Laura berjalan dengan langkah cepat menyusuri koridor lantai eksekutif. Suara hak sepatunya bergema di sepanjang lorong yang sepi. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kiri menggenggam dokumen evaluasi proyek yang belum juga selesai.
Dadanya sesak, pikirannya penuh. Ia tahu bahwa situasi ini sudah bocor ke telinga orang yang paling ia takuti di perusahaan, yakni Thomas Watson. Ayahnya.“Dad pasti akan marah besar,” ujar Laura.Begitu sampai di depan ruangan itu, Laura berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam. Ini bukan kali pertama ia masuk ke ruangan ayahnya, tapi entah mengapa hari ini terasa berbeda. Rasanya seperti hendak memasuki ruang interogasi. Pintu kaca berukuran besar itu terasa lebih berat dari biasanya saat ia dorong.Thomas duduk di balik meja besar dengan ekspresi wajah dingin dan penuh kegegangan. Ia tidak langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya masih fokus pada layar tablet yang menampilkan grafLaura berjalan dengan langkah cepat menyusuri koridor lantai eksekutif. Suara hak sepatunya bergema di sepanjang lorong yang sepi. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kiri menggenggam dokumen evaluasi proyek yang belum juga selesai. Dadanya sesak, pikirannya penuh. Ia tahu bahwa situasi ini sudah bocor ke telinga orang yang paling ia takuti di perusahaan, yakni Thomas Watson. Ayahnya.“Dad pasti akan marah besar,” ujar Laura.Begitu sampai di depan ruangan itu, Laura berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam. Ini bukan kali pertama ia masuk ke ruangan ayahnya, tapi entah mengapa hari ini terasa berbeda. Rasanya seperti hendak memasuki ruang interogasi. Pintu kaca berukuran besar itu terasa lebih berat dari biasanya saat ia dorong.Thomas duduk di balik meja besar dengan ekspresi wajah dingin dan penuh kegegangan. Ia tidak langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya masih fokus pada layar tablet yang menampilkan graf
Langkah Natasya semakin cepat menuju lift. Matanya sudah merah karena menahan amarah. Ini bukan hanya persoalan profesionalisme, tapi juga pelanggaran etika. Ia tidak akan diam.Dia segera masuk dan langsung menekan tombol menuju lantai tempat ruang kerja Laura berada. “Berani-beraninya dia!” teriak Natasya di dalam lift yang sedang berjalan.Natasya adalah orang yang tidak suka memulai pertengkaran. Tetapi jika sudah menyangkut pekerjaan, maka itu berbeda. Dia tidak ingin orang lain semena-mena dengan karyawannya.“Lihat saja. Semoga saja dia sedang berada di ruangannya,” kata Natasya.Begitu pintu lift terbuka, Natasya bergegas keluar. Jari-jarinya menggenggam tablet erat-erat. Kepalanya panas. Dia sama sekali tidak bisa mengendalikan emosinya lagi kali ini.Tanpa mengetuk, Natasya membuka pintu ruang kerja Laura. Suara pintu terbanting keras memecah keheningan.BRAK.Semua kepala menoleh. Laura yang sedang duduk di meja kerjanya langsung berdiri.
Setelah percakapan yang tegang antara Rival dan Doni itu, Doni pun menghubungi Laura. Suaranya terdengar berat saat berbicara di telepon. “Maaf, aku tidak bisa melanjutkan proyek ini. Aku sudah berusaha, tapi tidak ada satu pun yang berhasil menembus keinginannya. Aku tidak mau mengorbankan reputasiku dengan terus mencoba-coba.” ucap Doni menjelaskan. Laura yang mendengar itu terdiam cukup lama. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan keringat mulai membasahi telapak tangannya. “Kamu menyerah?” tanyanya dengan suara nyaris tidak terdengar. “Bukankah sudah aku katakan bahwa kamu tidak boleh mundur dari proyek ini?” ucap Laura yang kembali geram. “Ya. Aku tahu batasku. Dan maaf, Tuan Kenan, dia punya ekspektasi yang tidak bisa kudapatkan.” balas Doni. Laura menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia duduk diam di kursinya, menatap kosong ke arah jendela. Matahari mulai tenggelam, dan kantor mulai sepi. Tapi di dalam dadanya, kekacauan just
Tak lama setelah itu, Laura mencoba mendekati desainer interior lain, Doni. Ia pernah bekerja sama dengan Doni dalam beberapa proyek besar, dan hasilnya selalu memuaskan. Ia pikir, mungkin Doni bisa jadi solusi terakhirnya. “Dia pasti bisa melakukannya dengan lebih baik,” pikir Laura. Karena sudah bulat dengan keputusannya, Laura tidak lagi menunggu lama. Laura pun menghubungi Doni dan memberikan proyek itu padanya. Ia berharap, komunikasi antara Doni dan Kenan akan lebih baik dibanding sebelumnya. “Bagaimana?” tawar Laura melalui sambungan telepon. Laura menunggu beberapa saat, tetapi ekspresinya sama sekali tidak berubah. Dia masih penuh emosi sejak tadi. “Sudah aku katakan. Kamu hanya perlu fokus pada pekerjaan ini, dan berhenti melakukan tugas yang lain,” kata Laura penuh penekanan. Entah apa yang terjadi dengan para karyawan saat i
Pada akhirnya, mundurnya Rio dari proyek yang diberikan Laura mulai terdengar di telinga Rival. Bahkan sejak awal, dia sudah bisa menebak bahwa tidak ada yang bisa tahan dengan perilaku dingin Kenan. Tak lama kemudian, Rival mengetuk pintu ruangan Kenan. “Ada apa?” tanya Kenan tanpa menoleh dari layar laptopnya. “Desain interior yang kamu minta… desainer yang ditunjuk Laura, Rio. Dia memutuskan untuk mundur,” kata Rival dengan hati-hati. Kenan mengangkat alis. “Dia mundur?” “Ya. Katanya kamu terlalu sulit dihubungi. Dia tidak bisa bekerja hanya berdasarkan teks.” jelas Rival. Dia mulai bersiaga dengan apa yang akan Kenan katakan setelah ini. “Kalau begitu cari orang lain. Aku tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang yang mudah menyerah,” sahut Kenan dingin. Rival ragu sejenak sebelum kembali berbicara. “Aku mendengar bahwa adik Bu Laura adalah seorang
Dua hari telah berlalu sejak Kenan yang terus bergelut dengan pemikirannya itu. Kini, dia mulai bisa kembali fokus dengan pekerjaan yang tanpa sadar sudah dia lupakan.Tiba-tiba saja, Kenan mendengar suara ketukan di pintu ruangan kerjanya itu.“Permisi bos!” ucap Rival. Asisten pribadi Kenan.Kenan meliriknya sejenak, meski tidak benar-benar berminat. “Ada apa?” tanya Kenan singkat. Dia seolah ingin mengatakan pada Rival agar tidak bertele-tele.Rival mengambil tempat di hadapan Kenan, meskipun berusaha tidak mengganggu atasannya itu.“Begini, untuk proyek desain ruangan kerjamu, apakah kamu sudah menemukan seseorang?” tanya Rival.Rival memang tidak terlalu kaku ketika hanya berbincang berdua dengan Kenan seperti saat ini. Itu karena mereka memang seumuran, dan sudah bekerja sama cukup lama.Mendengar pertanyaan itu, Kenan lantas menghentikan kegiatannya. Dia melepaskan kacamatanya sejenak, sebelum mulai berbicara.