Yosi menyenggol Daniel yang ada di sebelahnya. Dia menggerakan kepala, berkode menanyakan kenapa dan ada apa gerangan dengan Jeno yang kerap kali gagal melakukan trik skateboard bahkan dengan trik yang paling dasar seperti kickflip Jeno gagal, padahal dia jagonya skateboard.
"Gak tau!" Ketus Daniel.
Yosi melengos, dia mengangkat wajah saat Jeno dan Yedam kembali. "Main lo jelek banget, Jen. Kebanyakan galau!" Hardik Yedam duduk di sebelah Yosi lalu menyambar botol berisi rendalam air lemon kemudian meminumnya hingga setengah.
Daniel melirik, Yosi merangkul bahu Jeno lalu menepuknya pelan "kenapa lagi, hm?"
Jeno melihat ke arah lintasan dengan mata menyipit, tangannya merogoh botol yang tertindih jaket Daniel "Gak tau, perasaan gue gak enak terus dari tadi."
"Gak enak, ya di enakin lah. Kasih garem kek."
Jeno memukul kepala Daniel menggunakan botol yang isinya setengah kosong membuat cowok itu mengaduh dan balas memukul. Yosi yang ada di dekat mereka langsung memisahkah padahal Yedam sudah nyengir senang melihat keributan. "Udah ... udah! Semenjak jadi saudara makin rajin berantem ni dua."
Yedam tertawa, dia menutup botol lalu mengapitnya "biarin aja, bang. Tanda-tanda akur."
Jeno melempar botol kosong yang isinya baru saja di tenggak habis ke tong sampah lalu berdiri "Dahlah cabut aja gue." Ucap Jeno meraih jaket lalu pergi membuat Daniel, Yosi dan Yedam kompak mengangkat wajah lalu melihat kearah perginya Jeno.
"Lah pergi." Seru Yedam
"Biarin ajalah." Kata Daniel tidak peduli.
Yosi menoleh kearah Daniel, dia menyerngit "lo ada masalah apa sama Jeno? Kenapa sekarang bodo amat padahal dulu kalian saling bergantung."
"Males." Jawab Daniel seadanya, dia meraih bunga yang baru saja jatuh di pahanya lalu memotek satu persatu kelopak bunga itu.
"Lo kesel karena bokap lo nikah sama nyokap Jeno?" Daniel diam, dia melihat depan dengan mata sipit karena silau dari pantulan cahaya matahari sore dengan lintasan skateboard, lalu kembali sibuk pada kelopak bunga. "Harusnya kalau kesel lo keselnya sama bokap atau nyokap baru lo jangan sama Jeno. Kasian Jeno kena imbasnya."
"Dia juga kesel sama gue kan?! Jadi impas."
"Kata siapa? Beberapa hari lalu dia ke kos lo buat numpang tidur kan?! Berati dia masih anggap lo teman."
"Itu namanya bukan menganggap teman tapi memanfaatkan teman." Sarkas Daniel.
Yosi mendengus, Daniel masih tampak tidak peduli. Mereka kompak mengangkat wajah saat Yedam kembali ke lintasan saat temannya memanggil. Belum sempat menunduk, sebelah alis Daniel terangkat saat Jeno datang dengan wajah bingung.
"Ada yang ketinggalan, Jen?" Tanya Yosi.
Jeno memegang saku belakang celan, dia melihat kandong jaket lalu melihat area bawah "kunci ada, HP aman, dompet juga aman." Gumam Jeno lalu pergi membuat Daniel dan Yosi memperhatikan dengan wajah bingung.
"Dia kenapa deh?" Tanya Daniel heran yang tak lama Jeno kembali seperti mencari sesuatu membuat Daniel gatal untuk berkomentar "apa lagi? Mau mungut jejak kaki yang ketinggalan?"
Bagaikan tidak mendengar ledekat Danel, Jeno melihat Yosi. "Kunci gue mana?"
Yosi menatap Jeno bingung "itu, lo jadiin cincin" tunjuk Yosi dengan kepalanya.
Jeno melihat jarinya, dia meringis "oh iya. Haha." Ucapnya tanpa beban.
"Lo kenapa sih? Kalau belum mau cabut ya sini duduk jangan kayak orang idiot!"
Jeno tidak peduli dengan ledekan Daniel, dia segera ke parkiran membuat Daniel kesal karena marahnya tidak di respon. Akhirnya Yosi yang harus menenangkan Daniel agar tidak meledak.
Jeno menancapkan kunci. Dia memeriksa lagi kantongnya, meemriksa HP dan dompet aman di tempatnya. Entah kenapa rasa was-was Jeno semakin menjadi membuat badannya tidak nyaman dan membuat dirinya seperti orang ling-lung.
Jeno duduk di motor, dia meraih helem lalu memakainya. Baru setengah kepala masuk, Jeno melepas kembali helemnya lalu mengecek barangnya sekali lagi. "Aman semua. Kenapa gue ngerasa kayak ada yang tertinggal?"
Jeno kembali memakai helem, belum semua kepalanya masuk, Jeno terlonjak saat ada yang mengagetinya dengan suara keras. Jeno merengut. Dia melepas helemnya lalu menatap orang yang sedang nyengir itu dengan raut kesal. "Apa?" ketusnya.
"Galak amat sama saudara sendiri, buset!"
"Dih mau banget gue akuin saudara?"
Yuna memutar bola mata. Kalau saja dia tidak butuh, dia tidak akan menghampiri Jeno yang tengilnya 11/12 dengan Daniel. "Nebeng dong." Pintanya "Sekarang kita kan saudara jadi gak bakal jadi skandal kencan."
"Gak! Gue mau ke salon." Tolak Jeno mentah-mentah. "Daniel di lintasan, sana minta antar dia."
Yuna berdecak. Dia smirk saat melihat kunci Jeno. "Oh ...
Engga mau nih? Yaudah!" Ucap Yuna memainkan kunci membuat Jeno kesal."Oke! Oke. Naik!"
Yuna melempar kunci yang langsung di tangkap Jeno "nah gitu dong." Ucapnya lalu naik. "Deket apartmen cowok gue ada salon. Tenang. Walau gue nyusahin tapi gue punya solusi."
"Baek-baek, jangan keseringan main ke apartmen cowok."
"Dih, perhatian lo?!"
Jeno tidak menggubris. Dia menancapkan kuci, mengecek barangnya sekali lagi lalu memakai helem dan pergi.
"Semoga cuman firasat kosong." Batin Jeno.
⚠️⚠️⚠️
Dirgantara kembali keruangannya setelah tiga jam rapat karena ada kendala untuk produk baru yang akan launching. Dia lega karena langsung memiliki ide untuk mengatasinya. Terkadang Dirgantara tidak paham dengan dirinya, dia selalu saja memiliki ide gila yang selalu muncul dalam kondisi apapun bukan hanya saat terdesak. Dia harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan dan mengucap terima kasih pada orang tuanya karena mencukupi nutrisi dan pendidikannya.
Dirgantara terlonjak saat membuka pintu mendapati seseorang duduk santai di sofa ruangannya. Dia dengan terang-terangan menunjukkan raut protes saat masuk. "Ada masalah apa yang membuat kamu kesini?"
Orang itu berdiri, dia menghadap Dirgantara yang baru saja duduk di kursi "Jeno kamu hasut apa?"
Dirgantara mengangkat sebelah alis.
"Kamu apakan Jeno sampai dia tidak mau menurut lagi dengan ucapanku? Kamu hasut apa? Kamu sogok apa?"
Dirgantara tertawa, dia menarik jasnya "aku tidak pernah menghasutnya, Jesica! Kalau sekarang dia tidak menurut denganmu jangan salahkan aku. Berkaca dengan apa yang sudah kamu lakukan ke dia."
"Jangan sok suci, Dirgantara. Kamu juga banyak menuntut ini-itu ke Jeno."
"Yang banyak mau dan banyak menuntut kamu, Jesica! Aku hanya memberinya kafe supaya seperti temannya yang bisa membangun kafe. Aku membelikannya mobil supaya semua orang tahu kalau baru berkarir di dunia entertaiment dia langsung memiliki mobil mewah. Atau aku memberinya hadiah pulau agar tidak kalah dengan fans-barnya Jeno yang memberinya 10% saham di K Entertaiment. Hanya itu."
"Itu namanya kamu memanjakan dia! Jeno harus mendapat apa yang dia mau dengan bekerja keras, dengan usahanya sendiri."
Dirgantara tertawa "Hak asuk Jeno jatuh di tanganku, Jesica kalau kamu lupa. Jadi kamu tidak perlu mengaturku bagaimana mendidik Jeno. Aku punya cara sendiri untuk mendidiknya"
Jesica smirk "apa kamu tahu hari ini Jeno bolos sekolah, hm?" Dirgantara diam membuat Jesica tertawa "itu cara mendidik anak yang benar?" Sindir Jesica lalu bersiap pergi "aku kan merebut hak asuh Jeno!"
"Tidak akan bisa!"
Sebelum menutup pintu, Jesica smirk melihat Dirgantara dengan tatapan remeh "lihat saja nanti." Ucapnya lalu menutup pintu membuat Dirgantara melempar sebuah gelas kopi yang tersaji di mejanya.
"ARGGHHH!! Sial!" Dirgantara memandang pintu dengan berapi-api. Dia tidak akan membiarkan Jesica mengambil Jeno darinya. Bagaimanapun juga Jeno harus tetap bersamanya dan menjadi kebanggaannya apapun yang terjadi.
Dirgantara merogoh ponsel yang ada di sakunya, dia menekan beberapa tombol lalu mengirim pesan ke orang kepercayaannya. Dirgantara smirk "kamu salah memilih lawan, Jesica."
⚠️⚠️⚠️
--Kira-kira siapa yang akan menang? Mereka ini sama-sama kuat, sama-sama berkuasa dan memiliki banyak uang maupun orang--
Jeno berhenti saat sampai di depan lobi apartmen. Tanpa kata dia langsung pergi membuat Yuna memandangnnya dengan hati ngedumel tapi tetap tahu diri untuk tidak menjulidi atau menyumpahi Jeno karena sudah mengantarnya ke apartmen kekasihnya."Sial! Gue lupa kasih tahu Jeno jangan bilang ke Daniel." Monolog Yuna lalu merogoh ponsel untuk mengirim pesan ke Jeno agar tidak melapor ke Daniel, kembarannya.Yuna masuk dengan riang. Dia segera masuk lift lalu menekan tombol untuk membawanya ke lantai 20 di mana apartmen kekasihnya berada. Sebenarnya itu apartmen milik Yuna, dia membelinya dari uang jajan yang di tabung selama kurang lebih sebulan.Yuna berikan pada kekasihnya karena tidak tega dengan kekasinya yang tinggal di kosan kecil. Bukan di berikan secara cuma-cuma tapi hanya untuk di tempati. Apartmen itu tetap atas nama Yuna Mananta.Di dalam lift sudah ada pasangan muda-mudi yang kira-kira beru
Juwi pusing. Matanya terasa juling saat melihat banyaknya pakaian, aksesoris, sepatu, tas dan lain sebagainya yang menunjuang penampilan, mengelilinginya. Rasanya mual saat melihat sepatu atau tas dengan model dan merek sama hanya beda warna berjejer rapih di lemari penyimpanan. Atau saat jam dan kaca mata berjejer rapih di dalam estalase. Atau pakaian yang di susun rapi berdasarkan warna dan penggunaan.Juwi terkekeh dalam hati, mengumpati dirinya 'anak kampung' karena hanya melihat pakaian dan aksesoris dirinya pusing dan mual.Miss Dara mengajak Juwi ke Dara's colection untuk praktik secara langsung. Miss Dara akan melihat selera fashion Juwi lalu memberi tahu atau mengoreksinya saat mix and match Juwi tidak cocok atau bertabrakan dengan selera fashion Dirgantara.Miss Dara mengajak Juwi duduk di sofa yang ada di depan fitting room, dia menjelaskan banyak hal. Mengulang pembelajaran saat di rumah agar
Yuna duduk di atas kasur sambil memeluk kakinya yang tertekuk. Dia memejamkan mata sambil mengepalkan tangan kuat-kuat sampai bisa merasakan kukunya menancap di telapak tangan dengan hati bergemuruh tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.Hembusan nafas berat berkali-kali berhembus dari hidung Yuna. Kepalanya tiba-tiba pening yang tak lama bahunya bergetar sambil menoleh pada Jonathan yang sedang tidur di sampingnya dengan badan polos yang hanya tertutup selimut hitam tebal.Yuna terisak, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanan meremat selimut yang menutup badan polosnya. Yuna benar-benar menyesal. Dia ingin memutar waktu. Andai saja tadi bisa menahan diri. Andai saja tadi tidak terbawa suasana, andai saja saat Jonathan menawarkan untuk berhenti dia menurut. Andai saja dia tidak kabur dari Daniel. Andai saja ... arghh kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"Sa
Yuna melangkah lebih dulu memasuki rumah. Nuansa Eropa klasik langsung terasa saat permainan piano dengan melodi lembut terdengar di seluruh penjuru ruang, yang berati ayahnya di rumah. Karena Mananta tidak suka kesepian. Bukan berati suka keributan. Lebih tepatnya suka musik yang menenangkan.Sedangkan Daniel memarkir motor di garasi hidrolik yang ada di bawah tanah.Seorang maid menghampiri Yuna, dia sedikit mendenguskan hidung membuat Yuna mengambil jarak. "Memang sebau itu?" Batin Yuna sambil membau dirinya sendiri."Nona, sudah di tunggu tuan dan nyonya di meja makan." Ucap maid memberi tahu dengan sopan.Yuna memanjangkan wajah ke arah ruangan yang terhalang akurium api besar sebagai pembatas ruangan. Dia melihat ke arah meja makan yang sudah ada ayahnya dan Jesica, dengan tatapan tak terbaca. Apalagi saat melihat mereka mengbrol sambi sesekali tertawa dan bermesraan. "Mau mandi. Suruh mereka makan duluan. Gue mandinya lama!"
Jeno segera menerobos masuk saat gerbang di buka. Dia tidak peduli dengan keributan yang ada di belakangnya karena orang-orang merasa tidak adil dirinya bisa masuk sedangkan yang lain langsung di dorong dan di halangi. Atau multifans yang selain mengidolakan Yama, mengidolakannya juga mengambil foto atau videonya untuk di share ke sosial media yang akhirnya viral.Saat ini yang ada di fikiran Jeno hanya ingin melihat Mika untuk terakhir kalinya. Berharap Mika hanya tertidur, berharap saat dirinya datang Mika bangun."Mika!" Seru Jeno segera ke peti Mika yang masih terbuka membuat pasangan suami istri yang Jeno kenal dari foto yang kerap kali Mika ceritakan dulu, melihat kearahnya.Hati Jeno seketika terjun bebas saat melihat gadis pujannya terbujur kaku dengan sekujur tubuh putih pucat. Batin Jeno rasanya seperti di remat saat melihat Mika memejamkan mata tanpa bernafas. "Astaga, Tuhan." Lenguh Jeno dengan hati teriris. Siapa saja yang mendengar leng
Yuna memejamkan mata, menyamankan posisi di pelukan Jesica lalu membuka mata dengan nafas yang mulai panas. Hatinya menghangat membuat matanya perih dan memerah. Yuna mengepalkan tangan. Jujur dia tidak benci dengan Jesica, dia hanya belum siap menerima kehadirannya karena wanita itu datang saat Yuna maupun Daniel masih belum merelakan kepergian bunda mereka.Juga kesal karena sejak kedatangan Jesica, keadaan rumah mulai berubah. Daniel jadi jarang pulang. Dia sering kali memilih untuk tinggal di kos membuat Yuna kesepian karena tidak ada teman bertengkar.Papahnya jadi sering keluar kota atau keluar negeri karena mengantikan pekerjaan Jesica agar wanita itu tetap stay di Jakarta, bekerja di Jakarta dan lebih banyak di rumah jadi lebih fokus mendidik anak. Tapi didikan Jesica sama sekali tidak di terima Yuna maupun Daniel.Didikan Jesica sangat keras. Yuna di paksa mengasah keahlian yang sama sekali tidak dia suka
Jeno merasakan kepalanya pening, mulutnya pahit, badannya lemas, perutnya kosong. Dia bangun saat merasa perutnya berat. Jeno melenguh kecil, menoleh kesamping tepat saat napas halus menepa wajahnya. "Mommy?" lirih Jeno tanpa suara karena suaranya serak jadi saat melirih suaranya tidak keluar.Hati Jeno jadi menghangat saat melihat Jesica tidur sambil memeluknya.Cowok berambut blonde itu tersenyum lalu mengeratkan pelukan. Rasanya sudah lama Jeno tidak merasakan pelukan Jesica. Terkahir kapan ya? Kayaknya waktu SD. Saat Mika memergokinnya masih manja-manja yang membuat Jeno jadi tidak enak karena Mika tinggal di Indonesia hanya bersama Yama.Astaga, Mika. Jeno baru ingat."Awhhh ..." Jeno melenguh kesakitan sambil memejamkan mata, reflek tangannya memegang kepala saat kepalanya sangat berat dan pusing. Hanya bergerak sedikit sakit langsung menyerang membuat Jeno kembali tidur ke posisi semula.
Juwi menganggukan kepala saat Chef Aron mengajarinya merajang bawang merah agar mata tidak perih. Kini mereka ada di bagian samping restoran tepat area training berada yang langsung berhadapan dengan air mancur yang jatuh ke kolam renang membuat orang yang melihatnya jadi relaxs.Banyak peserta training yang sedang belajar bersama Chef pribadi atau satu Chef untuk satu kelompok membuat Juwi merasa tidak sendirian.Miss Dara ada di sofa ruang tunggu. Dia sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang di lakukan, Juwi selalu merasa penasaran tapi tidak berani bertanya. Mungkin menyiapkan materi selanjutnya. Juwi selalu berfikiran positif pada siapa saja."Paham ya, Juwita? Sekarang kamu coba."Juwi mengambil pisaunya, dia memegang bawang sepeeti yang di ajarkan Chef Aron lalu merajang bawang merah sesuai yang telah di ajarkan. Awalnya Juwi merasa sama saja seperti saat dia merajang asal-asalan tapi saat berjalan beb