Share

Bab 2

Author: Arif
Tapi yang lebih tidak aku inginkan adalah peti mati Kakek digali kembali dari makam oleh mereka.

Dia menghentikan gerakannya, menatapku sekilas, nada bicaranya justru terdengar agak memuji.

“Ide Yolanda memang lumayan, kamu memang terlihat lebih penurut dibanding dulu…”

Sebelum aku ditemukan kembali oleh keluarga Mentari, Yolanda hidup menggantikan posisiku di keluarga itu.

Aku, sang putri kandung yang sebenarnya, hidup bersama kakek kandung Yolanda, hanya berdua.

Ayah Yolanda meninggal karena kecelakaan di lokasi konstruksi, dan ibuku, setelah meninggalkanku di rumah Kakek, menghilang entah ke mana.

Aku belum sempat berpikir lebih jauh kenapa dia tiba-tiba menyebut nama Yolanda, saat Julian sudah melambaikan jarinya ke arahku, seolah sedang memanggil anjing.

“Ke sini.”

Aku duduk di tempat paling jauh dari Julian, dan sejak naik mobil tadi aku sama sekali belum menatapnya, pandanganku terus tertuju ke karpet di bawah kaki.

Begitu mendengar kata itu, mata dan tubuhku penuh penolakan, tapi aku tetap tak bergerak.

Melihatku tak bergerak cukup lama, nada suara Julian jadi lebih tegas.

"Aku bilang, ke sini."

Aku tidak menjawab, punggungku tegak lurus seperti sebatang kayu, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk mempertahankan harga diriku yang sudah di ujung tanduk.

Padahal, harga diriku itu sudah lenyap di saat aku memohon-mohon ampun waktu dipukuli.

Karena aku tidak menanggapi, suasana dalam mobil mendadak hening. Mungkin Julian tak terbiasa dengan keheningan seperti ini, atau mungkin dia mulai kehilangan kesabaran, dia mengulurkan tangan ke arahku.

Saat tangannya mendekat, seluruh tubuhku menegang.

Sayangnya, aku duduk tepat di samping jendela, tak punya ruang untuk menghindar.

Begitu tangannya mencengkeram lenganku, aku mencium aroma alkohol dari tubuhnya.

Dan bau itulah yang memicu ingatanku.

Saat itu, aku melakukan kesalahan dan orangtuaku mengambil alih kartu ATM-ku. Karena marah, aku pulang ke rumah Kakek.

Di sanalah aku menyadari, penyakit Kakek sudah sangat parah.

Aku tidak punya uang sepeser pun. Aku coba menelepon orangtuaku, tak ada yang mengangkat.

Kemudian, sekelompok anak orang kaya dari Kota A datang sambil tersenyum-senyum dan berkata,

"Dengar-dengar, putri sulung Keluarga Mentari lagi butuh uang, ya?"

“Gimana kalau kamu sujud ke kami beberapa kali? Siapa tahu kalau kami lagi mood bagus, ya mungkin kami akan pinjamkan.”

Begitu aku menutup mata, yang muncul di bayanganku adalah Kakek yang terbaring di ranjang, batuk terus-menerus sampai kehabisan napas, bahkan kadang sampai mengeluarkan darah.

Tanpa ragu sedikit pun, aku langsung berlutut di depan mereka.

Di dalam ruang VIP itu sangat sunyi, hanya ada suara kepalaku yang membentur lantai: duk, duk, duk. Aku membenturkannya dengan keras. Sampai sekarang pun, luka di dahiku belum sembuh.

Pada akhirnya, mereka tertawa-tawa sambil melemparkan beberapa uang ke arahku, lalu meninggalkan ruangan sambil bercanda sambil merangkul satu sama lain.

“Putri sulung Keluarga Mentari, kata Tuan Julian, ketulusanmu cuma seharga ini.”

Karena itulah, dalam keadaan benar-benar putus asa, aku pun dibujuk untuk meminjam uang dari rentenir.

Tapi karena pengobatan yang terlambat, Kakek akhirnya meninggal dunia.

Setelah semua urusan pemakaman Kakek selesai dan waktunya tiba untuk membayar utang, aku menelepon Julian untuk meminjam uang. Tapi dia hanya tertawa dingin dan langsung menutup teleponnya.

Kenangan-kenangan itu membuat napasku terasa sesak. Lengan yang digenggam Julian pun mulai merinding, seolah-olah ada ular yang melilitnya. Dingin merayap ke seluruh tubuhku.

Pusing. Mual. Ingin muntah.

Aku menghentakkan tangan Julian sekuat tenaga, membungkukkan badan, satu tangan mencengkeram sandaran kursi depan, dan tangan satunya, dengan sarung tangan lusuh, melingkar ke leherku sendiri. Aku mulai muntah-muntah kering di dalam mobil.

Beberapa hari ini aku nyaris tak makan apa-apa, jadi tentu saja tidak ada yang bisa dimuntahkan.

Meski begitu, Julian tetap menutup hidungnya dengan tisu, menatapku dengan jijik, lalu memanggilku dengan nada penuh peringatan:

"Mira!"

Aku tak menghiraukannya, terus muntah-muntah kering sampai rasa ingin muntah itu perlahan menghilang.

Urat-urat di pelipis Julian mulai menonjol, aku sangat mengenalnya, dan aku tahu ini sudah berada di ambang kemarahannya.

Tapi aku tidak lagi seperti dulu, yang akan berpura-pura manja atau bodoh hanya demi meredam amarahnya.

Karena aku sangat sadar, aku tidak punya hak untuk berulah.

Tubuhku yang lemah sedikit gemetar, kepala menunduk rendah, dan tangan yang mencengkeram kursi depan itu menggenggam dengan sangat erat.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 14

    “Luka yang kamu alami juga akibat dari aku dan ibumu yang terlalu memanjakan Yolanda.”“Kamu masih bisa memaafkan Papa dan Mama?”Ibu menatapku penuh harap.Aku menundukkan kepala.“Mama, masih ingat kartu ATM yang dulu pernah kamu kasih ke aku?”“Kalau waktu itu aku benar-benar memilikinya, semua ini mungkin tidak akan terjadi.”“Maksudku, sekarang sudah terlambat.”Kasih sayang yang kalian berikan datang terlalu lambat.Dan aku sudah tidak membutuhkannya lagi.“Jimmy, aku ngantuk…”Aku pun berbaring, membelakangi mereka.Di belakangku, terdengar isakan tertahan dari Ibu.Aku diam-diam menyeka air mataku, tapi tetap tidak mengubah pendirianku.Di dunia ini, tidak semua hal layak untuk dimaafkan.Dan Julian, dia tahu betul bahwa akulah yang harus menanggung akibat dari semua ini.Dia tahu bahwa akulah yang terjun dari lantai dua karena perbuatannya.Makanya dia tak pernah berani muncul di hadapanku, hanya diam-diam mengambil keputusan untuk menghancurkan Yolanda sepenuhnya.Hari sidang

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 13

    “Uang yang kupinjam itu kugunakan untuk mengurus pemakaman Kakek. Tapi bahkan sebelum waktunya tiba, mereka sudah datang menagih.”“Sebenarnya aku bisa saja kabur, atau bersembunyi. Tapi mereka bilang, kalau aku berani kabur, mereka akan bongkar makam Kakek.”“Aku nggak punya jalan lain, dan satu-satunya harapan yang kupunya, aku gantungkan padamu, Julian.”Nadaku sangat pelan, nyaris seperti bisikan.“Itulah keputusan paling salah yang pernah kubuat.”“Aku nggak tahu kenapa nomor Papa dan Mama selalu nggak bisa dihubungi. Satu-satunya yang bisa kuhubungi, cuma kamu.”“Tapi cuma satu kalimat dari kamu sudah cukup membuatku menderita selama setengah bulan.”“Makan makanan anjing, belajar cara makan seperti anjing, diperlakukan seperti anjing yang diikat, semua itu masih termasuk ringan.”Aku menyibakkan selimut, turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu.Lalu aku berdiri di depan Julian, melepas sarung tangan dari tangan kiriku.Jari kelingkingku masih bengkok, bentuknya menyeramkan

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 12

    Dan di saat tangannya menyentuhku, aku pun langsung pingsan.Saat aku kembali sadar, aku sudah berada di sebuah kamar.Aku berkedip beberapa kali, baru menyadari bahwa semua ini ternyata bukan mimpi.Dan ketika aku duduk di atas ranjang, suara Julian pun terdengar.“Syukurlah kamu akhirnya sadar, Mira.”Aku duduk di sana, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Ternyata aku memang tak pantas mendapatkan hidup yang bahagia.Semua hal indah bersama Jimmy ternyata hanya mimpi belaka.Sekarang aku sudah terbangun, dan aku harus kembali lagi ke dalam kegelapan itu.Kupeluk selimut erat-erat sambil menangis tanpa suara.Julian menunggu lama, tapi aku tetap diam.Ia perlahan mendekat, duduk di tepi ranjang, tampak ragu saat hendak menyentuhku.“Jangan sentuh aku.”Suara serakku nyaris tak terdengar.“Setiap kali kamu menyentuhku, rasanya aku ingin muntah.”Julian pun terdiam, membeku di tempat.“Mira, aku benar-benar nggak tahu kalau telepon itu akan membuatmu...”Aku menoleh, memandang w

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 11

    “Kak, Kak Julian, dia mau membunuhku…”Yolanda menangis terisak-isak.“Bangun sekarang juga.”Aku terpaku, tak bergerak sedikit pun. Julian mulai kehilangan kesabaran, dan langsung hendak menarikku paksa.Tapi tiba-tiba, sebuah sentuhan hangat mendarat di lenganku. Aku menoleh dan tepat berhadapan dengan tatapan penuh iba dari Jimmy. Dengan lembut, dia membantuku berdiri, merapikan rambutku yang berantakan, lalu menenangkan.“Tenang, aku di sini. Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, jangan takut.”Mataku langsung memanas, dan air mata pun tumpah tanpa bisa ditahan. Aku langsung memeluk Jimmy erat-erat.Tatapan Julian tiba-tiba membeku, hawa dingin terpancar dari matanya saat ia bertanya tajam,“Mira, siapa dia?”“Kau nggak tahu malu, ya? Peluk-pelukan dengan pria di depan umum begitu!”Jimmy tetap tenang, sambil menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku, ia melirik Julian dengan senyum dingin.“Pak Julian, ya? Mira sudah bilang padaku bahwa kalian sudah memutuskan pertunangan.”“

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 10

    Aku mencengkeram erat gagang pintu, buku-bukuku memutih, tak lagi berwarna darah.Julian. Lagi-lagi Julian.Apakah ini balasan atas rasa cintaku yang membutakan selama bertahun-tahun? Semakin aku menghindar, semakin tak bisa lepas darinya.Yolanda menahan pintuku dengan bahunya, menggoyang-goyangkan mangga di tangannya. Tatapannya padaku seperti sedang menonton sebuah lelucon.“Kenapa terlihat tidak senang sekali menyambutku? Padahal aku bawakan buah kesukaanmu, mangga.”Aku ingin menutup pintu, tapi pintu itu sama sekali tak bergeming.Aku menatapnya tajam dan menjawab dengan gemas, menggertakkan gigi.“Kau pasti salah ingat. Aku alergi mangga.”“Ah, masa sih?”Yolanda mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. Ia mendekat ke telingaku, lalu berbisik penuh kemenangan,“Mira, kau bahkan sanggup merangkak di lantai seperti anjing demi sesuap nasi, alergi mangga itu apa artinya?”Mataku membelalak, pupilku menyusut tajam. Tubuhku bergetar hebat. Masa lalu yang memalukan itu kembali ditarik

  • Aku Tak Mau Penebusan yang Terlambat   Bab 9

    Jadi, akulah yang memutuskan untuk mengakhiri semua kontak dengannya.Pelan-pelan, aku mulai melupakan semua kenangan tentang Jimmy.Tapi setelah beberapa hari bersama dia lagi, aku mulai menurunkan tembok pertahananku.Bahkan sekarang, aku sudah bisa ngobrol ringan dengan paman penjual buah di pinggir jalan.Dan kami berdua, seolah sudah sepakat untuk tak menyebutkan soal perpisahan dulu.Aku duduk santai di sofa, memandangi Jimmy yang sibuk ke sana kemari.Saat dia membawa vacuum cleaner ke arahku, aku langsung mengangkat kaki sambil tersenyum padanya.“Jimmy, aku pengin makan stroberi.”Ia mencubit pipiku, nada suaranya setengah menggertak, setengah manja.“Sekarang ini musim apa? Mana ada stroberi!”“Aku nggak peduli. Pokoknya mau!”“Iya iya iya, makan, makan. Kamu emang nenek moyangnya aku ya.”Nada pasrah Jimmy membuatku tiba-tiba merasa seolah tak pernah ada perpisahan di antara kami.Beberapa hari ini, dia selalu datang setelah pulang kerja untuk menjaga dan menemaniku.Dan dar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status