Pov AuthorDafa terhenyak saat Tania dengan berani memeluk tubuhnya dengan erat, tanpa basa-basi lelaki itu langsung mendorong tubuh Tania ke lantai. "Berani banget kamu meluk saya!" teriak Dafa. Lelaki itu begitu emosi, tidak ada rasa kasihan saat melihat Tania sudah terjungkal ke lantai. "Kenapa kamu dorong aku?" Tania bangkit kembali sembari menatap sendu Dafa, gadis itu terkejut melihat perlakuan Dafa yang baru pertama kali begitu kasar padanya."Apa maksud kamu bersikap seperti tadi?" tanya Dafa, lelaki itu menatap nyalang ke arah Tania. "Mas Dafa, maafin aku yah. Dulu aku hilaf karna udah ninggalin kamu. Aku benar-benar menyesal Mas," ucapnya dengan nada lirih. Melihat Dafa yang hanya diam, Tania kembali mendekati Dafa, ia dengan berani memegang dada bidang lelaki itu sembari menatapnya sendu."Mas Dafa, masih ingat gak kenangan kita dulu. Selama 3 tahun menjalin hubungan, hidup kita bahagia banget yah, Mas." Tania tersenyum, seakan tidak tau malu wanita itu lalu memegang waj
"Pah," panggil Jingga. Wanita itu tersenyum melihat satu keluarganya sedang kumpul di meja makan. "Jingga, mau makan bareng. Boleh kan?" Lelaki paruh baya itu menganggukkan kepalanya, ia meminta Jingga dan Dafa untuk duduk bersama mereka. Namun, tiba-tiba Satria dan Tania langsung berdiri dan hendak pergi."Satria, Tania kalian mau kemana?" tegur Pak William. "Kami langsung kenyang, ngeliat wajah dia." Satria menunjuk Dafa yang hanya diam dengan wajah datar."Duduklah.""Apasih Pah, kami mau ke kamar!" gerutu Tania. "Kalau begitu pergi saja dari sini, Tania. Sekalian keluar dari rumah ini, jika kamu tidak ingin mendengar perintah saya!" ancam Pak William. Tania yang mendengar ancaman itu langsung menciut, akhirnya ia dan suaminya ikut duduk sembari mendengus kesal. Jingga menghela nafas gusar, harapannya untuk makan bersama agar keluarga bisa kembali bersatu, tetapi terlihat sulit bagi keluarga ini untuk bersatu."Sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini," ujar Pak William
Dafa menggebrak meja dengan kasar, matanya menatap tajam ponsel di depannya. Lelaki itu begitu emosi melihat berita yang diberitahukan sekertarisnya. "Pak Dafa, tenanglah. Saya sudah menghapus semua berita yang tadi muncul," ujar Rian mencoba menenangkan Dafa. "Saya akan tenang jika itu hanya tentang saya, tapi mereka sudah membawa Jingga dalam masalah ini," jawab Dafa dengan nada tinggi.Dafa mengepalkan tangannya, ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya melihat wajah dirinya dan Jingga di sebuah akun yang seperti baru di buat. Walapun hanya sampai beberapa menit, postingan itu sudah mendapat ribuan komentar karna memang keluarga William sangat terkenal. Dulu Dafa tidak masalah, bahkan bahagia saat ada yang menyebarkan hal itu. Tapi sekarang ia benar-benar murka, karna istrinya di ikut sertakan. Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Dafa dan Reno menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka, di sana terlihat Pak William masuk ke dalam ruangan."Dafa, kenapa masalah ini kembali mu
Pov Jingga.Setelah mengetahui kabar kehamilanku, Tuan Dafa benar-benar berubah. Lelaki itu menjadi lebih posesif, ia juga tidak membiarkanku pergi kemanapun sendiri kecuali jika hari kuliah. Sifat Tuan Dafa tidak membuatku risih, aku malah sangat menyukai dirinya yang begitu perhatian padaku. Contohnya sekarang, ia rela pulang awal karna aku tidak ingin makan."Sayang!" Aku terperanjat saat sebuah tangan memeluk perutku. Senyumku mengembang melihat wajah tuan Dafa di balik kaca. "Kenapa gak mau makan?" tanyanya. "Saya gendung banget yah, Tuan?"Aku mengelus perutku, melihat ke kaca bahwa sekarang postur tubuhku sudah naik drastis. Terlihat Tuan Dafa menggelengkan kepalanya, ia lalu memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. "Hm, kamu kaya gini lebih menggoda," jawabnya membuat pipiku bersemu merah. Tuan Dafa berjongkok, lalu mengelus perutku yang sudah buncit. "Mamah harus makan yah! Kasian nanti anak Papah laper.""Tapi, pengen makan masakan Papah," ucapku dengan menirukan suar
"Jingga." "Ii--iya, Tuan." Aku yang sedang melihat ponsel Tuan Dafa terperanjat saat tiba-tiba lelaki itu sudah masuk ke kamar. "Maaf sudah lancang melihat ponsel anda Tuan," ucapku sembari menyodorkan benda pipih itu. "Tidak papa," jawabnya. "Ceritakan harimu tadi di kampus. Kenapa kamu bisa pingsan?" Tuan Dafa menatap ke arahku. "Hanya kecapen mungkin Tuan." Tuan Dafa tampak mangut-mangut, ia lalu menarik kepalaku ke pundaknya. Sesekali mencium pucuk kepalaku. Beginilah runtitas kami setiap malam, lelaki yang begitu kejam dulu sekarang sangat manis. Ia selalu bertanya tentang keadaanku setiap hari."Tuan.""Hm?" "Apakah kantor Tuan bermasalah karna kasus waktu itu?" "Kamu sudah melihat chat dari Rian?" tanyanya, membuatku menganggukan kepala. "Jingga, tidak usah di pikirkan. Hanya beberapa perusahaan yang menolak kerja sama dengan perusahaan kita, tidak akan membuat kita bangkrut," jawab Tuan Dafa, aku menatap wajah lelaki itu, ekspresinya begitu tenang. "Tapi Tuan, nama an
"Tuan, kenapa anda tidak menolong Tania? Padahal Papah sudah menyuruh anda untuk membantunya?" "Untuk apa saya menolongnya?" Lelaki itu malah balik bertanya. Aku menatap wajahnya, tenang. Seolah-olah masalah tadi tidak ada apa-apanya baginya. Aku menghela nafas pelan, sekarang harus terbiasa melihatnya seperti ini. Suamiku berbeda dengan lelaki lain, ia terkesan cuek tapi begitu peduli padaku. "Jingga.""Iya, Tuan?" Lelaki yang kepalanya sedang tiduran di pangkuanku itu mendongak menatapku. "Jangan panggil saya Tuan. Saya ingin percakapan kita tidak formal, biasa saja seperti pasangan lain!" "Terus mau panggilan apa?" Aku mengerutkan kening, tumben. "Ganti jadi Mas atau apa, dan harus panggil dengan sebutan aku kamu." Aku terkekeh mendengarnya. "Iya, Mas. Aku ngerti," jawabku. Tuan Dafa, eh maksudku Mas Dafa tampak tersenyum. Ia lalu mencium perutku."Oh, iya. Saya ingat tentang teman lelakimu itu. Doni, ternyata dia ...."Drrrt! Ucapan Mas Dafa terhenti saat mendengar pons
Sudah setengah jam aku berjalan, entah kemana aku harus pulang. Pergi ke rumah itu tidak mungkin, karna jelas-jelas Tuan Dafa sangat marah sampai mengusirku. Ingin ke rumah Ibu juga cukup jauh. Sedangkan aku tidak punya sepeserpun uang untuk ongkos. Aku merutuki diri sendiri, kenapa harus percaya pada mereka. Mereka yang kuanggap sahabat tega menyakitiku. Rifa, satu bulan kemarin kami tidak saling sapa, ternyata dalam waktu singkat dia berubah menjadi orang paling kejam yang pernah ku kenal. Untuk menyesalpun rasanya percuma, sekarang aku hanya mengkhawatirkan anak yang sebentar lagi akan lahir. Dia yang dulu begitu ditunggu oleh Mas Dafa, apakah karena hal ini Mas Dafa langsung tidak mau mengakuinya.Aku terkekeh, Mas Dafa selalu bilang bahwa fitnah itu kejam. Semua orang memfitnahnya tanpa mencari tahu sesuatu, dan bagaimana dengan dirinya? Dia pun sama! Dia sama seperti keluarganya."AAA KENAPA!" Aku berteriak di sisi jembatan. "Kenapa aku harus mengalami ini semua, kenapa?"Sak
Aku terbangun lalu menatap ke sekeliling, bukannya semalam aku bersama Mas Dafa. Kenapa sekarang berada di kamar ini lagi. "Jingga sudah bangun?" Aku menoleh ke arah Hans yang sedang tersenyum di balik pintu, ia lalu mendekat ke arahku. "Minum dulu susunya," ujarnya lalu menyodorkan segelas susu padaku. "Hans, siapa yang mengantarku ke kamar ini. Bukannya semalam aku di kamar Mas Dafa?" Hans terdiam sejenak, lalu menjawab, "Maaf jika saya lancang, Jingga. Saya membopong tubuhmu dan membawamu lagi ke kamar ini, semalam saat saya ingin melihat Kak Dafa. Saya juga melihat kamu tidur di sisinya, karna takut Kak Dafa bangun dan menyelakai kamu makanya saya buru-buru membawa kamu yang sedang tidur." Aku menghela nafas Kecewa mendengar jawabannya, semalam aku merasa jika Mas Dafa yang membawa tubuhku. Ternyata itu hanya mimpi. "Jam berapa sekarang, Hans?" Hans melirik ke arah alrozinya. "Jam delapan," jawabnya membuat mataku terbelalak. Aku langsung bangkit, tapi Hans malah menahanku