MasukMargaret tersenyum puas melihat kedua wajah penasaran di depannya.
"Katakan, Nek!" buru Edgar tidak sabaran. Masih dengan senyuman manisnya, Margaret menatap keduanya bergantian. Dagunya terangkat ke atas. "Kalian berdua tidak boleh pulang sebelum ada tanda-tanda kehamilan Andien." Beberapa detik kemudian, senyumannya hilang seiring dengan pancaran matanya yang tegas. Seperti baru saja memberi ancaman keras, kepada pengantin baru yang sudah merancang rencana tersendiri tersebut. Ucapan Margaret itu membuat kedua orang tersebut ternganga dan saling berpandangan. "T-tapi, rencana kami masih menunda untuk---" "Jangan rewel, Edgar! Usiamu sudah 36 tahun, ingat!" peringat Margaret memotong. Ujung jari telunjuknya menempel di dahi Edgar. "Tidak ada kata tunda-tunda, paham!" Margaret menggeser pandangan ke Andien, tatapan matanya lekat di wajah pucat sang gadis. "Dan, kau Andien, jangan sampai mau dihasut Edgar!" Lagi peringat Margaret. Beberapa detik melirik kepada Edgar, sebelum kemudian menarik tatapannya. Kepalanya miring ke arah Andien dan berhenti di samping telinga Andien. Setengah berbisik Margaret kembali berkata, "Kamu harus tahu, kehadiran anak dalam pernikahan itu paling utama! Kenapa? Untuk mencegah suamimu berselingkuh dengan wanita lain di luar sana!" Margaret menarik kepalanya kembali tegak. Di bibirnya tersungging senyum berkilau, seakan-akan sebagai isyarat kepuasannya telah berhasil membuat cucu mantunya itu menurut padanya. Andien meneguk liur kesulitan. 'Selingkuh?' Kata-kata Margaret itu kembali mengingatkannya ke kekasihnya yang sudah berselingkuh. Beberapa detik kemudian ia disadarkan dengan hubungan pernikahannya dengan Edgar. Tidak ada yang perlu ia takutkan kalau pun Edgar berselingkuh. Toh, pernikahan mereka karena dadakan, secepatnya mereka harusnya bercerai. Isi hatinya saat ini masih dipenuhi rasa sangat sakit atas perselingkuhan kekasihnya. Rasa sakit itu semakin membara dalam hatinya. Rasanya ia ingin terbang ke luar negeri saat itu juga, untuk membalas rasa sakit hatinya kepada sang kekasih. Namun, sekarang dirinya malah terjebak pernikahan dadakan dengan Edgar. "Kau paham apa yang aku katakan itu, kan, Andien?" tanya Margaret menyentuh bahu Andien. Sontak Andien menoleh kepada Margaret. Sesaat hanya memelototi Margaret, sentuhan tangan wanita tua tersebut seakan-akan menghipnotisnya harus menurut patuh. "I-iya, Nek," jawabnya pendek. Sebenarnya, ia tidak mau menuruti keinginan Margaret. Tetapi, di satu sisi Andien merasa kasihan, ia tidak mau membuat kesehatan Margaret drop lagi. Mau tak mau ia tidak bisa menolak. "Kamu memang cucu mantu idaman nenek," puji Margaret mencolek dagu runcing Andien gemas. "Sekarang istirahatlah kalian." Margaret mengerling nakal sebelum meninggalkan kamar khusus pengantin. Sepeninggalan Margaret, Andien menatap Edgar dengan mata menyipit, mengamati wajah tegang Edgar. "Jangan bilang semua ini sudah kau rencanakan sebelumnya," kata Andien lebih ke sebuah tuduhan. "Sumpah, bukan aku yang merencanakan itu semua, tapi nenek. Aku juga tidak tahu bakal serumit ini." "Aku tidak percaya padamu, Edgar. Dari awal niatmu tidak baik padaku, kau sudah membohongi dan memanfaatkanku!" Separuh badannya mencondong ke depan sehingga tubuhnya yang mungil hampir terjungkal ke depan. Matanya menyapu wajah tampan Edgar yang berjarak hanya beberapa centimeter saja dari wajahnya. "Jangan-jangan kau sudah memata-mataiku?" "Jangan menuduh yang macam-macam, aku saja pun tidak mengenalmu sebelumnya."" Edgar meletakkan ujung jari telunjuknya di dahi Andien, kemudian menekan ujung jarinya hingga gadis itu kembali terduduk di tempatnya. "Aku juga bingung kenapa nenek sangat menyukaimu?" Edgar berpindah ke ranjang. "Bohong! Aku tahu itu cuma alasanmu saja. Tidak mungkin---" "Cukup! Besok saja berdebatnya. Sekarang aku lelah dan mau istirahat," potong Edgar merebahkan tubuhnya membelakangi Andien. "Sekarang kau juga istirahat, besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat." "Halahh, alasan! Tidak bisa jawab, kan? Edgar ... Edgar, kau bukan anak kecil lagi yang tidak punya pendirian. Jujur saja, kau melakukan ini untuk mendapatkan warisan nenekmu, 'kan? Karena itulah kau memaksaku menikah denganmu untuk memenuhi syarat ambisimu itu," tuduh Andien menarik salah satu sudut bibirnya. Edgar tersinggung dengan perkataan Andien yang sok tahu itu. Gadis itu tidak tahu bahwa dirinya lah satu-satunya pewaris tunggal harta kekayaan keluarga Matthew. Seharusnya Andien bersyukur bisa menjadi istri dadakan Tuan Muda Edgar Matthew. Presdir di perusahaan Matthew, satu-satunya perusahaan terbesar dan ternama di kota besar itu. Tetapi, dia tidak mau berdebat dengan Andien yang keras kepala. Andai, tidak karena sang nenek, tanpa perlu berpikir-pikir lagi, dia juga sudah membiarkannya pergi. "Aku tidak ikut besok denganmu." Ucapannya itu menarik atensi Edgar segera bangkit dari rebahannya. "Apa, kau tidak mau ikut?" ulangnya bertanya, seakan-akan tidak bisa mendengar jelas. Salah satu alis mata gelap itu terangkat ke atas, menatap dingin gadis cerewet di depannya. Wajahnya yang kuyu karena lelah terlihat mengeras, menonjolkan rahang wajahnya yang keras. "Iya, aku---" "Tidak bisa. Aku tidak mau nenek marah." "Aku ada ide, kau hanya perlu berbohong pura-pura kita pergi bulan madu. Nenek juga tidak akan tahu," kata Andien dengan cuek. "Tidak semudah itu. Kau tidak mengenal nenekku. Nenek punya mata-mata khusus yang bisa mengetahui semua aktivitasku. Aku tidak mau mengambil risiko," jawab Edgar dengan nada was-was. Nada suaranya sedikit melunak. Andien menghela napas kasar, memandang Edgar dengan tatapan putus asa. "Yahh... baiklah, aku ikut denganmu. Tapi... jangan pikir aku akan melakukan apapun yang diinginkan nenekmu," kata Andien dengan nada tegas. Edgar mengangguk dan menarik napas lega. "Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah menyusun rencana agar bulan madu ini tidak memberatkanmu," kata Edgar dengan nada lembut. Andien tidak percaya rencana Edgar akan berhasil, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Andien memandang Edgar dengan anggukan ragu. Ia hanya segera menyelesaikan bulan madu ini dan kembali ke kehidupan normalnya. *** Pagi sekali, keduanya dikagetkan dari suara ketukan keras di pintu kamar. Andien yang tengah bermimpi hampir ke langit ketiga tersebut, sontak terjaga dan melompat dari tidurnya. Andien tak kalah kaget lagi, mendengar suara keras seperti benda terjatuh ke lantai. Persekian detik erangan sakit terdengar spontan menarik atensinya segera menoleh ke asal suara. Ternyata Edgar juga tak kalah kaget sampai dia terjatuh ke lantai. "Duhh, sakitnya!" Edgar mengerang kesakitan sambil memegangi pinggangnya. Melihatnya, Andien mencibir seolah mengejek Edgar. Ia berkata, "Ya ampun, baru jatuh gitu aja. Cengeng!" Andien kembali rebahan seraya menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. "Ini benar- benar sakit!" Edgar menarik kasar selimut Andien. "Itu urusanmu! Aku mau istirahat!" Andien menarik selimut yang lain kembali menutupi tubuhnya. "Malah tidur! Apa kau tidak mendengar ada yang mengetuk pintu? Tolong, bukalah!" Mau tak mau, dengan sedikit menggerutu Andien terpaksa bangkit. Ia memperhatikan jam dinding dengan mengucek kedua matanya yang terasa kabur. "Sialan, ini masih jam tiga pagi!" umpatnya kesal. "Yah, aku tahu. Tapi, tolong buka sajalah. Kali ada yang penting!" Edgar berkata, setengah mendorong Andien turun dari ranjang. Ketukan di pintu kamar semakin keras. Andien sangat kesal karena itu. Ia berjalan buru-buru. "Iya, nggak sabaran!" gerutunya membuka pintu kamar separuh. Mulutnya komat-kamit menahan rasa kesal. Namun... pemandangan di depan matanya membuat tubuhnya membeku. Wajahnya yang tadi memerah seketika memutih seolah darah berhenti mengalir di sana, dengan mulut menganga. Setelah beberapa detik Andien tersadar. Spontan ia berlari masuk kamar dan berteriak,."H-hantu... ahkkk!" ***Andien bergeming, bibirnya seakan terkunci rapat, ia hanya terdiam melihat Bianca berdiri di depannya. Andien mencoba menyembunyikan rasa cemburu dan amarah yang seketika membara di dalam hatinya, berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan hubungannya dengan Edgar."Ahh, maaf, apa kita bisa bicara?" tanya Bianca terdengar basa-basi. Nada suaranya dibuat-buat bersahabat. "Aku Bianca," ujarnya memperkenalkan diri dengan memberikan senyum manisnya. Mengulurkan tangannya ke depan untuk berjabat tangan dengan Andien.Sial! Andien seakan-akan terjebak di sana. Mau tak mau ia terpaksa menerima jabat tangan Bianca, "Andien," jawabnya pendek tanpa ekspresi. "Aku sekretaris baru Jayden."Andien tersenyum kecil, berusaha terlihat tidak peduli. "Oh."Bianca melanjutkan dengan antusias, "Jayden memintaku untuk menggantikan posisi kamu untuk sementara di perusahaan. Dan, karena dia tertarik dengan kinerjaku yang sangat bagus, dia pun mengajakku liburan kemari sebagai reward."Andien merasa
Sontak Andien berbalik badan, dadanya bergemuruh, ia langsung gugup."Edgar?" Wajah Andien sedikit memutih dan gelisah. Ia takut Edgar melihat dirinya bertemu dengan Jayden, mantan kekasihnya tadi.Melihat Andien seperti ketakutan melihat dirinya. Edgar menatapnya dalam-dalam dan bertanya, "Andien, kau tidak apa-apa, 'kan?" Andien menggeleng cepat, segera menguasai dirinya. "Tapi... kenapa kamu kemari?""Menyusulmu! Kau seharusnya mengabariku datang berbelanja kemari," tegas Edgar seperti memperingatkan.Edgar lagi berkata, "Aku menunggumu di kamar hotel, dan mencarimu di supermarket lantai dasar hotel, tapi tidak ada. Maka aku kemari." "Apa kau pikir aku mau melarikan diri!" ujar Andien tertawa kecil untuk menghilangkan rasa gugupnya.Santai Edgar menaikkan salah satu alisnya, "Apa kau sudah siap menerima konsekuensi dari nenek?""Aku rasa nenekmu juga tidak akan bisa mencariku di negara seluas ini," ujar Andien dengan tawa mengejek.Andien bergeser ke samping sembari mengekorkan s
"J-Jayden," desis Andien mengepal kuat telapak tangannya. Tubuhnya bergetar hebat berhadapan dengan pria tampan tersebut. Andien berusaha tetap berdiri tegak di lorong supermarket, matanya tidak lepas dari pria di depannya. Jayden, mantan kekasih yang telah menghancurkan hatinya, kini berdiri di depannya dengan senyuman yang mempesona. Seolah dia tidak merasa bersalah dengan semua yang sudah dilakukan terhadap Andien.Andien merasa seperti ditampar, rasa sakit dan kemarahan yang telah lama dipendam kembali muncul ke permukaan. Sekilas melihat wanita yang kebingungan di samping Jayden. "Maaf, anda menghalangi jalan saya," ucapnya memutar balik. Ia berusaha untuk tetap tenang, pura-pura tidak mengenalinya, dan bergegas pergi dari sana. Namun, Andien tidak bisa menghilangkan rasa penasaran dan kemarahan yang seketika bergejolak di dalam hatinya. Andien segera mengirimkan pesan kepada sahabatnya, meminta konfirmasi tentang keberadaan Jayden di tempat itu. ["Kamu tahu, kenapa Jayd
"Tahu apa dia? Aku bahkan tidak mengenalnya!" Andien menjawab ketus. Edgar menghela nafas pendek. Dia tak ingin membahasnya lagi. Dia hanya perlu bicara dengan Margaret nanti untuk menanyakannya."Iya. Aku percaya padamu."Andien dan Edgar tiba di sebuah hotel mewah dengan pemandangan laut yang indah. Mereka sengaja memesan kamar hotel tersebut untuk kenyamanan perjanjian mereka sebelumnya."Kau sudah mengabari nenek kalau kita berbulan madu kemari?" Andien bertanya seraya sibuk merapikan isi kopernya."Tidak perlu. Ini juga untuk kenyamanan kita yang tidak perlu nenek tahu.""Kau tahu nenek punya mata-mata yang bisa saja melaporkan ini kepadanya, Edgar!" peringat Andien berpindah duduk dekat Edgar. "Apa kau yakin keputusanmu ini tidak mempersulit perceraian kita nanti?" tanya Andien, sambil memandang Edgar dengan rasa ingin tahu. "Kau mau menanggung resiko terburuk dari nenek?"Edgar menghela nafas berat. Seolah tengah memikirkan hal yang rumit."Aku sudah memikirkan itu, Andien.
"Sial! Apa maunya dia?" Edgar bergumam. Di sisi lain, Edgar sempat syok. Dia tidak menyangka Alex bakal berani muncul di hadapannya, setelah bertahun-tahun sepupunya itu menghilang tanpa jejak. Dan setelah semua pengkhianatannya.Awalnya Edgar tidak terpancing meladeni Alex, sepupunya itu merupakan musuh bisnisnya itu. Tetapi, dia menghargai Andien sebagai istrinya dan tidak mau Alex meremehkannya."Apa maksudnya 'wanita itu', Edgar? Siapa pria itu?" tanya Andien merasa ucapan pria itu menunjuk ke dirinya."Nanti kita bicarakan ini, Andien," jawab Edgar. Lalu, memangil sang asisten baru. "Bawa nona Andien pergi dari sini. Kemudian, ubah tujuan kita ke tempat yang lebih aman. Ingat, jangan sampai bocor ke nenek!" perintahnya setengah berbisik."Tapi, bagaimana dengan Tuan Muda Alex, Tuan Muda? Apa anda bisa menghadapinya?""Diam dan ikuti saja perintahku. Aku yang akan mengurusnya."Edgar melepas genggamannya pada tangan Andien. Setengah memaksanya segera pergi dari sana.Namun, baru
Andien melompat ke ranjang dan segera memeluk erat Edgar. "Ada hantu di depan pintu," bisik Andien gemetaran.Edgar mendorong Andien. "Hantu apaan? Jangan bilang itu cuma akal-akalanmu saja! Kau cari-cari kesempatan bisa memelukku, ya?"Andien menggeleng cepat, tangannya menunjuk ke arah pintu kamar. "Benaran ada hantu di depan pintu," bisik Andien semakin menenggelamkan dirinya di dada Edgar."Kau ini cuma---" Tapi... deheman keras dari pintu kamar memotong ucapan Edgar segera menoleh ke arah pintu, dahinya berkerut. "Nenek? Kenapa Nenek berpakaian seperti itu?" tanya Edgar.Melihat pakaiannya, Edgar jadi tahu Margaret lah yang disebut hantu oleh Andien tadi."Kenapa nenek berpakaian seperti hantu?" ulang Edgar melihat Margaret cuma tertawa kecil. Kemudian menarik Andien dari pelukannya. "Itu bukan hantu, tapi nenek," bisiknya."Nenek?" Andien kaget mendengarnya Iantas mengangkat wajah untuk melihat jelas. "Nenek! A-aku minta maaf. Tadi itu---"Margaret mendekat seraya melepas kain







