Edgar tak bisa menutupi rasa gugupnya, sekilas melirik ke Andien yang juga terlihat gelisah. Otaknya bekerja keras mencari cara untuk menyakinkan sang nenek.
"Benar, Nek. Sebenarnya aku dan Andien sudah lama berpacaran, hanya saja selama ini Andien tinggal di luar---" Edgar menghentikan ucapannya ketika sang nenek mengangkat tangan kirinya ke atas. Tak lama kemudian beberapa orang pria berseragam datang menghampiri Margaret. "Segera siapkan keperluan pertunangan Edgar dengan calon cucu mantu," titah Margaret. Mendengarnya, Andien terbelalak, tidak percaya apa yang akan segera terjadi. Semuanya terasa tiba-tiba, ia merasa seperti benar terperosok ke dalam mimpi buruk. Sementara dirinya disewa sebagai pacar pura-pura, bukan untuk benar-benar kekasih Edgar. Andien melihat Edgar yang berdiri di sampingnya, seolah meminta pria tersebut untuk menjelaskan semuanya kepada sang nenek. "Nek, kita mau merayakan hari ulang tahunmu yang ke 91 tahun, bukan pertunangan. Apa nenek lupa?" kata Edgar berhati-hati seakan mengingatkannya. "Kau berani menentang perintahku, Edgar!" ujar Margaret dengan tatapan tajamnya. "Aku belum pikun, jadi jangan mengajariku!" Edgar tertawa getir sambil menggeleng pelan. Dia selalu kesulitan berhadapan dengan sang nenek yang egois. Namun, dia juga harus memikirkan perasaan Andien. Edgar kembali membujuk sang nenek. "Nek, Andien masih harus mengurus surat tugas kerja dari luar negeri," katanya dengan suara yang lembut. "Bagaimana kalau pertunangan ini diundur ke minggu depan saja?" Tetapi, sang nenek bergeming. "Tidak perlu mengulur waktu, Edgar. Andien bisa bekerja di perusahaanmu, karena setelah bertunangan ia harus tinggal di sini. Dengan begitu, ia bisa lebih dekat denganmu," katanya tanpa meminta persetujuan dari Andien. Edgar seolah tidak memiliki kekuatan untuk menentang perintah sang nenek, cuma bisa mengangguk lemah dan menyurut mundur. "Apa maksudnya semua ini, Edgar?" gusar Andien, menarik tangannya menjauh dari Margaret. "Sekarang jelaskan ke nenek Margaret, hubungan kita ini cuma pura-pura!" "Andien, aku mohon. Aku tidak bisa menentang keinginan nenek. Aku takut penyakit lama nenek kambuh. Kau tidak tahu nenek punya penyakit yang serius. Jadi, aku---" "Stt, aku tidak mau tahu! Kalau kau tidak mau menjelaskan, biar aku!" tegas Andien memotong, berjalan menghampiri Margaret untuk meluruskannya. 'Bicara jujur lebih baik.' Bergumam dalam hati. Tiba di depan Margaret, Andien mendadak diserang rasa gugup. Ia meremas telapak tangannya yang sudah banjir keringat. Setelah meneguk liur dan menghela napas berkali-kali untuk menguasai rasa gugupnya, ia bicara, "Nek, saya---" "Tak perlu merasa sungkan, Andien. Setelah menjadi tunangan Edgar, kau ini sudah menjadi cucu nenek," potong Margaret, kali ini sangat lembut. Sehingga Andien yang tadinya gugup, merasa lebih nyaman. Tapi, ini bukan soal perasaan nyaman, tetapi masa depan dan hidupnya. Ia tidak mau hidupnya sia-sia bersama orang yang baru dikenalnya. Jadi, ia harus bicara sekarang sebelum semuanya bertambah rumit. Namun, belum sempat buka suara, seorang pria berseragam datang menghampiri Margaret. Sekilas Andien mendengar percakapan sang pria dengan Margaret. Pria tersebut memberitahu persiapan acara pertunangan sudah rampung. Andien dilanda ketakutan. Dari sana ia kembali menghampiri Edgar, memintanya segera mengantar dirinya ke stasiun kereta. Namun, Edgar terus memohon dengan alasan takut penyakit sang nenek kambuh. "Pokoknya aku mau pulang. Tugasku sebagai pacar pura-pura sudah selesai. Sekarang antar aku ke stasiun." "Tidak bisa. Aku tidak mungkin menggagalkan pertunangan kita. Itu sama saja membuat penyakit nenek kambuh." "Lalu, kau tidak memikirkanku?" geram Andien kesal. "Tentu aku sudah memikirkannya. Aku akan membayarmu mahal untuk ini. Kamu tinggal bilang berapa saja." "Aku tak butuh uangmu! Sekarang aku kembalikan cincinnya." Merasa harga dirinya direndahkan, Andien menanggalkan cincin pemberian Edgar, tapi anehnya cincin itu seolah menyatu dengan jarinya. Andien mencoba untuk melepasnya, tapi tetap tidak bisa. "Kan, bahkan cincin itu saja tidak bisa lepas. Sudahlah, aku berjanji setelah selesai pertunangan nanti, aku akan cari cara melepasmu." Edgar tersenyum simpul. Andien tertunduk dalam, pasrah dirinya terperangkap dalam situasi yang tak diinginkannya. "Nona, mari kita ke kamar ganti." Seorang pelayan datang, menyadarkannya dari rasa sakit itu. Mau tak mau, Andien pasrah mengikuti kemana ia dibawa, dan apa yang dilakukan padanya. Ia tidak punya cara memaksa Edgar menggagalkan pertunangan itu, alih-alih menentang keputusan Margaret. *** Andien tampil sangat cantik memakai gaun putih semata kaki, kulitnya putih mulus sangat kontras dengan warna gaunnya. Ia pernah bermimpi mengenakan gaun seperti itu, berjalan ke altar pernikahan dengan kekasihnya. Tapi... Dari kamar rias, Andien keluar untuk mencari Edgar. Bagaimanapun, cuma pria itu satu-satunya yang ia kenal di sana. Andien mengangkat bibir gaun bawahnya mulai berjalan di koridor. Namun, pas melewati pintu sebuah kamar, samar ia mendengar percakapan dari dalam kamar. Penasaran, ia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit untuk melihat lebih jelas lagi. "Edgar?" desisnya melihat calon tunangannya tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Andien yang tengah mencarinya, urung mendorong pintu kamar. Ia memilih menunggu di bawah saja. "Kau yakin dia benar meninggal? Karena gadis ini sangat mirip dengannya." Andien menghentikan langkahnya. Ia tertarik mendengar percakapan Edgar. 'Gadis siapa maksudnya? "Cepat cari makamnya! Sebelum ada bukti, aku tidak bisa percaya!" "Sial! Mereka hanya mirip. Tuan Muda Edgar Matthew tidak semudah itu jatuh cinta, paham!" "Kau cukup lakukan perintahku! Sebentar lagi acara pertunanganku, jadi jangan menghubungiku." Kemudian, Edgar menyudahi teleponnya. 'Makam?' Penasaran, dahi Andien mengerut. Namun, tidak mau Edgar tahu ia menguping pembicaraannya, cepat-cepat ia pergi dari sana. "Andien," panggil Edgar. Andien menggigit bibir bawahnya, takut Edgar tahu dirinya mengintip tadi. Namun, ia terpaksa berhenti di pertengahan tangga menunggu Edgar. "Iya?" "Ponselmu tertinggal," katanya memberikannya kepada Andien. Cepat-cepat Andien mengambilnya dari tangan Edgar, baru sadar tidak mengaktifkan kunci ponselnya. "Tadi Jayden menelepon. Siapa dia?" "Jayden? Dia bicara apa?" buru Andien mendengar nama kekasihnya. Karena sejak tiba di mansion Matthew, ia tidak lagi membuka ponselnya. "Dia mau bicara denganmu. Tapi, aku bilang kau dan aku mau bertunangan." Santai Edgar menjawab. "A-apa? Kenapa kau bicara begitu? Dia itu---" "Kekasihmu, iya? Aku peringatkan sekali lagi! Selama bersamaku, jangan berhubungan dengan pria siapapun, tanpa terkecuali dengan kekasihmu itu!" Edgar mengangkat dagunya angkuh, mata gelapnya menyipit menunggu jawaban dari bibir Andien. Andien mengangguk patuh. Hatinya menjerit dengan nasib dirinya sendiri. Di satu sisi, Edgar telah membantunya, karena Jayden pantas mengetahui pertunangan ini, sebagai balasan atas semua pengkhianatannya. Di sisi yang lain, pertunangan ini hanyalah peran yang menyakitkan baginya. Pertunangan Andien dan Edgar berjalan dengan baik. Terlihat dari raut wajah Margaret yang ceria dan bibirnya tidak berhenti tersenyum. Atas perintah Margaret, Andien akan tinggal di sana sesaat setelah dirinya sah menjadi tunangan Edgar. Andien tidur di kamar khusus yang bersebelahan dengan kamar Edgar. Tinggal di sana jelas membuat Andien sangat gelisah sampai tak bisa memejamkan mata. Pikirannya tidak bisa tenang, ia bahkan belum bertemu keluarganya setelah ia pulang ke tanah air. Tidak mau mati kejenuhan dalam kamarnya, Andien keluar berjalan-jalan di koridor mansion, menghabiskan waktu malam. Sementara keadaan mansion sudah sepi. Saat berkeliling mansion, ia tertarik melihat sebuah ruangan mirip ruang kerja pribadi. Ia memperhatikan lebih lama dengan rasa kagum, karena penataan ruangan dengan gaya klasik kesukaannya. Tapi, rasa kagumnya hilang saat pandangannya tertuju pada foto di atas meja. ***Edgar menatap kosong ke depan. Ada rasa kasihan yang timbul dalam hatinya. Namun, dia tetap akan memilih sang nenek. "Andien, maafkan aku. Kau boleh memakiku atau menghabiskan uangku, tapi jangan minta aku menolak permintaan nenek." Andien segera sadar, sekuat apapun dirinya tidak akan mampu membujuk Edgar. Ia harus bisa memikirkan cara lain, agar bisa terbebas dari Edgar, sebelum hari pernikahan mereka. "Baik, aku setuju menikah." Mendengarnya, spontan Edgar melompat dari duduknya saking senangnya. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah penasaran karena belum bisa yakin sepenuhnya. Andien mengangguk. "Tapi, aku meminta satu hal." "Katakan! Aku akan melakukan apapun untukmu, asal kau setuju dengan permintaan nenek." Andien membungkam seolah tengah memikirkan, apa rencananya ini terlalu jahat? "Sebelum kita menemui nenek sore ini, tolong antarkan aku ziarah ke makam kakakku." Merasa itu bukanlah hal yang sulit, Edgar setuju. "Iya. Sekarang berkemaslah, aku tunggu di bawah," uj
"Diandra?" desisnya. Sekujur tubuh Andien menegang seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Ia mendekat sambil mengucek kedua matanya, untuk melihat lebih jelas lagi wanita dalam foto itu benar Diandra, kakaknya. Baru saja mau melangkah masuk, terdengar suara langkah kaki di belakangnya, di susul suara beratnya yang menggema. Sontak Andien berbalik badan cepat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suara itu tidak asing lagi namun terdengar dingin dan tidak ramah. "Edgar!" Andien tampak salah tingkah. Matanya terpaku pada wajah dingin di depannya. "M-maaf, aku---" Belum selesai bicara, Edgar sudah menarik dan membawanya dari sana. "Lepaskan, kau menyakitiku!" ringis Andien menarik tangannya dari cengkeraman kuat tangan Edgar. Kemudian, mengelus lengannya yang sakit dan memerah dengan wajah merengut. "Masuk ke kamarmu. Aku tidak mau nenek sampai melihatmu berkeliaran." "Apa yang salah? Aku tidak merusak atau mencuri barang-barang di si
Edgar tak bisa menutupi rasa gugupnya, sekilas melirik ke Andien yang juga terlihat gelisah. Otaknya bekerja keras mencari cara untuk menyakinkan sang nenek. "Benar, Nek. Sebenarnya aku dan Andien sudah lama berpacaran, hanya saja selama ini Andien tinggal di luar---" Edgar menghentikan ucapannya ketika sang nenek mengangkat tangan kirinya ke atas. Tak lama kemudian beberapa orang pria berseragam datang menghampiri Margaret. "Segera siapkan keperluan pertunangan Edgar dengan calon cucu mantu," titah Margaret. Mendengarnya, Andien terbelalak, tidak percaya apa yang akan segera terjadi. Semuanya terasa tiba-tiba, ia merasa seperti benar terperosok ke dalam mimpi buruk. Sementara dirinya disewa sebagai pacar pura-pura, bukan untuk benar-benar kekasih Edgar. Andien melihat Edgar yang berdiri di sampingnya, seolah meminta pria tersebut untuk menjelaskan semuanya kepada sang nenek. "Nek, kita mau merayakan hari ulang tahunmu yang ke 91 tahun, bukan pertunangan. Apa nenek lupa
Entah apa dalam pikirannya, Andien merasa kembali berada di dalam mimpi buruk saat mereka sudah berada di dalam kereta api. Ia bahkan tidak tahu kemana pria asing itu akan membawanya. Sialnya, ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Edgar. Ia tidak memiliki uang cash satu miliar, sementara semua kartu banknya ada pada kekasihnya yang berkhianat. "Kau ingin menculikku?" Andien bertanya tanpa berani melihat pria di sampingnya. Tangannya meremas sisi gaunnya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Sementara buket bunga lili ungu untuk sang kakak, ia biarkan teronggok di bawah kursinya. Beberapa detik kemudian, ia sadar dengan kenyataan. Melihat penampilan Edgar yang terkesan dari keluarga bangsawan ketimbang seorang penculik. Edgar tertawa dengan pandangan matanya tetap ke depan. "Buat apa menculikmu?" Jawaban itu menarik atensi Andien, segera memutar kepala ke samping dan bertanya, "Lalu, untuk apa kau membawaku?" "Aku membutuhkanmu sebagai pacar pura
Kereta api meluncur dengan kecepatan yang stabil, membawa Andien Clouwi menuju kota kecil tempat makam sang kakak. Sesaat ia tiba di tanah air setelah sekian lama di luar negeri. Ia duduk di pojok kereta, memandang keluar jendela sambil memeluk buket bunga lili ungu segar. Namun, pikirannya tidak lagi di perjalanan, melainkan di berita yang baru saja diterimanya dari sahabatnya. Air matanya luruh, berdesakan dengan rasa sakit atas sebuah pengkhianatan yang terus menusuk hatinya. 'Kekasihmu berselingkuh. Aku melihatnya langsung.' Isi pesan itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya nyaris melompat dari tempatnya. Keceriaannya seketika hilang, meninggalkan amarah dan kesedihan yang menyatu sangat cepat. Air matanya tidak lagi terbendung, luruh begitu saja memenuhi kedua pipi tirusnya. Ia sangat yakin sahabatnya tidak mungkin berbohong. Ia kembali membuka handphone, untuk memeriksa balasan pesan yang beberapa detik yang lalu ia kirimkan ke sang kekasih. Tapi saat itu