Kirana, penari Bedhaya terakhir Keraton, dipaksa meninggalkan gemerlap budaya Jawa demi kontrak pernikahan dengan Baskara, CEO dingin di Jakarta. Perjanjian mereka bukan hanya tentang harta, melainkan tentang kutukan spiritual kuno yang mengancam kehancuran kedua keluarga jika mereka gagal menemukan 'kunci' cinta sejati dalam lima tahun. Ketika sabotase bisnis dan serangan spiritual mengancam karier menari Kirana, Baskara dipaksa meyakini mitos yang selama ini ia remehkan. Rahasia gelap terkuak: Kutukan itu terkait erat dengan saudara kembar Baskara yang hilang, seorang antagonis yang kini memegang Jimat Cakra, artefak kekuatan jahat. Demi menyelamatkan warisan dan satu sama lain, Kirana dan Baskara harus bersatu, menukar kemewahan metropolitan dengan misteri candi tersembunyi. Di sana, Kirana harus menarikan tarian paling suci dalam hidupnya, sebuah ritual yang akan mengangkat kutukan, tetapi mungkin akan memaksanya mengorbankan jiwa penarinya selamanya. Bisakah cinta yang lahir dari kontrak mengalahkan takdir leluhur?
View MoreAlunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.
Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.
Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.
Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda Keraton telah menjadi kenyataan. Bencana keuangan menghantam Yayasan Budaya, diikuti oleh serangkaian kemalangan spiritual yang tak terjelaskan, pembusukan mendadak pada pusaka-pusaka penting, dan penyakit misterius yang menyerang kesehatan Sang Ayah.
Satu-satunya solusi, yang tertulis dalam Perjanjian Cakra Kuno: Pernikahan kontrak dengan pewaris Adiwangsa Group di Jakarta, Baskara Adiwangsa, seorang pria yang dikabarkan dingin dan hanya percaya pada angka-angka.
Ketika gamelan akhirnya berhenti dengan gong terakhir yang menggema, Kirana ambruk ke lantai, membiarkan tubuhnya bersandar pada tiang kayu tua yang telah menyaksikan ribuan jam latihannya.
"Cukup, Nduk," suara Gus Jaya, mentor dan penasihat spiritualnya, memecah keheningan.
Gus Jaya maju, wajahnya yang tua dihiasi kerutan kesedihan. Ia mengenakan beskap hitam dan blangkon yang tegak. Matanya yang tajam, yang biasanya memancarkan kebijaksanaan, kini tampak redup karena rasa iba.
"Tarianmu sempurna, Kirana. Ini adalah Bedhaya yang paling pahit yang pernah kau bawakan," ujar Gus Jaya, membantu Kirana bangkit.
Kirana tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, di mana bayangannya terlihat memudar dalam cahaya sore yang keemasan.
"Mengapa saya harus pergi, Gus? Jika kutukan itu membutuhkan persatuan sejati, bukankah menikahi pria yang tidak menghargai satu pun hal yang saya yakini hanya akan memperburuk keadaan?" tanya Kirana, suaranya bergetar. Rasa memberontak yang ia pendam kini perlahan naik ke permukaan.
Gus Jaya menghela napas panjang. Ia mengambil tempat duduk di bangku panjang, mengisyaratkan Kirana untuk duduk di sebelahnya.
"Perjanjian Kuno itu adalah pedang bermata dua, Nduk. Leluhur Adiwangsa meminta kekuatan spiritual Cakra dari leluhur kita, tetapi dengan syarat, bahwa keturunan mereka harus menemukan cinta sejati dalam lima tahun setelah pernikahan kontrak. Jika gagal, energi Cakra itu akan berbalik, menghancurkan kekayaan Adiwangsa dan memutus garis keturunanmu secara spiritual," jelas Gus Jaya, suaranya pelan tetapi penuh bobot sejarah.
"Kita tidak punya pilihan. Kekuatan finansial Adiwangsa adalah satu-satunya benteng yang bisa menahan kerusakan spiritual yang sudah menyentuh Keraton. Jika Keraton runtuh karena kebangkrutan, kita akan kehilangan semua pelindung spiritual yang kita miliki. Kau adalah perisainya, Kirana."
Kirana memejamkan mata. Jadi, hidupnya hanyalah sebuah alat. Sebuah ritual.
"Lalu, apa yang Baskara dapatkan?" tanya Kirana getir. "Selain citra publik yang bersih, apa yang ia dapatkan dari pernikahan tanpa cinta ini?"
"Ia mendapatkan waktu," jawab Gus Jaya. "Waktu untuk menemukan cara, waktu untuk memahami apa yang coba ia lawan.
Bagi Baskara, ini adalah kalkulasi bisnis. Bagi kita, ini adalah perjuangan hidup-mati spiritual. Kau harus membangkitkan sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang melampaui logika dan angka, sebelum waktu habis."
"Bagaimana jika saya gagal?"
"Maka kita semua gagal. Dan kau akan terjebak dalam pusaran kutukan yang akan menghancurkanmu sepenuhnya," kata Gus Jaya, tanpa melembutkan kenyataan.
Gus Jaya lalu bangkit dan mengambil sebuah kotak yang tersembunyi di balik altar kecil. Kotak itu ramping, terbuat dari beludru hitam pekat, kontras sekali dengan ornamen kuningan halus di Keraton.
"Busana dan perlengkapanmu sudah diatur. Penerbangan ke Jakarta subuh nanti," katanya. "Ini, ambil."
Kirana meraih kotak itu. Dingin. Berat. Rasanya seperti menggenggam takdir yang asing dan menyakitkan. Ia membuka tutupnya.
Di dalamnya, di atas lapisan satin putih, terdapat sebuah cincin platinum, minimalis dan modern, berkilauan. Simbol formalitas yang menandakan kepemilikannya di mata hukum, tetapi bukan di mata hati. Cincin pertunangan dari Baskara Adiwangsa.
Jari-jari Kirana yang lentur, yang hanya terbiasa menyentuh kain sutra kuno, sampur, atau tanah tempat ia menari, kini menyentuh logam dingin itu. Hawa Jakarta yang serba cepat dan asing terasa menusuknya dari dalam kotak beludru.
"Semua sudah diatur, Kirana. Kau akan bertemu Baskara di Jakarta. Upacara sipil akan sederhana dan tertutup. Ingatlah," bisik Gus Jaya, suaranya kini kembali menjadi suara penasihat Keraton yang berwibawa, penuh peringatan kuno, "pernikahan kontrak ini memberi kalian tenggat waktu tepat lima tahun untuk menemukan .…"
Gus Jaya berhenti sejenak, menatap Kirana lurus-lurus, aura di sekitarnya terasa menekan.
"… untuk menemukan apa yang Baskara sebut takhayul, dan apa yang kita sebut—"
"Cinta sejati," potong Kirana, menelan ludah, suaranya kini hanya seutas benang. Ia memasukkan cincin itu ke jarinya. Terlalu besar. Terlalu dingin.
"Ya. Karena jika dalam lima tahun itu kalian gagal menyatukan hati dan energi kalian," Gus Jaya maju selangkah, mencondongkan tubuhnya, suaranya berubah menjadi desisan yang mengerikan di tengah keheningan sanggar, "maka Kutukan Cakra akan mencapai puncaknya. Dan yang pertama kali hancur bukanlah kekayaan Adiwangsa. Melainkan—"
"Kirana!"
Sebuah suara mendadak memanggil dari balik pintu kayu, seruan mendesak dari salah seorang abdi dalem yang bertugas mengantar.
Kirana tersentak.
"Waktu kita habis. Mobil penjemput dari Jakarta sudah menunggumu di gerbang utama, Nduk. Sekarang."
Kirana menoleh ke pintu. Ia tidak punya waktu lagi untuk berduka. Tugas memanggil.
Ia bangkit, menenteng kotak cincin itu dengan erat. Di belakangnya, Gus Jaya hanya berbisik, matanya menatap cincin platinum di jari Kirana yang baru saja dimasukkan dengan tergesa-gesa.
"Jika kalian gagal ... ia akan bangkit. Saudara kembar Baskara yang hilang ...."
Langkah kaki Kirana terhenti di ambang pintu.
"Anggap itu pelajaran sejarah yang menarik," katanya, suaranya kembali datar, dingin, final. "Sekarang, aku punya pekerjaan. Kau bisa kembali ke kegiatanmu. Dan jangan pernah lagi membahas takhayul itu di hadapanku, Kirana. Jangan pernah ...."Suara Baskara tercekat, bukan karena keinginan hatinya, melainkan oleh deringan ponselnya yang memekakkan telinga. Nadanya, melodi klasik yang dulu pernah didengar Kirana dalam konser-konser simfoni, terdengar anehnya ironis di tengah ketegangan beku yang baru saja menggantung di antara mereka.Baskara menarik napas tajam, ekspresinya kembali pada topeng dingin yang dikenalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, melirik layar sekilas, lalu berbalik memunggungi Kirana tanpa sepatah kata pun. Diskusi itu, tentang ramalan, kutukan, dan segala hal yang tak bisa ia ukur dengan angka, dianggapnya selesai.Kirana berdiri terpaku di tengah ruang tamu minimalis yang terasa kian asing baginya. Jantungnya masih berdebar-debar karena amarah yang ia ta
"Kunci ... untuk mengangkat kutukan ini terletak pada persatuan dua jiwa yang melampaui darah, diikat oleh restu leluhur dan cinta tanpa syarat."Kirana merasakan jantungnya berdebar kencang, suaranya tercekat di tenggorokan. Kalimat-kalimat di buku harian kuno itu, ditulis dengan tinta yang memudar namun terasa begitu nyata, adalah tamparan dingin di wajahnya. Perjanjian. Kutukan. Cinta Sejati. Kata-kata yang terdengar seperti dongeng kuno, kini mengikat nasibnya dan Baskara, lelaki yang bahkan tidak mengenalnya, yang ia nikahi karena paksaan.Dia menelusuri baris-baris terakhir paragraf itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran aneh seolah energi purba merembes dari halaman kertas yang rapuh. Lima tahun. Mereka punya waktu lima tahun untuk menemukan 'cinta sejati' itu, atau garis keturunan Adiwangsa akan hancur, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara spiritual. Kirana, yang selalu tumbuh dalam keyakinan akan hal-hal tak kasat mata, tahu ini bukan sekadar metafora. Ini ada
"Jika kau mengharapkan saya jatuh cinta padamu, kau sebaiknya tahu sekarang juga, saya tidak punya hati untuk diberikan. Kau hanya pelindung aset. Dan mari kita lihat berapa lama, pelindung yang cantik, kau akan bertahan sebelum kau menyadari bahwa Rangga, kembaran saya yang gila adalah ancaman terkecil dibandingkan hidup di neraka yang beku ini, menunggu waktu habis, menunggu kematian spiritual, Kirana."Baskara Adiwangsa tidak menyelesaikan ancamannya, seolah-olah menyadari bahwa kata-kata terakhir itu harus disimpan di dalam benteng logikanya yang kejam. Pintu kamar mandi tertutup dengan suara keras, meninggalkan Kirana berdiri sendirian di tengah suite penthouse yang terasa sebesar dan sedingin Jakarta sendiri.Keheningan yang tersisa di ruangan itu terasa menghina.Kirana menarik napas dalam-dalam, memaksakan udara dingin yang kaya kondensasi AC memasuki paru-parunya. Ia mengenakan gaun sutra yang membelit pinggangnya seperti tali simpul, hadiah dari Baskara, yang terasa seperti
"Ia akan datang mengambil Jimat Cakra, dan menggunakan energi yang dilepaskan kutukan untuk menghancurkan kalian berdua. Jika lima tahun berakhir tanpa cinta, maka kau akan menghadapi kembaran Baskara yang diisi dengan kebencian, Rangga. Dan, menurut ramalan terakhir yang kuterima, ia telah berada di sana."Suara Gus Jaya yang serak terputus. Bukan karena disengaja, melainkan karena panggilan telepon yang terpotong tiba-tiba oleh suara statis, meninggalkan Kirana Ayu Kencana dalam keheningan yang dingin, hanya beberapa jam sebelum hidupnya berubah selamanya.Ia memegang ponsel kunonya erat-erat, seolah kata-kata terakhir yang menggantung itu menandakan bahwa kembaran Baskara yang haus dendam, Rangga, sudah berada ‘di sana’ dengan merayap kembali melalui serat optik. Ia berada di ruang ganti kecil di luar aula resepsi sipil di Jakarta, jauh dari Keraton yang hangat dan berbau dupa, tempat di mana ancaman spiritual terasa nyata dan akrab. Di sini, di balik dinding-dinding berlapis marme
Alunan gamelan terdengar sayup, tapi bagi Kirana, yang bergema hanyalah detak jantungnya sendiri. Bukan lagi tentang kesempurnaan gerak, bukan pula tentang penonton yang menatap. Ini adalah tentang sebuah janji yang harus dituntaskan, sebuah persembahan untuk semua yang akan ia tinggalkan di sini.Kirana menekan punggung telapak tangan ke dahi. Keringat yang bercampur bedak dingin keraton membaur, perih di sudut matanya, tetapi ia tidak boleh berkedip, tidak boleh berhenti. Ini adalah tarian terakhir di lantai kayu penuh kenangan ini.Ia sedang membawakan Bedhaya Sembilan Bidadari, tarian sakral yang menuntut kesempurnaan batin dan keselarasan spiritual. Gerakannya, halus seperti air dan kuat seperti akar pohon beringin, menceritakan kisah perjuangan antara kehendak dewa dan takdir manusia. Namun, untuk Kirana Ayu Kencana, 24 tahun, tarian itu bukan lagi narasi mitologi; itu adalah pengorbanan dirinya.Lima bulan yang lalu, ramalan kuno yang selalu dianggap dongeng oleh generasi muda
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments