Entah apa dalam pikirannya, Andien merasa kembali berada di dalam mimpi buruk saat mereka sudah berada di dalam kereta api. Ia bahkan tidak tahu kemana pria asing itu akan membawanya. Sialnya, ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Edgar.
Ia tidak memiliki uang cash satu miliar, sementara semua kartu banknya ada pada kekasihnya yang berkhianat. "Kau ingin menculikku?" Andien bertanya tanpa berani melihat pria di sampingnya. Tangannya meremas sisi gaunnya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Sementara buket bunga lili ungu untuk sang kakak, ia biarkan teronggok di bawah kursinya. Beberapa detik kemudian, ia sadar dengan kenyataan. Melihat penampilan Edgar yang terkesan dari keluarga bangsawan ketimbang seorang penculik. Edgar tertawa dengan pandangan matanya tetap ke depan. "Buat apa menculikmu?" Jawaban itu menarik atensi Andien, segera memutar kepala ke samping dan bertanya, "Lalu, untuk apa kau membawaku?" "Aku membutuhkanmu sebagai pacar pura-pura untuk aku kenalkan ke nenekku," ujarnya dengan santai, tanpa tertarik menggeser pandangannya ke gadis kebingungan yang terus memelototinya. Andien tidak percaya, ia merasa itu lelucon yang tidak lucu. Edgar bukan pria jelek, tidak mungkin dia tidak memiliki kekasih. Dan, mereka belum saling mengenal, ketemu juga baru beberapa menit. Aneh saja pria itu langsung membuatnya jadi pacar pura-pura. "Kenapa tidak membawa pacarmu saja?" Lagi-lagi Edgar hanya menaikkan kedua alisnya, tanpa berniat untuk menjawab. "Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak mau pacarku tahu dan marah padaku," bohong Andien menolak. Kemudian, berdiri hendak berpindah tempat duduk. Namun, Edgar sigap menahan tangannya. Kemudian mendekatkan jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya ke depan muka Andien. "Satu miliar! Waktumu tinggal lima menit lagi." Terdengar tenang namun satu ancaman keras bagi Andien. Rasanya ia ingin berteriak keras. Andien yang tertekan cuma bisa mengutuki kebodohannya. Mau saja dirinya di tipu pria itu, hanya karena noda bunga di kemeja tadi. Jelas ini sebuah pemerasan terhadap dirinya. Tapi, sekarang semuanya sudah terlambat. Andien kembali duduk. Wajahnya tampak masam menahan rasa kesal. "Katakan siapa namamu?" tanya Edgar mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. "Andien Clouwi," jawabnya dingin, tidak bersemangat. "Panggil aku, Edgar," kata Edgar memberikan cincin yang baru saja ia keluarkan dari kotak kepada Andien. "Aku rasa ukurannya pas di jarimu," tambahnya sesaat memperhatikan jari manis tangan Andien. Tangannya terulur ke depan hendak meraihnya tangan Andien. Tetapi, Andien menepis kasar tangan Edgar. "Aku tidak membutuhkannya," kata Andien menyembunyikan jarinya dengan melipat rapat kedua tangan di dada. "Tapi, nenekku membutuhkannya. Jadi, kau harus memakainya atau... kamu mau pilihan pertama?" Edgar kembali menunjuk ke jam tangannya. "Dua menit lagi." Mendengarnya, Andien menghela napas berat dan pasrah, segera mengulurkan tangannya. "Aku rasa nenekmu juga tidak memperhatikannya." Sejenak, Andien memperhatikan cincin di jari manisnya. Sejujurnya ia sangat menyukainya namun tidak ingin terlihat kecil di mata Edgar, ia berkata dengan nada dingin, " Aku tidak menyukainya, ini terlalu biasa." "Kau tidak mengenal nenekku. Di depan nenekku nanti, kau harus bisa bersikap hangat dan memanggilku, Edgar." Dengan lancang Edgar menarik tangan kiri Andien, ucapan Andien tadi menarik atensinya untuk memperhatikan cincin yang katanya terlalu biasa itu. "Hmm... setuju, aku juga tidak begitu menyukainya. Terlalu polos dan kurang menarik. Selesai acara nanti kau bisa membuangnya." Andien ternganga, ia bicara begitu tadi bukan benar-benar tidak menyukainya. Ia tahu harga cincin itu tidak murah, dan model cincin seperti itu kerap dikenakan para istri bangsawan. Bagaimana bisa Edgar bicara seenteng itu? Andien menoleh ke samping, memperhatikan kembali pria di sampingnya. Ia jadi yakin pria ini tidak tahu harga cincin itu. Kalau dia tahu harganya saja lebih dari satu miliar, tentu pria itu tidak perlu berpikir-pikir untuk menyimpannya. "Tidak perlu, kekasihku bisa---" "Satu lagi." Edgar memotong, jari telunjuknya terangkat dan berhenti di depan muka Andien. "Selama bersamaku, berhenti bicara tentang kekasihmu, paham? Kau hanya perlu mengikuti apa yang aku katakan! Atau... sialnya, waktumu sudah habis." Sesaat mengangkat tangan kirinya, sebelum menurunkannya kembali. Sadar dengan situasinya yang seolah terjebak dengan pria asing itu, Andien terpaksa mengangguk. Percuma juga mengaku-ngaku punya kekasih, sang kekasihnya sudah menyakiti hatinya. Kereta api melambat dan berhenti, Andien mengekori langkah Edgar turun dari kereta. Saat mereka berjalan di peron, sebuah mobil Rolls-Royce Phantom hitam mendekat dan berhenti di samping mereka. Seorang pria berseragam keluar dari mobil menghampiri Edgar dan membungkuk hormat. "Tuan Muda Edgar Matthew, nenek Margaret sudah menunggu di mansion Matthew." 'Mattew?' Andien membatin, dahinya mengerut. Ia pernah mendengar nama itu dari sang kakak, tapi ia tidak tahu persis siapa mereka. Edgar tidak menunjukkan reaksi apa pun, lalu menoleh ke Andien dan menggandeng tangannya masuk ke mobil. Andien merasa seperti sedang berada diantara dalam mimpi dan dilema, tapi sentuhan tangan Edgar terlalu nyata. Tidak ada percakapan lagi sampai mereka tiba di mansion Matthew. Melihat kemegahan mansion Matthew, Andien merasa dirinya sangat kecil. Ada perasaan bersalah dan malu karena sudah merendahkan Edgar tadi. Ia baru tahu, ternyata Edgar merupakan keturunan bangsawan. "Sayang, kita temui nenek Margaret di sana." Andien meneguk liur sambil mengikuti jari telunjuk Edgar. Rasa gugup dan kaku menyerangnya bersamaan, membuat tubuhnya bergetar hebat hingga hilang keseimbangan. Bukan karena belum siap dengan perannya sebagai calon cucu mantu, atau karena melihat wanita tua dingin tanpa ekspresi di depan mereka. Namun, kata sayang yang baru saja keluar dari bibir Edgar. "Kamu tidak apa-apa?" Cepat-cepat menangkap tubuh Andien yang oleng dan membawa dalam pelukannya. Paham situasinya di sana, Andien menguatkan hati dan menahan tubuhnya. Dengan berpura-pura tersenyum manis ia menjawab. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya gugup bertemu dengan nenek Margaret." Takut-takut Andien berjalan menghampiri Nenek Margaret. Ia mengikuti Edgar bersimpuh di ujung kaki nenek Margaret sebagai tanda menghormatinya. Wanita tua itu lama memandangi Andien dengan tatapan mata yang tajam. Kemudian, beralih ke jari tangan Andien. Raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Selamat ulangtahun, Nek. Semoga panjang usia dan sehat selalu," ucap Andien bergetar, ucapannya terdengar terlalu biasa. Bagaimana tidak? Ia benar-benar gugup bercampur bingung, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sejenak melirik ke Edgar, tapi pria itu terlalu sibuk dengan hadiah istimewanya untuk sang nenek. Sejenak menunggu namun tidak ada sahutan dari Margaret. Andien memberanikan diri mengangkat kepala, menatap wanita dingin di hadapannya. "Ambil semua hadiahmu itu, aku tidak membutuhkannya," ucap nenek Margaret menepis hadiah pemberian Edgar. "Nek, aku sudah memesannya---" "'Edgar, apa gadis ini hadiah cucu mantu untuk nenek?" Datar, Margaret memotong dengan suara yang tegas. "Katakan, dia bukan pacar sewaanmu!" Kaget, merasa pertanyaan itu tentang dirinya, Andien segera berdiri dan menjaga jarak dengan Margaret. Rasa takut dan gelisah terpancar di wajahnya yang langsung memutih. Wajah Edgar tidak kalah pucat. Andien adalah stok wanita terakhir yang akan dia kenalkan kepada sang nenek. Dia sangat berharap sang nenek tidak tahu kalau Andien juga hanya pacar pura-puranya. Dan, berujung mengusir Andien seperti wanita-wanita sebelumnya. ***Edgar menatap kosong ke depan. Ada rasa kasihan yang timbul dalam hatinya. Namun, dia tetap akan memilih sang nenek. "Andien, maafkan aku. Kau boleh memakiku atau menghabiskan uangku, tapi jangan minta aku menolak permintaan nenek." Andien segera sadar, sekuat apapun dirinya tidak akan mampu membujuk Edgar. Ia harus bisa memikirkan cara lain, agar bisa terbebas dari Edgar, sebelum hari pernikahan mereka. "Baik, aku setuju menikah." Mendengarnya, spontan Edgar melompat dari duduknya saking senangnya. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah penasaran karena belum bisa yakin sepenuhnya. Andien mengangguk. "Tapi, aku meminta satu hal." "Katakan! Aku akan melakukan apapun untukmu, asal kau setuju dengan permintaan nenek." Andien membungkam seolah tengah memikirkan, apa rencananya ini terlalu jahat? "Sebelum kita menemui nenek sore ini, tolong antarkan aku ziarah ke makam kakakku." Merasa itu bukanlah hal yang sulit, Edgar setuju. "Iya. Sekarang berkemaslah, aku tunggu di bawah," uj
"Diandra?" desisnya. Sekujur tubuh Andien menegang seperti tersengat listrik bertegangan tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Ia mendekat sambil mengucek kedua matanya, untuk melihat lebih jelas lagi wanita dalam foto itu benar Diandra, kakaknya. Baru saja mau melangkah masuk, terdengar suara langkah kaki di belakangnya, di susul suara beratnya yang menggema. Sontak Andien berbalik badan cepat. "Apa yang kau lakukan di sini?" Suara itu tidak asing lagi namun terdengar dingin dan tidak ramah. "Edgar!" Andien tampak salah tingkah. Matanya terpaku pada wajah dingin di depannya. "M-maaf, aku---" Belum selesai bicara, Edgar sudah menarik dan membawanya dari sana. "Lepaskan, kau menyakitiku!" ringis Andien menarik tangannya dari cengkeraman kuat tangan Edgar. Kemudian, mengelus lengannya yang sakit dan memerah dengan wajah merengut. "Masuk ke kamarmu. Aku tidak mau nenek sampai melihatmu berkeliaran." "Apa yang salah? Aku tidak merusak atau mencuri barang-barang di si
Edgar tak bisa menutupi rasa gugupnya, sekilas melirik ke Andien yang juga terlihat gelisah. Otaknya bekerja keras mencari cara untuk menyakinkan sang nenek. "Benar, Nek. Sebenarnya aku dan Andien sudah lama berpacaran, hanya saja selama ini Andien tinggal di luar---" Edgar menghentikan ucapannya ketika sang nenek mengangkat tangan kirinya ke atas. Tak lama kemudian beberapa orang pria berseragam datang menghampiri Margaret. "Segera siapkan keperluan pertunangan Edgar dengan calon cucu mantu," titah Margaret. Mendengarnya, Andien terbelalak, tidak percaya apa yang akan segera terjadi. Semuanya terasa tiba-tiba, ia merasa seperti benar terperosok ke dalam mimpi buruk. Sementara dirinya disewa sebagai pacar pura-pura, bukan untuk benar-benar kekasih Edgar. Andien melihat Edgar yang berdiri di sampingnya, seolah meminta pria tersebut untuk menjelaskan semuanya kepada sang nenek. "Nek, kita mau merayakan hari ulang tahunmu yang ke 91 tahun, bukan pertunangan. Apa nenek lupa
Entah apa dalam pikirannya, Andien merasa kembali berada di dalam mimpi buruk saat mereka sudah berada di dalam kereta api. Ia bahkan tidak tahu kemana pria asing itu akan membawanya. Sialnya, ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan Edgar. Ia tidak memiliki uang cash satu miliar, sementara semua kartu banknya ada pada kekasihnya yang berkhianat. "Kau ingin menculikku?" Andien bertanya tanpa berani melihat pria di sampingnya. Tangannya meremas sisi gaunnya untuk menguasai rasa gugup dan kakunya. Sementara buket bunga lili ungu untuk sang kakak, ia biarkan teronggok di bawah kursinya. Beberapa detik kemudian, ia sadar dengan kenyataan. Melihat penampilan Edgar yang terkesan dari keluarga bangsawan ketimbang seorang penculik. Edgar tertawa dengan pandangan matanya tetap ke depan. "Buat apa menculikmu?" Jawaban itu menarik atensi Andien, segera memutar kepala ke samping dan bertanya, "Lalu, untuk apa kau membawaku?" "Aku membutuhkanmu sebagai pacar pura
Kereta api meluncur dengan kecepatan yang stabil, membawa Andien Clouwi menuju kota kecil tempat makam sang kakak. Sesaat ia tiba di tanah air setelah sekian lama di luar negeri. Ia duduk di pojok kereta, memandang keluar jendela sambil memeluk buket bunga lili ungu segar. Namun, pikirannya tidak lagi di perjalanan, melainkan di berita yang baru saja diterimanya dari sahabatnya. Air matanya luruh, berdesakan dengan rasa sakit atas sebuah pengkhianatan yang terus menusuk hatinya. 'Kekasihmu berselingkuh. Aku melihatnya langsung.' Isi pesan itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya nyaris melompat dari tempatnya. Keceriaannya seketika hilang, meninggalkan amarah dan kesedihan yang menyatu sangat cepat. Air matanya tidak lagi terbendung, luruh begitu saja memenuhi kedua pipi tirusnya. Ia sangat yakin sahabatnya tidak mungkin berbohong. Ia kembali membuka handphone, untuk memeriksa balasan pesan yang beberapa detik yang lalu ia kirimkan ke sang kekasih. Tapi saat itu