LOGINEdgar menatap kosong ke depan. Ada rasa kasihan yang timbul dalam hatinya. Namun, dia tetap akan memilih sang nenek.
"Andien, maafkan aku. Kau boleh memakiku atau menghabiskan uangku, tapi jangan minta aku menolak permintaan nenek." Andien segera sadar, sekuat apapun dirinya tidak akan mampu membujuk Edgar. Ia harus bisa memikirkan cara lain, agar bisa terbebas dari Edgar, sebelum hari pernikahan mereka. "Baik, aku setuju menikah." Mendengarnya, spontan Edgar melompat dari duduknya saking senangnya. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah penasaran karena belum bisa yakin sepenuhnya. Andien mengangguk. "Tapi, aku meminta satu hal." "Katakan! Aku akan melakukan apapun untukmu, asal kau setuju dengan permintaan nenek." Andien membungkam seolah tengah memikirkan, apa rencananya ini terlalu jahat? "Sebelum kita menemui nenek sore ini, tolong antarkan aku ziarah ke makam kakakku." Merasa itu bukanlah hal yang sulit, Edgar setuju. "Iya. Sekarang berkemaslah, aku tunggu di bawah," ujarnya tidak menaruh curiga sedikitpun. Andien melangkah ringan menuju kamarnya. Sejenak merapikan dirinya di depan cermin, setelahnya, setengah berlari menemui Edgar di bawah. Namun, ia dikagetkan dengan keadaan di sana. "Apa yang terjadi, Edgar?" tanyanya mendekati Edgar yang panik. Kemudian, melihat sekitar, para pelayan tampak berkumpul di sana, seolah telah terjadi sesuatu. "Sesak nafas nenek kambuh lagi. Dia baru saja diantar ke rumah sakit." "Nenek sakit lagi? Kenapa kau masih di sini?" Andien ikutan panik, segera menarik tangan Edgar menuju mobil. "Ayo, sekarang kita ke rumah sakit," ujarnya melupakan rencananya. "Tapi, kita mau ke makam kakakmu." "Lupakan, besok-besok juga masih bisa. Sekarang, kesehatan nenek jauh lebih penting." Entah apa yang membuat Andien begitu peduli dengan Margaret. Tiba di rumah sakit, ia melihat Margaret berbaring lemah tak berdaya dengan bantuan selang oksigen. "Nek, cepat sembuh ya," katanya pelan, menyentuh tangan Margaret lembut. Margaret membuka mata, melihat Andien duduk di samping ranjangnya. "Andien, kau datang?" "Iya, Nek. Saya dan Edgar khawatir dengan kesehatan nenek yang tiba-tiba drop. Jadi, kami menyusul kemari." "Mana Edgar?" tanyanya tidak melihat Edgar bersama Andien. Andien turut mengedarkan pandangan mencari Edgar. "Mungkin dia diluar, Nek. Sebentar saya panggil," katanya gegas keluar mencari Edgar. Edgar duduk di salah satu kursi di koridor rumah sakit. Ia bisa melihat kesedihan di wajah Edgar. Andien mendekatinya. "Edgar, nenek mencarimu," katanya dengan hati-hati. Edgar mengangkat kepala melihatnya, kemudian mengangguk. Edgar berjalan masuk ke ruangan Margaret. Andien mematung. Memori otaknya memutar cepat dengan rencananya tadi. Sekarang kesempatan yang baik untuk melarikan diri. Ting Bersamaan sebuah notif pesan masuk di handphonenya. Tersentak, Andien buru-buru memeriksanya. Pesan dari sahabatnya. 'Jayden pergi liburan dengan selingkuhannya. Dia mengembalikan semua kartumu, tapi pas aku cek semuanya kosong.' Andien meremas ponselnya, hatinya kembali memanas. Gegas mencari nomor kekasihnya untuk menanyakannya langsung. Namun, percakapan dua pelayan yang baru duduk di kursi koridor menghentikannya. "Kasihan Tuan Muda Edgar, beliau sangat sedih. Bagaimana tidak, nenek Margaret adalah jantung hidupnya. Nenek Margaret sudah menjadi orang tuanya sejak Tuan Muda kecil." "Iya, aku takut nenek kenapa-kenapa. Tuan Muda pasti akan sangat terpukul." Andien meremas telapak tangannya. Sekarang, pikiran dan hatinya dipenuhi keraguan. Bersamaan, Edgar keluar dari ruangan Margaret. "Kabari saya jika terjadi apa-apa dengan nenek," pesan Edgar kepada kedua pelayan tadi. "Andien, ayo kita pulang." Andien mengangguk patuh, mengekori langkah Edgar ke mobil. "Aku minta maaf karena tidak jadi ke makam kakakmu," kata Edgar membuka suara setelah mereka di dalam mobil. "Tidak apa-apa, kesehatan nenek paling utama," jawab Andien. Tiba di mansion, Andien langsung ke kamarnya. Andien langsung membuka ponselnya. Rasa cemburu menderanya mendengar berita tentang kekasihnya yang tengah liburan. Selama ini Andien masih berharap kekasihnya segera menyadari kesalahannya dan meminta maaf. Agar hubungan mereka bisa kembali lagi. Tapi, rasa sakit hatinya kali ini benar-benar sudah tidak bisa memaafkan Jayden. Bukan hanya menyelingkuhinya, tetapi menguras semua uangnya. "Andien." Terdengar suara familiar di pintu kamarnya. Andien gegas membuka pintu dan melihat Edgar berdiri di sana. "Apa aku bisa masuk?" Terasa sungkan, tapi Andien sadar dirinya cuma orang asing di sana. "Silakan," ujarnya memberi jalan kepada Edgar masuk. "Aku mau menanyakan tentang pernikahan kita, sebelum menemui nenek," kata Edgar berhati-hati. Andien meneguk liur. Setelah menimbang-nimbang kembali, pernikahannya ini bisa membalas semua sakit hatinya ke sang kekasih. Tanpa ragu Andien mengangguk setuju. "Apa ada permintaanmu yang lain?" tanya Edgar. "Iya. Pernikahan ini hanya sebatas kontrak." Edgar mengangguk setuju. "Dalam pernikahan kontrak ini, tidak ada hubungan suami istri, tidak ada sentuhan apapun kecuali di acara tertentu. Yang terutama, tidak ada bulan madu." Sesaat Edgar terdiam, dahinya berkerut. "Setuju." Kemudian dia keluar untuk membicarakan permintaan Andien itu dengan asisten pribadinya. Memanfaatkan kondisi sang nenek yang tengah di rawat di rumah sakit. Namun, rencana Edgar itu sampai ke telinga Margaret. Seketika itu juga dia meminta pulang dari rumah sakit, untuk mengurus langsung persiapan pernikahan Edgar. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Andien dan Edgar dikagetkan dengan kedatangan asisten pribadi Margaret, yang menyuruh mereka segera ke kamar Margaret. Andien menatap Edgar dengan dahi mengkerut. Edgar menggeleng. "Aku cuma menyusun rencana sesuai permintaanmu." Mau tak mau, keduanya menemui Margaret "Kapan nenek pulang?" tanya Edgar tidak bersemangat seperti biasanya. Margaret tidak menjawab, dia tertawa kecil mengejek Edgar yang bodoh. Semua itu hanya sandiwaranya. "Edgar, untuk sementara kau tidak usah pulang ke apartemenmu. Tidak perlu ke perusahaan. " "Kenapa, Nek? Aku---" "Besok hari pernikahan kalian." "Nekkk!" Setengah berteriak Andien dan Edgar bersamaan. Mata keduanya melotot saking kagetnya. "Aku tidak percaya padamu bisa mengurus persiapan pernikahan ini," ujar Margaret seperti mendominasi membuat keduanya saling berpandangan. "Nek, baru kemarin acara pertunangan, masa---" "Tidak ada yang bisa menentang perintah nenek, Edgar! Mau besok atau tahun depan, itu tidak masalah bagi nenek, paham?" Andien membeku. Ia merasa sekelilingnya runtuh menimpa dirinya. Cuma bisa pasrah menuruti semua keinginan Margaret. *** Taman mansion Matthew disulap menjadi pelaminan mewah dan glamour. Jejeran para undangan dari kalangan bangsawan duduk tenang dan elegan. Hidangan makanan yang dipesan khusus dari restoran ternama di kota besar itu. Tampak kedua pengantin tampak harmonis dan elegan. Namun, sepanjang acara pernikahannya, tidak sedikitpun Andien merasa bahagia. Kemegahan itu sangat melukai hatinya. "Kau pembohong! Kau tidak konsisten dengan perjanjian kita," tangis Andien ketika keduanya sudah di dalam kamar khusus pengantin. Pria yang sudah sah menjadi suaminya tersebut hanya bisa diam. Yang ada rasa sesal yang teramat dalam. "Pernikahan ini memang sah, tapi aturan yang aku buat tetap berlaku," ujar Andien menyeka kasar kedua sudut matanya. "Baik, aku setu---" "Apa nenek bisa masuk?" Keduanya tersentak dan menoleh bersamaan ke arah pintu kamar. Ada rasa ketakutan di wajah keduanya, sang nenek mendengar percakapan mereka. Sialnya, mereka lupa menutup pintu kamar. "Masuk, Nek." Buru-buru Andien bangkit, menuntunnya masuk. "Nenek kemari untuk memberikan hadiah pernikahan kalian," katanya meletakkan dua lembar tiket di atas ranjang. "Ini tiket bulan madu." Kaget, keduanya saling berpandangan. Belum hilang rasa kaget keduanya, Margaret kembali berkata, "Ini hadiah khusus untukmu, Andien. Ramuan herbal penyubur kandungan." "R-ramuan penyubur kandungan?" ulang Andien terbata-bata karena syoknya. Ragu, tangannya bergetar menerima botol ramuan dari tangan Margaret. "Iya. Satu lagi!" Nenek Margaret tersenyum manis. Sontak keduanya sama-sama memelototi Margaret dengan perasaan tidak menentu. ***Andien bergeming, bibirnya seakan terkunci rapat, ia hanya terdiam melihat Bianca berdiri di depannya. Andien mencoba menyembunyikan rasa cemburu dan amarah yang seketika membara di dalam hatinya, berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan hubungannya dengan Edgar."Ahh, maaf, apa kita bisa bicara?" tanya Bianca terdengar basa-basi. Nada suaranya dibuat-buat bersahabat. "Aku Bianca," ujarnya memperkenalkan diri dengan memberikan senyum manisnya. Mengulurkan tangannya ke depan untuk berjabat tangan dengan Andien.Sial! Andien seakan-akan terjebak di sana. Mau tak mau ia terpaksa menerima jabat tangan Bianca, "Andien," jawabnya pendek tanpa ekspresi. "Aku sekretaris baru Jayden."Andien tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak peduli. "Oh."Bianca melanjutkan dengan antusias, "Jayden memintaku untuk menggantikan posisi kamu untuk sementara di perusahaan. Dan, karena dia tertarik dengan kinerjaku yang sangat bagus, dia pun mengajakku liburan kemari sebagai reward."Andien merasa
Sontak Andien berbalik badan, dadanya bergemuruh, ia langsung gugup."Edgar?" Wajah Andien sedikit memutih dan gelisah. Ia takut Edgar melihat dirinya bertemu dengan Jayden, mantan kekasihnya tadi.Melihat Andien seperti ketakutan melihat dirinya. Edgar menatapnya dalam-dalam dan bertanya, "Andien, kau tidak apa-apa, 'kan?" Andien menggeleng cepat, segera menguasai dirinya. "Tapi... kenapa kamu kemari?""Menyusulmu! Kau seharusnya mengabariku datang berbelanja kemari," tegas Edgar seperti memperingatkan.Edgar lagi berkata, "Aku menunggumu di kamar hotel, dan mencarimu di supermarket lantai dasar hotel, tapi tidak ada. Maka aku kemari." "Apa kau pikir aku mau melarikan diri!" ujar Andien tertawa kecil untuk menghilangkan rasa gugupnya.Santai Edgar menaikkan salah satu alisnya, "Apa kau sudah siap menerima konsekuensi dari nenek?""Aku rasa nenekmu juga tidak akan bisa mencariku di negara seluas ini," ujar Andien dengan tawa mengejek.Andien bergeser ke samping sembari mengekorkan s
"J-Jayden," desis Andien mengepal kuat telapak tangannya. Tubuhnya bergetar hebat berhadapan dengan pria tampan tersebut. Andien berusaha tetap berdiri tegak di lorong supermarket, matanya tidak lepas dari pria di depannya. Jayden, mantan kekasih yang telah menghancurkan hatinya, kini berdiri di depannya dengan senyuman yang mempesona. Seolah dia tidak merasa bersalah dengan semua yang sudah dilakukan terhadap Andien.Andien merasa seperti ditampar, rasa sakit dan kemarahan yang telah lama dipendam kembali muncul ke permukaan. Sekilas melihat wanita yang kebingungan di samping Jayden. "Maaf, anda menghalangi jalan saya," ucapnya memutar balik. Ia berusaha untuk tetap tenang, pura-pura tidak mengenalinya, dan bergegas pergi dari sana. Namun, Andien tidak bisa menghilangkan rasa penasaran dan kemarahan yang seketika bergejolak di dalam hatinya. Andien segera mengirimkan pesan kepada sahabatnya, meminta konfirmasi tentang keberadaan Jayden di tempat itu. ["Kamu tahu, kenapa Jayd
"Tahu apa dia? Aku bahkan tidak mengenalnya!" Andien menjawab ketus. Edgar menghela nafas pendek. Dia tak ingin membahasnya lagi. Dia hanya perlu bicara dengan Margaret nanti untuk menanyakannya."Iya. Aku percaya padamu."Andien dan Edgar tiba di sebuah hotel mewah dengan pemandangan laut yang indah. Mereka sengaja memesan kamar hotel tersebut untuk kenyamanan perjanjian mereka sebelumnya."Kau sudah mengabari nenek kalau kita berbulan madu kemari?" Andien bertanya seraya sibuk merapikan isi kopernya."Tidak perlu. Ini juga untuk kenyamanan kita yang tidak perlu nenek tahu.""Kau tahu nenek punya mata-mata yang bisa saja melaporkan ini kepadanya, Edgar!" peringat Andien berpindah duduk dekat Edgar. "Apa kau yakin keputusanmu ini tidak mempersulit perceraian kita nanti?" tanya Andien, sambil memandang Edgar dengan rasa ingin tahu. "Kau mau menanggung resiko terburuk dari nenek?"Edgar menghela nafas berat. Seolah tengah memikirkan hal yang rumit."Aku sudah memikirkan itu, Andien.
"Sial! Apa maunya dia?" Edgar bergumam. Di sisi lain, Edgar sempat syok. Dia tidak menyangka Alex bakal berani muncul di hadapannya, setelah bertahun-tahun sepupunya itu menghilang tanpa jejak. Dan setelah semua pengkhianatannya.Awalnya Edgar tidak terpancing meladeni Alex, sepupunya itu merupakan musuh bisnisnya itu. Tetapi, dia menghargai Andien sebagai istrinya dan tidak mau Alex meremehkannya."Apa maksudnya 'wanita itu', Edgar? Siapa pria itu?" tanya Andien merasa ucapan pria itu menunjuk ke dirinya."Nanti kita bicarakan ini, Andien," jawab Edgar. Lalu, memangil sang asisten baru. "Bawa nona Andien pergi dari sini. Kemudian, ubah tujuan kita ke tempat yang lebih aman. Ingat, jangan sampai bocor ke nenek!" perintahnya setengah berbisik."Tapi, bagaimana dengan Tuan Muda Alex, Tuan Muda? Apa anda bisa menghadapinya?""Diam dan ikuti saja perintahku. Aku yang akan mengurusnya."Edgar melepas genggamannya pada tangan Andien. Setengah memaksanya segera pergi dari sana.Namun, baru
Andien melompat ke ranjang dan segera memeluk erat Edgar. "Ada hantu di depan pintu," bisik Andien gemetaran.Edgar mendorong Andien. "Hantu apaan? Jangan bilang itu cuma akal-akalanmu saja! Kau cari-cari kesempatan bisa memelukku, ya?"Andien menggeleng cepat, tangannya menunjuk ke arah pintu kamar. "Benaran ada hantu di depan pintu," bisik Andien semakin menenggelamkan dirinya di dada Edgar."Kau ini cuma---" Tapi... deheman keras dari pintu kamar memotong ucapan Edgar segera menoleh ke arah pintu, dahinya berkerut. "Nenek? Kenapa Nenek berpakaian seperti itu?" tanya Edgar.Melihat pakaiannya, Edgar jadi tahu Margaret lah yang disebut hantu oleh Andien tadi."Kenapa nenek berpakaian seperti hantu?" ulang Edgar melihat Margaret cuma tertawa kecil. Kemudian menarik Andien dari pelukannya. "Itu bukan hantu, tapi nenek," bisiknya."Nenek?" Andien kaget mendengarnya Iantas mengangkat wajah untuk melihat jelas. "Nenek! A-aku minta maaf. Tadi itu---"Margaret mendekat seraya melepas kain







