Juwi pusing. Matanya terasa juling saat melihat banyaknya pakaian, aksesoris, sepatu, tas dan lain sebagainya yang menunjuang penampilan, mengelilinginya. Rasanya mual saat melihat sepatu atau tas dengan model dan merek sama hanya beda warna berjejer rapih di lemari penyimpanan. Atau saat jam dan kaca mata berjejer rapih di dalam estalase. Atau pakaian yang di susun rapi berdasarkan warna dan penggunaan.
Juwi terkekeh dalam hati, mengumpati dirinya 'anak kampung' karena hanya melihat pakaian dan aksesoris dirinya pusing dan mual.
Miss Dara mengajak Juwi ke Dara's colection untuk praktik secara langsung. Miss Dara akan melihat selera fashion Juwi lalu memberi tahu atau mengoreksinya saat mix and match Juwi tidak cocok atau bertabrakan dengan selera fashion Dirgantara.
Miss Dara mengajak Juwi duduk di sofa yang ada di depan fitting room, dia menjelaskan banyak hal. Mengulang pembelajaran saat di rumah agar ingatan Juwi ter-recall. "Ingat ya, Juwita. Warna dasar, warna yang paling dasar atau warna aman saat kamu bingung atau merasa tidak punya baju. Kamu bisa menggunakan warna hitam atau putih. Hitam kamu hajar dengan warna hijau daun, cocok-cocock saja. Atau putih kampu campur dengan warna lilac jadinya cantik dan soft."
Juwi mengangguk paham.
"Sekarang kamu cari pakaian mana yang kamu suka dari atas sampai bawah, juga asesoris penunjang penampilan. Saya ingin melihat selera fashion kamu. Nanti akan saya cocokan dengan selera fashion Dirga agar selaras."
Juwi menggaruk rambut, dia melihat Miss Dara dengan tatapan ragu. "Tapi, Miss. Sayang bajunya kalau saya coba."
Miss Dara tertawa "tidak apa. Semua baju yang kamu mau, yang kamu coba, Dirgantara yang tanggung. Jangan malu-malu pilih saja yang kamu mau."
"Justru itu yang membuat sayang dan tidak enak, miss."
Miss Dara berdiri, dia meraih tangan Juwi agar berdiri lalu mendorong badannya pelan. "Jangan pikirkan papun soal biaya, tidak enak atau sayang. Kamu kan calon istrinya Dirgantara?!" Goda Miss Dara membuat Juwi tersenyum paksa "cepat laksanakan challenge agar kita bisa ke pelajaran selanjutnya!" Titah Miss Dara tidak menerima penolakan. Miss Dara mengepalkan tangan mengangkatnya tinggi. "Semangat, Juwita."
Juwi tersenyum kaku. Dia segera masuk ke area pakaian di iringi senyum Miss Dara yang tidak luntur.
Juwi menggaruk rambut. Dia melihat sekitar sambil menyentuh pakaian-pakaian yang di lewatinya. Sejauh ini belum ada pakaian yang menarik perhatian. Semuanya cantik, semuanya bagus tapi Juwi merasa kurang nyaman kalau seandainya mengenakan pakaian itu.
Juwi menyingkir saat ada pengunjung yang melewatinya, dia juga tersenyum kaku pada pramuniaga yang mengikuti pengunjung tadi hingga seorang pramuniaga menghampirinya. "Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya dengan ramah.
Juwi merapatkan bibir. "Enggak ada." Jawabnya lalu pergi. Juwi kearah pakaian kasual yang ada di deretan ujung kiri. Baru beberapa langkah berjalan Juwi melirik, ternyata pramuniaga itu masih mengikutinya. Juwi mendengus pelan, membiarkan saja karena mungkin itu salah satu tugasnya, fikir Juwi.
Juwi berhenti pada deretan rompi v neck. Bibirnya tersenyum "wah ini rompi yang lagi viral itu ya." Gumamnya mengingat pernah ingin mengikuti fashion yang sedang viral tapi urung membeli karena ongkir ke desanya mahal. Juga uangnya yang belum terkumpul karena hanya mengandalkan nabung dari uang jajan.
Pramuniaga mengangguk sambil menjelaskan banyak hal mulai dari bahan, kualitas, designer, penggunaaan, mix and match dan lain sebagainya sampai warna yang cocok untuk Juwi.
Juwi mengangguk paham, dia mengambil satu rompi v neck berwarna coklat gelap lalu beralih ke bagian dress karena saat melewati bagian dress sempat ada dress yang menarik perhatian tapi kurang begitu yakin untuk memilihnya.
Juwi menyentuh dress pantai dengan gambar bunga matahari lalu menempelkan pada rompi V necknya. Bibirnya tersenyum saat merasa mix and match itu bagus.
"Saran saya kalau mau pakai dress, kakak bisa mix dengan tunik rajut. Tapi kalau kakak nyaman dengan mix and match seperti itu, tidak apa. Karena kenyamanan paling utama. Percuma mix and matchnya masuk tapi tidak sesuai di hati, yang ada tetap tidak nyaman dan membuat hati tidak puas. Betul kakak?" Ucap pramuniaga berkomentar jenaka.
Juwi mengangguk setuju "betul kakak." Ucapnya meniru nada pramuniaga membuat pramuniaga terkekeh. Juwi mengambil dress bunga matahari itu yang secara naluri peamuniaga mengambilkan tas transparan untuk wadah pakaian Juwi lalu mengambil alih belanjaan Juwi untuk di bawakannya.
Kini Juwi ke arah aksesoris, dia menuju rak sepatu lebih dulu. Tujuan pertamanya langsung pada pantofel warna coklat dan kaos kaki warna kuning. Setelah itu mengambil tas slempang warna kuning dan kalung cantik berbandul bunga matahari sebagai detail yang manis.
"Wah selera fashion kakak unik sekali. Kenapa bunga matahari?" Tanya pramuniaga sambil menopang pipi.
Juwi mengedikkan bahu. "Lagi kepengen."
Pramuniaga terkekeh sambil menampar pundak Juwi pelan. "Saya kira ada sejarahnya. Ternyata hanya asal pilih. Padahal ya, kak. Bunga matahari itu lambang kesetiaan dan kepatuhan karena bunga matahari mengikuti kemanapun arah matahari bergulir. Betul tidak?"
"Betul." Jawab Juwi mengangguk. "Sekarang memang asal pilih tapi siapa tahu suatu saat bisa menjadikan bunga matahari sebagai inspirasi."
Pramuniaga tertawa "aww! Sweet. Manis." Ucapnya centil membuat Juwi segera pergi dari pada malu dengan pengunjung lain.
Merasa yang di butuhkan sudah semua, Juwi kembali menghampiri Miss Dara yang sudah menungguhnya sambil memainkan ipad di sofa depan fitting room.
"Langsung ganti, Juwita." Titah Miss Dara yang di angguki juwi.
Juwi masuk ke fitting room di ikuti pramuniaga yang meletakkan belanjaannya di stand hanger lalu pamit untuk keluar. Mempersilahkan Juwi untuk berganti dan memberinya privasi.
Tanpa menunggu waktu lama, Juwi segera menganti pakaiannya. Dia melepas kaos lengan panjang hitamnya lalu memakai dress pantai dengan hati-hati karena bahanya lembut dan terkesan mudah sobek. Setelah itu memakai rompi v neck, pantofel kemudian tas dan mengeluarkan kalung yang sudah di pakainya sejak awal.
Bercemin sekali lagi dan memastikan penampilannya sempurna, Juwi segera keluar. "Bagaimana, Miss Dara?"
Miss Dara mengangkat wajah. Dia berdiri lalu mengerjabkan mata berkali-kali. "Baru kali ini saya melihat rompi v neck di mix dengan dress pantai." Komentar Miss Dara berjalan mengelilingi Juwi sambil merapikan beberapa bagian yang terlipat. "Overall saya suka selera fashion kamu, Juwita. Perpaduan warnannya bagus. Kamu juga punya badan porposional jadi terlihat bagus-bagus saja memakai mix and match seperti itu malahan bisa jadi inspirasi untuk fashion di masa depan." Puji Miss Dara membuat Juwi tersenyum malu.
"Sayangnya style seperti ini tidak cocok dengan style Dirgantara. Style Dirgantara lebih ke formal santai. Kalau kamu suka dress-dress seperti ini kamu bisa pakai dress tali, dalamannya pakai kemeja atau luaranya pakai blazer. Atau hanya blazer tanpa dalaman kalau kamu pede. Atau overall yang dalamannya kemeja atau kaos berkerah."
Juwi mencuatkan bibir, dia melihat dressnya sambil menghembuskan nafas berat. Padahal dia suka sekali style seperti ini. Santai dan teen. Cocok dengan dirinya yang memang masih remaja. Tapi apa boleh buat. Hidupnya sudah di atur.
"Kalau kamu mau itu, ambil saja Juwita. Kamu juga berhak memakai apa yang kamu mau. Hanya saja jangan pakai waktu pergi bersama Dirgantara. Kamu bisa memakainya saat hangout atau pergi bersama Jeno. Don't be sad."
Wajah Juwi seketika kembali cerah. "Terima kasih, Miss Dara."
Miss Dara mengangguk. "Sekarang ayo kita pulang. Saya sudah mengirim beberapa style yang cocok untuk kamu ke Dirgantara. Setelah acc, semua pakaian akan di kirim."
Juwi mengangguk. Dia mengikuti pramuniaga ke kasir untuk menotal semua pakaian yang di kenakan untuk di kirim ke Dirgantara.
***
Setelah menurunkan Yuna di lobi apartmen, Jeno segera ke salon yang ada di dekat gedung apartmen kekasih Yuna. Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke salon karena ada di perempatan jalan dekat restoran Korea.
Jeno memberikan kunci motornya pata petugas valet lalu segera masuk yang langsung di sambut dinginnya ruangan yang membuat badannya terasa sejuk dan penjaga pintu yang mengarahkannya ke meja resepsionis.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya petugas resepsionis dengan ramah.
"Ganti warna rambut." Jawab Jeno singkat.
"Apa sudah buat janji?"
"Belum."
"Baiklah, saya akan buatkan janji dengan hairdresser. Mohon tunggu sebentar ya, kak."
Jeno mengangguk. Secara naluriah manusia yang datang ke tempat baru, kepala Jeno bergerak melihat sekeliling sambil melipat bibir. Mata Jeno menyipit saat melihat foto tidak asing terpajang di galeri dinding bersama foto lain.
Jeno berdiri, dia mendekat ke arah galeri dinding sambil melipat tangan di depan dada. "Ternyata salon ini punya mommy?!" Gumam Jeno saat melihat foto Jesica berada di deretan paling atas.
Entah sejak kapan salon ini ada, Jeno tidak pernah tahu betul dan tidak begitu peduli dengan bisnis dan pekerjaan kedua orang tuanya karena dulu terlalu sibuk dengan tekanan dan tututan kesempurnaan dari kedua orang tuanya hingga akhirnya berani berontak saat kedua orang tuanya berpisah.
Jeno melihat foto-foto lain. Ada banyak artis, solois dan selebritis yang pernah datang ke salon ini, juga istri dan anak pejabat. Banyak sertifikat yang terpajang juga foto-foto karyawan beserta jabatannya.
Puas melihat foto-foto secara acak di galeri dinding, perhatian Jeno teralih saat melihat ke layar Tv. Dia mengerutkan dahi saat layar Tv menampilkan wajah reporter yang di belakangnya terdapat banyak orang. Mata Jeno semakin membulat saat membaca highlight berita.
'Solois Yamaha Thomson dan adiknya mengalami kecelakaan tunggal di jurang Jambean.'
"Astaga."
Jeno segera lari keluar saat resepsionis memanggilnya. Membuat resepsonis yang di abaikan hanya bisa menatap punggung Jeno dengan bingung.
Jeno segera memberikan kuncinya pada petugas valet. Dia menunggu motornya datang dengan hati yang sama sekali tidak tenang, terus gelisah, panik dan was-was sampai sekujur tubuh Jeno terasa dingin. Jadi ini jawaban dari firasat buruknya sejak tadi siang?
"Astaga, Mika. Semoga kamu selamat."
***
Yuna duduk di atas kasur sambil memeluk kakinya yang tertekuk. Dia memejamkan mata sambil mengepalkan tangan kuat-kuat sampai bisa merasakan kukunya menancap di telapak tangan dengan hati bergemuruh tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.Hembusan nafas berat berkali-kali berhembus dari hidung Yuna. Kepalanya tiba-tiba pening yang tak lama bahunya bergetar sambil menoleh pada Jonathan yang sedang tidur di sampingnya dengan badan polos yang hanya tertutup selimut hitam tebal.Yuna terisak, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanan meremat selimut yang menutup badan polosnya. Yuna benar-benar menyesal. Dia ingin memutar waktu. Andai saja tadi bisa menahan diri. Andai saja tadi tidak terbawa suasana, andai saja saat Jonathan menawarkan untuk berhenti dia menurut. Andai saja dia tidak kabur dari Daniel. Andai saja ... arghh kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"Sa
Yuna melangkah lebih dulu memasuki rumah. Nuansa Eropa klasik langsung terasa saat permainan piano dengan melodi lembut terdengar di seluruh penjuru ruang, yang berati ayahnya di rumah. Karena Mananta tidak suka kesepian. Bukan berati suka keributan. Lebih tepatnya suka musik yang menenangkan.Sedangkan Daniel memarkir motor di garasi hidrolik yang ada di bawah tanah.Seorang maid menghampiri Yuna, dia sedikit mendenguskan hidung membuat Yuna mengambil jarak. "Memang sebau itu?" Batin Yuna sambil membau dirinya sendiri."Nona, sudah di tunggu tuan dan nyonya di meja makan." Ucap maid memberi tahu dengan sopan.Yuna memanjangkan wajah ke arah ruangan yang terhalang akurium api besar sebagai pembatas ruangan. Dia melihat ke arah meja makan yang sudah ada ayahnya dan Jesica, dengan tatapan tak terbaca. Apalagi saat melihat mereka mengbrol sambi sesekali tertawa dan bermesraan. "Mau mandi. Suruh mereka makan duluan. Gue mandinya lama!"
Jeno segera menerobos masuk saat gerbang di buka. Dia tidak peduli dengan keributan yang ada di belakangnya karena orang-orang merasa tidak adil dirinya bisa masuk sedangkan yang lain langsung di dorong dan di halangi. Atau multifans yang selain mengidolakan Yama, mengidolakannya juga mengambil foto atau videonya untuk di share ke sosial media yang akhirnya viral.Saat ini yang ada di fikiran Jeno hanya ingin melihat Mika untuk terakhir kalinya. Berharap Mika hanya tertidur, berharap saat dirinya datang Mika bangun."Mika!" Seru Jeno segera ke peti Mika yang masih terbuka membuat pasangan suami istri yang Jeno kenal dari foto yang kerap kali Mika ceritakan dulu, melihat kearahnya.Hati Jeno seketika terjun bebas saat melihat gadis pujannya terbujur kaku dengan sekujur tubuh putih pucat. Batin Jeno rasanya seperti di remat saat melihat Mika memejamkan mata tanpa bernafas. "Astaga, Tuhan." Lenguh Jeno dengan hati teriris. Siapa saja yang mendengar leng
Yuna memejamkan mata, menyamankan posisi di pelukan Jesica lalu membuka mata dengan nafas yang mulai panas. Hatinya menghangat membuat matanya perih dan memerah. Yuna mengepalkan tangan. Jujur dia tidak benci dengan Jesica, dia hanya belum siap menerima kehadirannya karena wanita itu datang saat Yuna maupun Daniel masih belum merelakan kepergian bunda mereka.Juga kesal karena sejak kedatangan Jesica, keadaan rumah mulai berubah. Daniel jadi jarang pulang. Dia sering kali memilih untuk tinggal di kos membuat Yuna kesepian karena tidak ada teman bertengkar.Papahnya jadi sering keluar kota atau keluar negeri karena mengantikan pekerjaan Jesica agar wanita itu tetap stay di Jakarta, bekerja di Jakarta dan lebih banyak di rumah jadi lebih fokus mendidik anak. Tapi didikan Jesica sama sekali tidak di terima Yuna maupun Daniel.Didikan Jesica sangat keras. Yuna di paksa mengasah keahlian yang sama sekali tidak dia suka
Jeno merasakan kepalanya pening, mulutnya pahit, badannya lemas, perutnya kosong. Dia bangun saat merasa perutnya berat. Jeno melenguh kecil, menoleh kesamping tepat saat napas halus menepa wajahnya. "Mommy?" lirih Jeno tanpa suara karena suaranya serak jadi saat melirih suaranya tidak keluar.Hati Jeno jadi menghangat saat melihat Jesica tidur sambil memeluknya.Cowok berambut blonde itu tersenyum lalu mengeratkan pelukan. Rasanya sudah lama Jeno tidak merasakan pelukan Jesica. Terkahir kapan ya? Kayaknya waktu SD. Saat Mika memergokinnya masih manja-manja yang membuat Jeno jadi tidak enak karena Mika tinggal di Indonesia hanya bersama Yama.Astaga, Mika. Jeno baru ingat."Awhhh ..." Jeno melenguh kesakitan sambil memejamkan mata, reflek tangannya memegang kepala saat kepalanya sangat berat dan pusing. Hanya bergerak sedikit sakit langsung menyerang membuat Jeno kembali tidur ke posisi semula.
Juwi menganggukan kepala saat Chef Aron mengajarinya merajang bawang merah agar mata tidak perih. Kini mereka ada di bagian samping restoran tepat area training berada yang langsung berhadapan dengan air mancur yang jatuh ke kolam renang membuat orang yang melihatnya jadi relaxs.Banyak peserta training yang sedang belajar bersama Chef pribadi atau satu Chef untuk satu kelompok membuat Juwi merasa tidak sendirian.Miss Dara ada di sofa ruang tunggu. Dia sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang di lakukan, Juwi selalu merasa penasaran tapi tidak berani bertanya. Mungkin menyiapkan materi selanjutnya. Juwi selalu berfikiran positif pada siapa saja."Paham ya, Juwita? Sekarang kamu coba."Juwi mengambil pisaunya, dia memegang bawang sepeeti yang di ajarkan Chef Aron lalu merajang bawang merah sesuai yang telah di ajarkan. Awalnya Juwi merasa sama saja seperti saat dia merajang asal-asalan tapi saat berjalan beb
Jesica membantu Jeno tidur di kasur. Wanita cantik itu menaikkan selimut sambil mengusap kepala Jeno penuh kasih sayang saat sang putra memeluk guling. Kondisi Jeno belum pulih sepenuhnya membuat kepalanya masih terasa hangat."Istirahat nyenyak, sayang. Anggap rumah Jeno sendiri." Ucap Jesica lalu mengecup kening Jeno.Jeno bergumam, cowok berkaos putih oversize itu mulai menyamankan posisi tidur di salah satu kamar di rumah Jesica karena belum siap pulang kerumah Dirgantara. Karena pulang ke rumah Dirgantara sama saja merobek luka yang masih basah.Hati Jeno rasanya perih saat membaca tulisan 'Turut Berduka Cinta' di sepanjang jalanan menuju rumah Mika. Rasanya seperti mimpi buruk Mika pergi secepat ini.Jeno memejamkan mata, berharap tidak bangun lagi.Jesica menutup pintu, bibirnya tersenyum smirk merasa satu langkah di depan Dirgantara karena Jeno mau pulang ke rumahnya dan lebih memilihnya saat dalam keadaan ber
"YOS!""YOS!"Daniel yang ada di koridor sebrang merapatkan bibir ketika mendengar Yuna berteriak keras memanggil Yosi. Dia sedikit meringis saat beberapa murid memandang Yuna karena suara kerasnya menarik perhatian. Apalagi jam bubar sekolah seperti ini, ramai dimana-mana murid keluar dari kelas.Hmm ... Yuna yang teriak Daniel yang malu.Daniel segera melesat saat melihat kekasih barunya muncul bersama teman-teman kelasnya mengobrol riang membuat antrian panjang di belakang mengular. Mereka yang tepat di belakang merengut ingin misuh-misuh menegur sedangkan yang di belakang mejongak-mejongok dengan tenag dan sabar karena maklum jam pulang jadi koridor ramai dan antre untuk ke tangga.Kedatangan Daniel membuat salah satu dari mereka mengangkat wajah lebih duluh. "Eh, Dan. Cari Yuna ya? Di keluar duluan." Ucap Gisel memberi tahu.Daniel mengangguk menanggapi. "Gue cari Jeje. Mau ngajak pulang bareng."Gisel dan dua teman l