Lagu Way Back Home milik Shaun mengalun indah di kafe prince menemani pengunjung yang datang malam ini. Jeno bernyanyi sambil bermain gitar milik Yedam di panggung mini tengah kafe menghibur pengunjung yang datang . Lebih tepatnya mengajak galau bersama.
Tepuk tangan terdengar saat Jeno menyelesaikan lagu dengan akhiran yang menyayat hati. Jeno mengucap terima kasih pada penonton lalu turun menuju meja depan barista menghampiri Yedam dan Yosi (kakak Yedam) yang menjadi operator i*******m live.
"Galau lo makin parah, Jen." Yosi meledek.
Jeno yang baru selesai minum apple tea mengusap mulutnya dengan punggung tangan. "Mau gila aja rasanya." Ucapnya menyandarkan punggung di meja barista membelakangi barista. "Masa bokap gue--"
"Bentar!" Potong Yedam menjeda. "Gue pindah dulu tripot sama Hpnya, nanti penonton live music pada denger." Ucap Yedam sambil melakukan. Yedam memindah tripot ke dekat drum yang tidak di gunakan lalu mengzoom out agar pengunjung yang bernanyi di atas panggung masuk ke layar.
Setelah melakukan kegiatannya Yedam mendekat "gimana ... gimaana?"
"Dahlah. Gak mood." Jeno berdiri membuat Yedam dan Yosi kompak kecewa tapi tidak memaksa untuk bercerita karena itu hak Jeno. "Gue cabut deh."
"Kemana? Balik?"
Jeno menata Jaket lalu mengenakannya "Kos Daniel. Males pulang."
"Cocok. Sama-sama anak pengusaha tapi suka ngegembel. Baik-baik deh. Sekarang saudaraan kan?!"
"Bacot, Yos." Ucap Jeno lalu pergi saat jaketnya sudah terpasang sempurna.
"Hati-hati, Jen!" Peringat Yedam.
"Yoi!"
⚠️⚠️⚠️
Juwi mengerjab-ngejabkan kelopak mata. Dia melipat bibir dengan perasaan was-was. Sepertinya malam ini dia tidak akan bisa tidur dengan tenang karena saat menutup mata dia selalu merasa seperti di perhatikan dan di awasi.
"Kenapa belum tidur, Juwi?"
Juwi duduk saat Dirgantara yang baru selesai berkutat dengan laptop naik ke atas kasur. Dia mengambil jarak, diam-diam sudah mengatur letak guling di bawah selimut untuk memberi batasan dirinya dengan Dirgantara. Sayagnya Dirgantara mengambil guling itu lalu di letakkan di bawah sebagai penyangga kaki.
"Tidur, Juwi! Besok kamu mulai training. Saya sudah mencarikan guru terbaik. Kamu harus belajar pendidikan, manners, fashion, make-up, model, bisnis dan lain sebagainya agar pantas bersanding dengan saya."
Juwi mengangguk lemah, dia melihat Dirgantara yang sudah mulai memejamkan mata "aku--aku tidak nyaman kalau harus tidur bersama. Boleh aku tidur di sofa luar saja?"
"Tidak. Kamu harus terbiasa karena setelah menikah kita akan tidur bersama."
"Baiklah." Jawab Juwi lalu menidurkan diri. Dia menoleh melihat Dirgantara yang sudah tidur. Sepertinya Dirgantara lelah karena perjalanan ke desanya cukup jauh dan Dirgantara harus menyetir pulang-pergi.
Juwi melega. Kali ini dia lolos lagi.
⚠️⚠️⚠️
Juwi terbangun saat sesuatu yang berat menimpa perutnya. Dia segera menyingkirkan tangan Dirgantara yang memeluk perutnya lalu turun dari kasur karena sudah fajar. Juwi fikir kejadian kemarin hanya mimpi, ternyata nyata.
Juwi berjalan kearah korden setinggi dinding rumah. Dia menyibak korden yang langsung paham letak jendela ini di bangunan terpisah menjulang yang di lihatnya waktu sampai kemarin.
Kepala juwi terangkat, lalu melihat tengah kemudian melihat bawah "bagaimana cara bukanya?" Gumam Juwi karena tidak ada handel pintu atau kunci yang menahan pintu agar tidak bisa terbuka.
Badan Juwi terlonjak lalu dia mundur saat pintu tiba-tiba bergeser sendiri. Dia jadi was-was kalau pintu itu rusak padahal belum menyentuhnya sama sekali.
"Kalau mau buka pintu atau jendela yang tidak ada handelnya kamu bisa pake remot kontrol, Juwi."
Juwi balik badan, dia melihat Dirgantara yang memegang remot dengan wajah cengo. Sejak kapan dia bangun?, fikirnya.
Dirgantara turun, dia menghampiri Juwi. "Dinding yang ada di sisi barat bisa terbuka." Dirgantara menekan tombol yang tanpa menunggu lama dinding itu terbelah menjadi dua, bergeser seperti jendela geser.
Betapa terkejutnya Juwi saat melihat kecanggihan teknologi yang baru dilihat seumur hidupnya.
Dirgantara memberikan remot kontrol ke Juwi yang di terima Juwi dengan ragu. "Jelajahi kecanggihan rumah ini sendiri karena saya harus bekerja." Kata Dirgantara lalu menuju kamar mandi.
Juwi menghembuskan nafas lega. Jujur setiap di dekat Dirgantara dia merasa tidak nyaman, seperti terintimidasi. Makannya saat Dirgantara pergi Juwi selalu merasa lega seperti terbebas dari kurungan.
Juwi menekan tombol yang di tekan Dirgantara, secara otomatis dinding kembali tertutup. "Wah keren." Gumam Juwi kagum. Juwi menekan simbol lampu, dia melihat sekitar. "Apa tidak berkerja kalau aku yang menggunakan?" Gumam Juwi karena tidak melihat perubahan apapun.
Juwi menyerngit saat melihat simbol atap. "Kalau di tekan apa yang terjadi?" Juwi mencoba menekannya, yang detik itu atap kamar terbuka membuat Juwi jongkok sambil reflek memegang kepala karena takut rusak atau menimpanya. "Wahh. Daebak." Kagum Juwi mendongak masih dengan posisi jongkok.
Tanpa sengaja tangan Juwi menekan simbol atap itu lagi yang detik berikutnya sebuah plafond dari kaca datang dari empat sisi menutupi bagian atas rumah. "Gila ... gila! Gila. Kalau hujan bisa melihat tetesan hujan tanpa harus hujan-hujanan."
Pintu kamar mandi terbuka. Sosok Dirgantara muncul dengan kimono handuk membuat Juwi segera lari ke balkon. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang karena kaget, takut juga malu. Walau biasanya ayahnya bertelanjang dada di rumah Juwi akan bersikap biasa saja, tapi tidak dengan Dirgantara karena dia orang asing.
"Juwi?"
"Ya?"
"Oh saya kira kamu keluar."
Juwi mengumpat dalam hati. Jantungnya hampir lepas ternyata Dirgantara memanggil hanya untuk memastikan.
Sambil menunggu Dirgantara selesai berganti baju, Juwi menghadap balkon. Dia menghirup udara pagi dalam-dalam lalu menghembuskan pelan. Kalau saja HPnya tidak rusak, Juwi akan memfoto pemandangan indah di depannya dan mengunggahnya ke sosial media untuk pamer ke Sari.
Ngomong-ngomong soal Sari, Juwi jadi penasaran bagaimana keadaan desa saat dia pergi. Apa akan geger atau malah tidak ada yang tahu?
Juwi menopang dagu, matanya menyipit saat sebuah motor sport baru saja masuk saat gerbang terbuka otomatis. Motor itu berhenti di parkiran yang di parkir sembarang. Tak lama pengemudi turun sambil melepas helem. "Oh, Jeno." Gumam Juwi mengetahui siapa pemotor itu.
Jeno berjalan menuju balkon kamarnya, merasa ada yang memperhatikan dia mengangkat wajah yang langsung bertatap dengan Juwi membuat Juwi salah tingkah karena tertangkap basah memperhatikan.
Juwi melipat rambut, dia membelakangi balkon sambil bergerak-gerak tidak jelas yang tak lama terlonjak karena Jeno masuk kamar dengan membanting pintu.
"Juwi."
"YA!?" kaget Juwi memekik membuat Dirgantara menatapnya bingung. Tidak ambil pusing, Dirgantara menyampaikan tujuannya menghampiri Juwi. "Saya lupa memberi tahu. Kamu jangan pernah masuk ke kamar yang ada di ujung dekat jendela panjang belakang."
Juwi mengangguk paham. Memangnya siapa yang ingin masuk kesana?
"Cuman itu larangannya. Sekarang saya berangkat."
Juwi mengangguk.
"Oh satu lagi." Dirgantara kembali "saya sudah menyiapkan cash di nakas paling atas. Gunakan untuk keperluanmu. Terserah untuk belanja, ke salon atau kamu sumbangkan."
"Terima kasih."
Dirgantara mengangguk lalu pergi.
Juwi menghembuskan nafas lega. Dia kembali menghadap balkon untuk menikmati cahaya matahari yang mulai mengintip. Kepala Juwi tertoleh lalu menyerngit saat melihat Jeno baru saja masuk rumah sebelah melalui jendela.
"Apa yang Jeno lakukan? Rumah siapa itu?"
⚠️⚠️⚠️
"Kita enggak jadi break?"Yuna yang baru keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dari sisa pergulatan panasnya dengan Jonathan berjalan kearah bajunya yang tergeletak di bawah tempat tidur.Dengan santainya cewek berambut panjang lurus itu membuka kimono handuknya lalu membungkuk memungut bra. "Eung ... enggak. Kayaknya aku bisa jalani keduanya."Jonathan yang duduk bersandar pada kepala kasur dengan tubuh bagian atas yang di biarkan terkespos mengangguk. "Bagus deh. Jadi aku enggak perlu nahan-nahan kalau kangen.""Nahan apa?""Nahan kangen, sayang!"Yuna mengangguk saja. Kini dia memakai CD lalu mengambil seragam sekolahnya. Sebelum memakainya, Yuna melihat kearah Jonathan. "Kak ..." panggil Yuna membuat Jonathan yang akan mengambil ponsel di nakas untuk cek email, menoleh. "Boleh sekali lagi enggak?""Apanya?" Goda Jonathan pura-pura tidak paham."Itu!" Yun meletakkan seragamnya lalu kembali membuka CD
"Udah sampai. Turun!"Daniel turun dari motor saat Jeje menghentikan motor di depan rumah sederhana yang sampingnya langsung terhubung dengan toko yang tutup karena tidak ada yang jaga karena ibu Jeje menunggui eyang sakit.Kepala Daniel terdongak ke atas saat melihat pohon anggur merambat dari tiang ke atas mengikuti kerangka membentuk payon membuat sekitarnya jadi adem juga sejuk. "Keren banget. Mendiang nyokap gue dulu pernah mau buat kayak gitu tapi gagal terus padahal udah datengin ahli taman."Jeje yang baru melepas helem menoleh. "Itu udah lama. Sebelum gue lahir kayaknya." Ucap Jeje mengajak Daniel ke teras rumahnya. "Bagus, ya? Tapi enggak pernah berbuah."Daniel menyerngit. "Kenapa?"Jeje mengedikkan bahu sambil mencari kunci rumah yang ada di bawah pot. "Mana gue tahu." Jawabnya lalu kearah pintu saat menemukan kunci rumah. "Walau enggak berbuah setidaknya masih bermanfaat buat adem-ademan rumah."Daniel mengangguk set
"Arghh ... akhirnya sampai rumah." Lenguh Jeno sambil mematikan mesin motor. Cowok tampan itu melangkahi motornya untuk turun lalu melepas helem kemudian meletakkan di gantungan khusus agar helemnya terangin-angin. Jeno berjalan masuk rumah melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan pantri. Melihat ada kue cubit di atas piring, Jeno mendekat. "Wah enak kayaknya." Ucap Jeno saat melihat coklat yang lumer. Tanpa cuci tangan, cowok tampan itu mencubit kue lalu di masukkan ke mulut dalam sekali hap membuat mulutnya mengembang penuh, kemudian berlalu. Jeno memanjangkan kepala, cowoka tampan yang hendak naik tangga itu mengurungkan niatnya saat mendengar gonggongan anjing-anjing kecilnya membuat Jeno mendekat dengan riang. Jeno tersenyum saat Leon menyambutnya. Cowok tampan itu melepas tasnya lalu meletakkan tasnya sembarang di luar kandang. Jeno mengulas puncak kepala Leon dengan telunjuk "Hei, si ganteng." Sapanya membuat Leon
"Hai, kak."Jonathan tersenyum simpul, reflek memanjangkan kepala melihat ke luar jendela saat taxi yang di tumpanginya bergerak karena traffic light sudah berubah hijau. "Daniel motornya baru?" Ucap Jonathan entah bertanya atau menyindir.Yuna reflek menoleh saat Yosi belok ke pertigaan sedangkan taxi yang di tumpanginya lurus. "Itu Yosi, kak.""Yosi?"Yuna mengangguk, cewek berambut lurus panjang itu melepas helem lalu merapat ke Jonathan. "Jangan salah paham dulu. Aku cuman nebeng dia ke tempat bimbel." Bujuk Yuna meletakkan helem di pangkuan.Jonathan mengangguk-angguk, sebenarnya dia tidak mempermasalahkan. Malahan awalnya mengira kalau itu bukan Daniel, Jeno. Cowok berusia dua puluh lima tahun itu yang tadi melamun melihat keluar jendela tersenyum saat Yuna menjadi objek lamunannya. Jonathan memperhatikan Yuna karena rindu pada kekasihnya."Enggak jadi berangkat bimbel?""Jadi ..." jawab Yuna. Cewek berambut lu
"Juwita kabur.""Kabur gimana?"Sekembalinya dari area kolam renang samping rumah, Miss Dara duduk di sofa. Wanita itu meraih kopi yang maid siapkan saat dirinya datang tadi dengan sebelah tangan memegang ponsel melapor pada Dirgantara. "Dia enggak ada di rumah. Tiba-tiba ilang.""Ngaco! Mana mungkin, Dara! Dia enggak tahu Jakarta."Miss Dara menyesep kopinya. "Aku enggak bohong, Dirga. Juwita enggak ada di kamarnya. Maid udah cari keliling rumah sampai garasi, taman, depan gerbang. Enggak ada!""Pas gue tinggal anaknya masih, kok.""Iya, waktu maid panggil juga masih. Tapi enggak tahu tiba-tiba ilang.""Ck! Gue lagi di luar kota."Miss Dara meraih tasnya yang ada di meja untuk mencari TWS agar mudah melakukan aktivitas lain. "Terus gimana?" Tanya Miss Dara kini memasang TWS lalu meraih ipad untuk melihat calon model yang tidak bisa di urusnya penuh karena harus mengajar Juwi malah Juwi-nya menghilang.Dirgantara m
"Ice Americano ... sama toast tuna.""Hanya itu, kak?"Jonathan melihat etalase yang penuh cake, ice cream, susi dan berbagai macam makanan ringan lain yang tersusun rapi di dalam. "Hanya itu." Putus Jonathan karena dia harus menjaga berat badan."Pembayaran case atau pakai kartu?""Case.""Total dua ratus sepuluh ribu ya, kak."Jonathan mengeluarkan dompet lalu mengambil uang pas untuk di berikan pada kasair. Setelah mendapat struk pembelian Jonathan menerima nampan berisi pesanannya. "Terima kasih." Ucap Jonathan lalu ke meja singel yang ada di dekat jendela.Cowok berusia 25 tahun itu melepas sedotan dari pembungkus plastik lalu menancapkan ke ice Americanonya. Jonathan melihat area luar sambil menyesep kopinya. Atensinya melihat lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang melewati kafe.Jonathan mengerjab saat sebuah mobil mewah berhenti di depan kafe tempatnya berada yang tak lama beberapa pejalan kaki mendekat