Share

03. Toxic relationship?

Jeno membanting tubuh di kasur. Dia menghembuskan nafas panjang sambil melihat langit-langit kamar, meraih guling lalu diletakan di bawah kepala. Jeno menghembuskan nafas berkali-kali. Hidupnya sungguh membosankan. Hari ini dia tidak berangkat sekolah karena belum mewarnai rambut menjadi hitam. Jeno terlalu malas karena lelah kemarin diajak pergi ke desa.

Jeno mewarnai rambut menjadi warna blonde karena permintaan klien. Semenjak menjadi penganti model untuk produk baru milik perusahaan Dirgantara, Jeno jadi laris job karena wajahnya yang tampan juga status anak pengusaha. Tapi dia hanya mengambil job iklan agar waktunya tidak tersita untuk dunia entertaiment.

Jeno merogoh ponsel yang ada di celana. Dia membuka room chat milik seseorang yang sampai sekarang belum membalas pesannya. Jeno menghembuskan nafas panjang, dia melempar ponsel sembarang ke kasur lalu keluar kearah balkon.

Perhatian Jeno teralih saat melihat Juwi terlihat sedang berbicara dengan ayahnya dengan sebagian badan terhalang tembok. Tidak peduli, Jeno segera meraih ambalan lalu turun dari balkon. Kakinya berjinjit dengan tangan sekuat tenanga mengapit ambalan untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

Jeno melebarkan langkah sehingga hanya lima langkah untuk sampai di jendela rumah sebelah. Jeno segera membuka jendela yang memang tidak pernah di kunci lalu masuk. Jeno berguling di lantai, dia selalu merasa seperti habis bertaruh nyawa saat menyabrang dari rumahnya ke rumah sebelah karena jarak jendela dengan tanah sangat tinggi. Lebih dari lima meter.

Jeno berdiri menghadap kasur ber-bedcover warna crem rapih dan berdebu karena lama tidak di tempati. Jeno jadi sendu, banyak kenangan di kasur itu dengan pemiliknya "Mika ... Mika. Kapan lo kembali? Gue kangen banget. Kangen pagi-pagi ngagetin lo. Kangen jahilin lo sampai nangis. Kangen tidur sama lo." Jeno menghembuskan nafas panjang. Dia menyibak selimut. Ingin merebahkan diri tapi urung saat mendengar suara benda jatuh yang menggema di bawah.

"Maling?" Gumam Jeno lalu membuka pintu pelan dan keluar dengan mengendap.

Jeno merangkak, dia keujung dinding yang bersebelahan dengan pembatas balkon dalam rumah lalu mengintip. "Ohh ..." lenguh Jeno lega tidak ada yang perlu di kawatirkan karena bukan maling tapi Hansol (manager Yama) dan Bobby (artis barunya.)

Tapi untuk apa mereka ke sini?, fikir Jeno. Jeno kembali mengintip. Keningnya berekrut saat mereka terlihat bertengkar. Jeno menajamkan pendengarannya.

"Jangan egois! Semua milik Yama sudah lo ambil. Mulai dari pekerjaan, fans, vershow, BA, iklan, drama. Stop! Jangan serakah, Bobb."

Bobby berdecak dia menendang kursi singel sampai jatuh membuat Hansol yang jalan lebih dulu setelah mengambil barangn, kaget  "Kalau mau rumah seperti ini, beli!"

"Bacot!"

Jeno merangkak kembali ke kamar. Dia menutup pintu rapat-rapat sambil mencerna apa yang baru saja dia dengar.

"Gue curiga mereka berdua ada di balik skandal Bang Yama." Jeno mengigit bibir bawah, dia segera berlari ke jendela untuk melihat Hansol dan Bobby yang baru keluar gerbang. "Kalian dalam pantauan. Gue bakal ajak bang Yama kembali setelah kecurigaan gue terbukti."

"Kalian akan mendapat balasan setimpal karena memisahakanku dengan Mika." Jeno kembali ke kasur. Dia merebahkan tubuh di sana. Dia akan kembali tidur.

⚠️⚠️⚠️

Juwi memiringkan kepala lalu memukul kepala dengan bolpoint berkali-kali. Juwi menghembuskan nafas panjang. Dia bosan bukan main juga lelah. Belajar empat jam tanpa berhenti membuat kepalanya terasa panas walau ada AC yang mendinginkan ruangan.

Juwi merubah posisi duduk, perutnya terasa lapar saat kerap kali mencium bau masakan maid. Apalagi saat Jeno dengan tanpa dosa makan saat dirinya sedang pusing belajar. Juwi ingin mengumpati siapa saja yang mengatur tata letak bapur sekaligus ruang makan bersebelahan dengan perpustakaan tempatnya belajar. Benar-benar membuat konsentrasinya terganggu!

"Apa sulit, Juwita?"

Juwi terkesiap, reflek melihat miss Dara dengan mata melebar. Juwi meringis, "tidak, miss Dara." Jawabnya.

Miss Dara mengangguk kemudian kembali berkutat dengan laptopnya.

Juwi mengusap hidung, dia hanya sedikit kesulitan menyusun kalimat sederhana bahasa inggris yang sedang dia kerjakan di sebuah aplikasi dari miss Dara. Juwi selalu salah di bagian 'it' dengan 'is' dan itu sudah terulang tiga kali.

Juwi mengangkat wajah, dia mendesis saat Jeno bersama dua anjingnya terlampau berisik di rumah kandang yang ada di taman dekat kolam renang yang bersebelahan persis dengan dinding perpustakaan.

Setelah sarapan, Jeno bermain dengan dua anjingnya. Suara gonggongan dan berisik tak kunjung berhenti membuat Juwi semakin kesulitan untuk berkonsetrasi. Padahal Miss Dara memberinya waktu dua puluh menit untuk dua puluh soal latihan. 

Juwi melirik jam, reflek memegang perut yang terasa lapar dan melilit. Tadi pagi dia hanya sarapan roti dan telur, entah apa nama kerennya Juwi tidak tahu. Menu itu sama sekali tidak membuatnya kenyang karena kalau belum makan nasi Juwi tidak akan kenyang.

Kepala Juwi tertoleh saat mendengar suara mobil berhenti tepat di depan teras. Dirgantara sudah pulang? Fikirnya.

Tapi mendengar suara ketukan heels dengan lantai membuat dugaan Juwi salah. Dia memanjangkan kepala kearah jendela yang memperlihatkan siluet perempuan dengan tas mengantung di lengan langsung menuju arah kolam renang yang tak lama Juwi terkesiap saat maid menariknya juga Miss Dara mengajak sembunyi di rak-rak buku dekat jendela buram.

"Ada apa?" Tanya Miss Dara.

Maid memberi kode untuk tidak berisik dan memelankan suara. "Nyonya besar. Tuan besar belum mengizinkan nyonya untuk bertemu Mbak Juwita."

Juwi menyerngit, dia menujuk dirinya sendiri yang mendapat anggukan maid.

Miss Dara smirk "Dirgantara tidak pernah berubah." Ucapnya membuat Juwi menyerngit bingung.

Setelahnya tidak ada obrolan. Mereka diam dan hening. Membuat suara dari luar terdengar jelas.

"Jeno!"

Jeno yang sedang bermain dengan Leon-Louis mengangkat kepala. Dia menatap ibunya dengan sebelah alis terngakat menanyakan kedatangannya karena pasti ada yang penting sampai membuatnya datang ke rumah ini.

"Kenapa bolos sekolah?!" Amuknya melipat tangan di depan dada menunjukkan wajah angkuh.

Jeno mengusap rambut "belum ganti warna rambut." Jawabnya santai lalu mengambil mainan paha ayam untuk menggoda Leon.

Jesica menghembuskan nafas panjang, dia memijat pelipisnya. "Mommy sudah pernah bilang. Antara pekerjaan dan sekolah harus seimbang. Jangan berat sebelah, Jeno! Kamu harus bisa mengatur waktu. Secapek apapun shooting kamu harus tetap sekolah!"

Jeno diam. Dia terlihat tidak peduli. Lebih memilih bergulat dengan Leon dan Louis. Jeno terkiki saat pantat Leon jatuh tepat di wajahnya setelah lepas dari tangan karena terus berontak. Jeno mengigit pipi Leon lalu menciumnya. Louis iri, anjing kecil itu loncat-loncat minta Jeno manja.

Jesica yang melihat itu menahan nafas untuk beberapa detik  sebelum menghembuskan panjang. "Tolong mommy, Jeno. Jangan menambah susah Mommy. Sekarang selain ngurus kamu mommy juga mengurus Daniel dan Yuna. Mommy pusing, Jeno. Mereka sering kabur-kaburan, tidak pernah mendengar ucapan Mommy. Sekarang tinggal kamu yang bisa mommy andalkan, mommy banggakan. Tinggal kamu Jeno, anak kandung mommy."

Jesica duduk di tepian. Dia mengusap punggung Jeno penuh kasih sayang. "Mommy pengen apapun yang mommy urus, mommy pegang, semuanya bagus, sempurna dan hebat."

Jeno berdecak. Dia menyikut tangan Jesica membuat Jesica menatapnya kaget. "Stop menjadikan Jeno seperti yang mommy mau. Stop menjadikan Jeno sebagai barang pameran di hadapat teman-teman mommy. Jeno tidak suka!" Jeno melepas Leon dan Louis, dia menghadap Jesica "tidak ada manusia yang sempurna, momm" Jeno menatap Jesica tulus sambil meraih kedua tangan Jesica berharap Jesica mendengar keluhan dan ketidak nyamanannya selama ini.

"Kalau karir mommy berhasil belum tentu mengurus anak, keluarga juga akan berhasil. Dan sebaliknya."

Bagaikan di hantam beton, Jesica mendelik melihat Jeno lalu menarik tangannya "Jangan menasehati mommy, Jeno! Mommy lebih lama hidup dibandingkan kamu. Mommy tahu apa yang terbaik buat kamu."

Jeno melengos, dia keluar dari kandang membuat Jesica beridiri "mommy sama daddy sama saja. Jeno capek! Lebih baik mommy pulang. Treat Daniel atau Yuna seperti yang mommy mau. Jeno capek!"

"Jeno! Mommy belum selesai berbicara!"

"Jeno!"

"Jeno!"

"Ck! Arghh!" Jesica melihat punggung Jeno yang mulai menjauh dengan raut kesal. "Bapak sama anak sama-sama susah diatur."

Jesica menahan nafas untuk beberapa detik sebelum menghembuskan perlahan. Dalam keadaan semarah apapun dia harus tetap elegan dan menjaga kata-kata.

Jesica memijat pelipis, memilih segera pergi karena ada pekerjaan yang harus dia urus.

Setelah melihat nyonyanya pergi, maid mempersilahkan Juwi dan Miss Dara untuk kembali ke tempat semula. Seperti tidak pernah ada kerubutan yang terjadi, mereka kembali melakukan kegiatan yang tertunda.

Juwi menoleh kearah siluet Jesica. Dalam hati merasa kasihan pada Jeno karena cowok itu menjadi sasaran keegoisan orang tua untuk hidup sempurna dan idealis seperti yang mereka mau.

Bukankah itu termasuk toxic relationship?

⚠️⚠️⚠️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status