Siang itu, di sebuah restoran bergaya modern, Natasya baru saja selesai dengan pertemuan bersama salah satu klien tetapnya.
Sebenarnya Natasya yang meminta untuk bertemu di sana, karena dia juga membutuhkan suasana yang lain, selain di kantor. Meski sebenarnya Kenan bersikeras menolak, dan ingin agar Natasya tetap bekerja dari kantor. “Posesif sekali,” ucap Natasya. “Aku akan kembali sekarang,” Natasya mengirimkan balasan itu pada Kenan, karena dia sejak tadi menanyakan apakah Natasya sudah selesai dengan meetingnya atau tidak. Ia merapikan map di tangannya, bersiap untuk berdiri. Tangannya otomatis menempel di perut, mengusap pelan seolah menenangkan si kecil di dalam sana. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Langkahnya baru dua meter dari meja ketika suara lembut memanggil namanya. “Natasya?” panggil seseorang. Natasya berhenti, menoleh, dan matanya langsung meSiang itu, cahaya matahari masuk menembus kaca besar di ruang kerja Natasya. Di atas meja kerjanya, masih ada beberapa dokumen yang belum ia rapikan. Natasya menyingkap sedikit rambutnya yang jatuh ke wajah, lalu menghela napas panjang. Perutnya kini semakin membuncit, tapi ia berusaha tetap fokus dengan pekerjaannya. Tangannya sempat mengusap perutnya pelan, seolah memberi sapaan kecil pada sang buah hati. Tiba-tiba saja, ketukan di pintu terdengar. Perlahan pintu terbuka, menampilkan sosok Laura yang melangkah masuk. Rambutnya ditata dengan rapi, wajahnya tampak segar meski matanya mengandung rasa ingin tahu. Natasya melihat kedatangan Laura, tapi tidak beranjak dari tempatnya. “Laura?” panggilnya pelan. Laura tidak langsung menjawab. Ia menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya menatap lekat perut Na
Siang itu, di sebuah restoran bergaya modern, Natasya baru saja selesai dengan pertemuan bersama salah satu klien tetapnya. Sebenarnya Natasya yang meminta untuk bertemu di sana, karena dia juga membutuhkan suasana yang lain, selain di kantor. Meski sebenarnya Kenan bersikeras menolak, dan ingin agar Natasya tetap bekerja dari kantor. “Posesif sekali,” ucap Natasya. “Aku akan kembali sekarang,” Natasya mengirimkan balasan itu pada Kenan, karena dia sejak tadi menanyakan apakah Natasya sudah selesai dengan meetingnya atau tidak. Ia merapikan map di tangannya, bersiap untuk berdiri. Tangannya otomatis menempel di perut, mengusap pelan seolah menenangkan si kecil di dalam sana. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Langkahnya baru dua meter dari meja ketika suara lembut memanggil namanya. “Natasya?” panggil seseorang. Natasya berhenti, menoleh, dan matanya langsung me
Malam itu, kamar utama mansion terasa hangat. Lampu gantung kristal tampak begitu bercahaya. Natasya duduk di ujung ranjang, bersandar dengan bantal di belakang punggungnya. Tangannya secara refleks mengusap perut yang mulai menunjukkan lengkungan halus. Kenan mondar-mandir di kamar, sibuk menyiapkan tablet besar di meja kecil di depan ranjang. Wajahnya berbinar seperti anak kecil yang tidak sabar membuka hadiah. “Babe, ayo sini. Kita akan memberitahu mereka,” ucap Kenan, matanya berbinar saat menoleh ke arah Natasya. Natasya tersenyum tipis, masih merasa campur aduk. Ia mendekat ke arah Kenan, lalu duduk di sampingnya.Ia lalu memanggil Kenan. “Babe, kamu terlalu semangat. Aku jadi gugup.” ucap Natasya. Kenan langsung duduk di sampingnya, meraih tangan istrinya. “Tidak usah gugup, babe. Dad, Mom, dan Grandpa pasti senang sekali. Mereka sudah lama menunggu kabar ini.” kata Kenan. Kenan menekan layar, dan sebentar kemudian w
Sejak mereka pulang dari tempat praktik Stella, mansion keluarga Leonardo terasa berbeda. Entah karena semangat Kenan yang meledak-ledak atau karena kenyataan bahwa ada kehidupan kecil yang mulai tumbuh di rahim Natasya. Masion itu mendadak penuh dengan kehangatan baru. Kenan benar-benar berubah. Kalau sebelumnya dia memang manja, kini sikap protektifnya semakin menjadi-jadi. Bahkan ketika mobil mereka baru saja masuk halaman mansion, Kenan buru-buru turun lebih dulu dan membuka pintu untuk Natasya. “Hati-hati, babe. Pelan-pelan turunnya,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. Natasya menghela napas, sedikit tersenyum geli. “Babe, aku masih bisa jalan sendiri. Aku tidak merasa sakit sama sekali,” kata Natasya. “Tetap aja, babe. Kamu sedang mengandung bayi kita sekarang. Jadi tidak ada yang namanya terlalu hati-hati.” Kenan menatapnya serius, lalu menuntunnya masuk ke dalam seperti sedang mengawal seorang ratu. Begitu masuk, para pelay
Pagi itu suasana di mansion masih terasa berbeda. Kini rasanya menjadi lebih hangat, lebih hidup, seolah kabar yang kemarin disampaikan dokter keluarga benar-benar mengubah segalanya. Kenan hampir tak bisa tidur. Sejak fajar, ia sudah sibuk mondar-mandir, lalu kembali ke samping Natasya hanya untuk memandangi wajahnya yang masih terlelap. Senyum tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya. Bahkan ketika Natasya membuka mata, Kenan masih menatapnya dengan binar penuh kekaguman. “Babe, sudah bangun?” tanyanya sambil meraih tangan Natasya dan menciumnya. “Hari ini kita akan pergi ke dokter kandungan. Aku sudah siap.” ucap Kenan dengan bersemangat.Siapa yang tahu, kalau pria yang sejak dulu menentang pernikahan itu, kini menjadi sosok yang paling senang karena telah menikah. Natasya terkekeh kecil, meski matanya masih terasa berat. “Babe, aku bahkan belum mandi,” balas Natasya.Mendengar panggilan itu langsung dari bibir ist
Kamar itu menjadi tegang, ketika dokter sedang memeriksa Kenan. Begitu selesai, sang dokter mengangguk ringan, mencatat sesuatu di kertas, lalu menoleh pada pasangan yang duduk di hadapannya. “Apa Kenan baik-baik saja, dokter?” tanya Natasya memastikan. Dokter itu mengangguk pelan sebagai jawaban. “Tuan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucap dokter dengan suara tenang. Natasya menghela napas lega, namun matanya masih menatap penasaran. Ia menoleh ke arah Kenan yang terus menggenggam tangannya, tapi berhenti ketika mendengar ucapan dokter berikutnya. “Namun,” dokter melanjutkan, menatap Natasya dengan penuh arti, “seharusnya Nyonya muda yang diperiksa.” lanjut dokter lagi. Sekejap, Natasya dan Kenan saling berpandangan. Kebingungan jelas tergambar di wajah mereka berdua. “Aku?” Natasya bertanya pelan, menunjuk dirinya se