"Diandra?" desisnya.
Sekujur tubuh Andien menegang seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Ia mendekat sambil mengucek kedua matanya, untuk melihat lebih jelas lagi wanita dalam foto itu benar Diandra, kakaknya. Baru saja mau melangkah masuk, terdengar suara langkah kaki di belakangnya, di susul suara beratnya yang menggema. Sontak Andien berbalik badan cepat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suara itu tidak asing lagi namun terdengar dingin dan tidak ramah. "Edgar!" Andien tampak salah tingkah. Matanya terpaku pada wajah dingin di depannya. "M-maaf, aku---" Belum selesai bicara, Edgar sudah menarik dan membawanya dari sana. "Lepaskan, kau menyakitiku!" ringis Andien menarik tangannya dari cengkeraman kuat tangan Edgar. Kemudian, mengelus lengannya yang sakit dan memerah dengan wajah merengut. "Masuk ke kamarmu. Aku tidak mau nenek sampai melihatmu berkeliaran." "Apa yang salah? Aku tidak merusak atau mencuri barang-barang di sini. Aku cuma melihat-lihat---" "Cukup!" potong Edgar dengan tegas, menunjuk ke jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Jam segini tidak boleh ada yang keluar dari kamar, paham!" Kemudian, Edgar segera masuk ke kamarnya. Tidak paham apa maksudnya, Andien menurut masuk ke kamarnya. Tapi, pikirannya masih terusik dengan foto yang tadi, sampai akhirnya ia tertidur. Saat terbangun hampir tengah hari, ia segera keluar kamar untuk menemui Edgar. Ia menemukan pria tersebut ada di ruangan tempat foto itu. "Edgar," panggilnya sekedar memberitahu kedatangannya di sana. Sementara pandangannya sigap menyapu permukaan meja. Tapi, foto itu tidak ada lagi di sana. "Kau sudah bangun? Turun dan makanlah. Setelahnya kau kemari lagi," kata Edgar, sejenak mengangkat kepala melihat Andien sebelum kembali fokus ke komputer di depannya. "Aku belum lapar." Andien menarik kursi, duduk bersebrangan meja dengan Edgar. "Apa kau sibuk? Ada yang mau aku tanyakan." tanya Andien menatap pria di depannya. "Mau tanya apa?" "Semalam aku---" Suara ketukan di pintu ruangan menghentikan ucapan Andien. Seorang pria yang merupakan asisten pribadi Margaret berdiri di sana. "Tuan Muda, nenek Margaret menyuruh anda dan nona Andien segera ke kamarnya." Mendengar perintah dari sang nenek, Edgar segera meninggalkan pekerjaannya. "Ayo, kita temui nenek," ujarnya melihat sekilas ke Andien. Andien menelan ludah kecewa. Harusnya ini kesempatan baiknya bertanya tentang foto itu. Tapi, ia tidak bisa menentang perintah dari Margaret. "Apa kesehatan nenek terganggu?" tanya Edgar merapikan kerah kemejanya. "Benar, Tuan Muda. Tadi subuh nenek Margaret sempat mengalami sesak nafas. Tapi, sudah ditangani oleh dokter keluarga." Edgar menarik tangan Andien, berjalan tergesa-gesa menuju kamar Margaret. Terlihat kesedihan yang mendalam dari pancaran sinar matanya, setiap mendengar Margaret jatuh sakit. "Nenek..." panggilnya segera memeluk Margaret yang berbaring lemah, dengan penuh sayang. "Kenapa tidak memanggilku tadi subuh?" "Tidak apa-apa, nenek sudah baikan sekarang. Nenek tahu kau juga capek dan butuh istirahat." Margaret menggeser posisi tidurnya, menghadap ke arah Edgar. "Sekarang nenek semakin takut, Edgar. Nenek ini sudah tua dan penyakit nenek juga sering kambuh." Dengan lembut Margaret mengulurkan tangan kepada Andien. Andien yang berdiri mematung di samping ranjang Margaret, menurut duduk di samping Edgar. Margaret yang biasanya terkesan dingin dan judes, sekarang kelihatan sangat hangat dan lembut. "Edgar, apa kamu sudah memikirkan ucapan nenek semalam?" Wajah sendu Margaret menatap penuh harap pada cucu kesayangannya. Edgar tertunduk dalam, menjawab dengan suara bergetar. "Aku belum bicara dengan Andien, Nek." Andien mendongakkan kepala, melihat pada Edgar dengan dahi yang mengerut. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Memorinya memutar cepat ke kejadian semalam. 'Apa karena semalam itu?' Membatin. "Nek, aku rasa rencana ini terlalu terburu-buru" ujar Edgar tidak bersemangat. "Edgar, apa bedanya sekarang dan nanti? Apa tunggu nenek meninggal dulu?" "Nek, jangan bicara begitu. Baik, aku bicarakan ini dulu dengan Andien." "Masih mau bicara? Lalu, semalam kau ngapain, Edgar?" "A-aku... sebenarnya aku mau bicara semalam, tapi aku lihat Andien sudah tertidur, Nek." "Apa? Aku tertidur?" tanya Andien pelan seolah kurang jelas mendengar. Andien belum lupa saat mereka sempat berdebat kecil semalam. Namun, buru-buru Edgar menyikut tangannya. "Kau diam saja kalau tidak mau bertambah rumit lagi." Kebingungan, Andien terdiam. Pandangannya bergeser ke Margaret. Ia tidak tahu apa lagi yang direncanakan Margaret dan Edgar. "Sekarang bicarakanlah dengan Andien. Nenek tunggu sampai sore ini." Margaret mengibaskan tangan seolah menyuruh mereka keluar. Edgar dan Andien segera pergi dari sana. Edgar membawanya ke sebuah tempat yang tenang di sekitar mansion. "Katakan padaku apa yang sudah kau rencanakan?" tanya Andien tidak sabar. Edgar tertunduk, wajahnya sangat murung. "Nenek memintaku agar segera menikahimu." "A-apa?" Syok, dadanya turun naik mengatur napasnya yang tidak beraturan. "Tidak bisa, Edgar! Kemarin kau memintaku hanya untuk pacar pura-pura saja. Lalu, kemudian membujuk-bujukku bertunangan. Sekarang mau menikah! Kau hanya memikirkan kepentinganmu saja. Lalu, bagaimana denganku?" "Stt, Andien. Kau dengarkan dulu aku bicara. Aku juga tidak mau seperti ini, tapi aku takut kesehatan---" "Yahh, kesehatan nenekmu! Itu saja yang kau pikirkan! Tapi, kau tidak memikirkanku!" potong Andien menarik napas panjang, untuk melonggarkan dadanya yang terasa semakin menyesak. "Pokoknya kau harus bicara sekarang juga pada nenekmu." Andien berdiri, memalingkan wajahnya kesal. "Kalau hubungan ini cuma pura-pura." Edgar meneguk liurnya kesulitan. Hal tersebut tidak mungkin dia lakukan, itu sama dengan membunuh neneknya. Edgar juga kebingungan dengan permintaan sang nenek yang diluar rencananya. Sementara selama ini, Margaret selalu bersikap kasar dan tidak menyukai teman wanita yang dikenalkannya. "Andien, aku mohon jangan menolak untuk yang terakhir kali ini, ya. Aku berjanji pernikahan ini bukan seperti pernikahan biasa. Setelah selesai pernikahan, kau bebas---" "Bukankah kata-kata itu juga yang kau buat untuk menjebakku menjadi pacar pura-puramu? Nyatanya?" Andien semakin tersulut emosi. Ia merasa Edgar tidak punya pendirian, melainkan pria lemah yang cuma bisa berlindung dibawah ketiak neneknya. "Aku bingung, kenapa kau tidak menikahi pacarmu saja?" "Andien, kau tidak akan percaya. Tidak satupun dari mereka yang nenek suka. Bahkan, mereka diusir keluar secara kasar dari mansion ini." Andien terbelalak. "Nenek yang melakukannya?" "Iya. Tapi, pertama melihatmu, nenek langsung menyukaimu." Edgar tertunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Andien, aku harap kau tidak menolak." "Tapi, ini sulit untukku, Edgar." Kembali duduk dengan pandangan matanya jauh ke depan. Nada suaranya jauh lebih tenang. "Aku baru saja pulang dari luar negeri. Rencana kepulanganku ini sebagai kejutan untuk kakakku, yang katanya mau menikah minggu depan. Tapi, beberapa hari yang lalu, aku mendengar kabarnya sudah meninggal. Aku buru-buru pulang membawa bunga untuk berziarah ke makamnya. Tapi..." Andien menggantung ucapannya. Kepalanya menengadah ke atas, menahan airmata yang berdesakan hendak menumpah. Sejenak, ia menyeka air matanya yang luruh dengan punggung telapak tangannya. Sebelum kembali melanjutkannya, "... kau datang dan mengubah hidupku yang tengah bersedih, menjadi semakin menakutkan." Andien menutup wajahnya yang basah air mata dengan kedua telapak tangannya. Bahunya terguncang hebat sebab ia tidak bisa meredam tangisannya lagi. "Apa kau mau membunuhku pelan-pelan?" "Andien..." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Edgar yang bergetar. Setelahnya, dia tertunduk dalam bisu. Terdiam bisu bukan karena larut dalam cerita kesedihan Andien. Namun, dia penasaran dengan kakak Andien, bukankah dia dan kekasihnya akan menikah minggu depan ini? Lalu, sang kekasih menghilang? ***Edgar menatap kosong ke depan. Ada rasa kasihan yang timbul dalam hatinya. Namun, dia tetap akan memilih sang nenek. "Andien, maafkan aku. Kau boleh memakiku atau menghabiskan uangku, tapi jangan minta aku menolak permintaan nenek." Andien segera sadar, sekuat apapun dirinya tidak akan mampu membujuk Edgar. Ia harus bisa memikirkan cara lain, agar bisa terbebas dari Edgar, sebelum hari pernikahan mereka. "Baik, aku setuju menikah." Mendengarnya, spontan Edgar melompat dari duduknya saking senangnya. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah penasaran karena belum bisa yakin sepenuhnya. Andien mengangguk. "Tapi, aku meminta satu hal." "Katakan! Aku akan melakukan apapun untukmu, asal kau setuju dengan permintaan nenek." Andien membungkam seolah tengah memikirkan, apa rencananya ini terlalu jahat? "Sebelum kita menemui nenek sore ini, tolong antarkan aku ziarah ke makam kakakku." Merasa itu bukanlah hal yang sulit, Edgar setuju. "Iya. Sekarang berkemaslah, aku tunggu di bawah," uj
"Diandra?" desisnya. Sekujur tubuh Andien menegang seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Ia mendekat sambil mengucek kedua matanya, untuk melihat lebih jelas lagi wanita dalam foto itu benar Diandra, kakaknya. Baru saja mau melangkah masuk, terdengar suara langkah kaki di belakangnya, di susul suara beratnya yang menggema. Sontak Andien berbalik badan cepat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suara itu tidak asing lagi namun terdengar dingin dan tidak ramah. "Edgar!" Andien tampak salah tingkah. Matanya terpaku pada wajah dingin di depannya. "M-maaf, aku---" Belum selesai bicara, Edgar sudah menarik dan membawanya dari sana. "Lepaskan, kau menyakitiku!" ringis Andien menarik tangannya dari cengkeraman kuat tangan Edgar. Kemudian, mengelus lengannya yang sakit dan memerah dengan wajah merengut. "Masuk ke kamarmu. Aku tidak mau nenek sampai melihatmu berkeliaran." "Apa yang salah? Aku tidak merusak atau mencuri barang-barang di si
Edgar tak bisa menutupi rasa gugupnya, sekilas melirik ke Andien yang juga terlihat gelisah. Otaknya bekerja keras mencari cara untuk menyakinkan sang nenek. "Benar, Nek. Sebenarnya aku dan Andien sudah lama berpacaran, hanya saja selama ini Andien tinggal di luar---" Edgar menghentikan ucapannya ketika sang nenek mengangkat tangan kirinya ke atas. Tak lama kemudian beberapa orang pria berseragam datang menghampiri Margaret. "Segera siapkan keperluan pertunangan Edgar dengan calon cucu mantu," titah Margaret. Mendengarnya, Andien terbelalak, tidak percaya apa yang akan segera terjadi. Semuanya terasa tiba-tiba, ia merasa seperti benar terperosok ke dalam mimpi buruk. Sementara dirinya disewa sebagai pacar pura-pura, bukan untuk benar-benar kekasih Edgar. Andien melihat Edgar yang berdiri di sampingnya, seolah meminta pria tersebut untuk menjelaskan semuanya kepada sang nenek. "Nek, kita mau merayakan hari ulang tahunmu yang ke 91 tahun, bukan pertunangan. Apa nenek lupa
Entah apa dalam pikirannya, Andien merasa kembali berada di dalam mimpi buruk saat mereka sudah berada di dalam kereta api. Ia bahkan tidak tahu kemana pria asing itu akan membawanya. Sialnya, ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Edgar. Ia tidak memiliki uang cash satu miliar, sementara semua kartu banknya ada pada kekasihnya yang berkhianat. "Kau ingin menculikku?" Andien bertanya tanpa berani melihat pria di sampingnya. Tangannya meremas sisi gaunnya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Sementara buket bunga lili ungu untuk sang kakak, ia biarkan teronggok di bawah kursinya. Beberapa detik kemudian, ia sadar dengan kenyataan. Melihat penampilan Edgar yang terkesan dari keluarga bangsawan ketimbang seorang penculik. Edgar tertawa dengan pandangan matanya tetap ke depan. "Buat apa menculikmu?" Jawaban itu menarik atensi Andien, segera memutar kepala ke samping dan bertanya, "Lalu, untuk apa kau membawaku?" "Aku membutuhkanmu sebagai pacar pura
Kereta api meluncur dengan kecepatan yang stabil, membawa Andien Clouwi menuju kota kecil tempat makam sang kakak. Sesaat ia tiba di tanah air setelah sekian lama di luar negeri. Ia duduk di pojok kereta, memandang keluar jendela sambil memeluk buket bunga lili ungu segar. Namun, pikirannya tidak lagi di perjalanan, melainkan di berita yang baru saja diterimanya dari sahabatnya. Air matanya luruh, berdesakan dengan rasa sakit atas sebuah pengkhianatan yang terus menusuk hatinya. 'Kekasihmu berselingkuh. Aku melihatnya langsung.' Isi pesan itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya nyaris melompat dari tempatnya. Keceriaannya seketika hilang, meninggalkan amarah dan kesedihan yang menyatu sangat cepat. Air matanya tidak lagi terbendung, luruh begitu saja memenuhi kedua pipi tirusnya. Ia sangat yakin sahabatnya tidak mungkin berbohong. Ia kembali membuka handphone, untuk memeriksa balasan pesan yang beberapa detik yang lalu ia kirimkan ke sang kekasih. Tapi saat itu