nggak tahu kenapa nomor Papa dan Mama selalu nggak bisa dihubungi. Satu-satunya yang bisa kuhubungi, cuma kamu.”“Tapi cuma satu kalimat dari kamu sudah cukup membuatku menderita selama setengah bulan.”“Makan makanan anjing, belajar cara makan seperti anjing, diperlakukan seperti anjing yang diikat, semua itu masih termasuk ringan.”Aku menyibakkan selimut, turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu.Lalu aku berdiri di depan Julian, melepas sarung tangan dari tangan kiriku.Jari kelingkingku masih bengkok, bentuknya menyeramkan

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 12

    Dan di saat tangannya menyentuhku, aku pun langsung pingsan.Saat aku kembali sadar, aku sudah berada di sebuah kamar.Aku berkedip beberapa kali, baru menyadari bahwa semua ini ternyata bukan mimpi.Dan ketika aku duduk di atas ranjang, suara Julian pun terdengar.“Syukurlah kamu akhirnya sadar, Mira.”Aku duduk di sana, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Ternyata aku memang tak pantas mendapatkan hidup yang bahagia.Semua hal indah bersama Jimmy ternyata hanya mimpi belaka.Sekarang aku sudah terbangun, dan aku harus kembali lagi ke dalam kegelapan itu.Kupeluk selimut erat-erat sambil menangis tanpa suara.Julian menunggu lama, tapi aku tetap diam.Ia perlahan mendekat, duduk di tepi ranjang, tampak ragu saat hendak menyentuhku.“Jangan sentuh aku.”Suara serakku nyaris tak terdengar.“Setiap kali kamu menyentuhku, rasanya aku ingin muntah.”Julian pun terdiam, membeku di tempat.“Mira, aku benar-benar nggak tahu kalau telepon itu akan membuatmu...”Aku menoleh, memandang w

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 11

    “Kak, Kak Julian, dia mau membunuhku…”Yolanda menangis terisak-isak.“Bangun sekarang juga.”Aku terpaku, tak bergerak sedikit pun. Julian mulai kehilangan kesabaran, dan langsung hendak menarikku paksa.Tapi tiba-tiba, sebuah sentuhan hangat mendarat di lenganku. Aku menoleh dan tepat berhadapan dengan tatapan penuh iba dari Jimmy. Dengan lembut, dia membantuku berdiri, merapikan rambutku yang berantakan, lalu menenangkan.“Tenang, aku di sini. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, jangan takut.”Mataku langsung memanas, dan air mata pun tumpah tanpa bisa ditahan. Aku langsung memeluk Jimmy erat-erat.Tatapan Julian tiba-tiba membeku, hawa dingin terpancar dari matanya saat ia bertanya tajam,“Mira, siapa dia?”“Kau nggak tahu malu, ya? Peluk-pelukan dengan pria di depan umum begitu!”Jimmy tetap tenang, sambil menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, ia melirik Julian dengan senyum dingin.“Pak Julian, ya? Mira sudah bilang padaku bahwa kalian sudah memutuskan pertunangan.”“

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 10

    Aku mencengkeram erat gagang pintu, buku-bukuku memutih, tak lagi berwarna darah.Julian. Lagi-lagi Julian.Apakah ini balasan atas rasa cintaku yang membutakan selama bertahun-tahun? Semakin aku menghindar, semakin tak bisa lepas darinya.Yolanda menahan pintuku dengan bahunya, menggoyang-goyangkan mangga di tangannya. Tatapannya padaku seperti sedang menonton sebuah lelucon.“Kenapa terlihat tidak senang sekali menyambutku? Padahal aku bawakan buah kesukaanmu, mangga.”Aku ingin menutup pintu, tapi pintu itu sama sekali tak bergeming.Aku menatapnya tajam dan menjawab dengan gemas, menggertakkan gigi.“Kau pasti salah ingat. Aku alergi mangga.”“Ah, masa sih?”Yolanda mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. Ia mendekat ke telingaku, lalu berbisik penuh kemenangan,“Mira, kau bahkan sanggup merangkak di lantai seperti anjing demi sesuap nasi, alergi mangga itu apa artinya?”Mataku membelalak, pupilku menyusut tajam. Tubuhku bergetar hebat. Masa lalu yang memalukan itu kembali ditarik

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 9

    Jadi, akulah yang memutuskan untuk mengakhiri semua kontak dengannya.Pelan-pelan, aku mulai melupakan semua kenangan tentang Jimmy.Tapi setelah beberapa hari bersama dia lagi, aku mulai menurunkan tembok pertahananku.Bahkan sekarang, aku sudah bisa ngobrol ringan dengan paman penjual buah di pinggir jalan.Dan kami berdua, seolah sudah sepakat untuk tak menyebutkan soal perpisahan dulu.Aku duduk santai di sofa, memandangi Jimmy yang sibuk ke sana kemari.Saat dia membawa vacuum cleaner ke arahku, aku langsung mengangkat kaki sambil tersenyum padanya.“Jimmy, aku pengin makan stroberi.”Ia mencubit pipiku, nada suaranya setengah menggertak, setengah manja.“Sekarang ini musim apa? Mana ada stroberi!”“Aku nggak peduli. Pokoknya mau!”“Iya iya iya, makan, makan. Kamu emang nenek moyangnya aku ya.”Nada pasrah Jimmy membuatku tiba-tiba merasa seolah tak pernah ada perpisahan di antara kami.Beberapa hari ini, dia selalu datang setelah pulang kerja untuk menjaga dan menemaniku.Dan dar

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status