Sudah sebulan sejak hari pernikahannya dengan Zaka. Namun Zaka tak pernah menampakkan diri muncul di rumah Tara. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, ada yang mencibir ada juga yang bersimpati pada Tara. Entahlah Tara tak pernah ambil pusing. Toh dia juga menikah bukan karena atas dasar cinta atau pun suka.
Semua ia lakukan demi kebaikan dirinya juga Sofia anaknya. Kurir yang biasa mengantar paket sembako dan titipan amplop dari Zaka, baru saja sampai saat Tara baru selesai melaksanakan sholat ashar. Pria muda itu menyerahkan bungkusan plastik besar berisi sembako dan sekardus aneka snack untuk Fia.
"Terimakasih, Mas," ucap Tara sambil menyunggingkan sedikit senyumnya.
"Baik, Bu. Saya permisi," ucap pria muda tersebut.
"Mas, maaf, apakah Pak Zaka sudah kembali dari Malaysia?" tanyanya tiba-tiba, entah hatinya ingin sekali tahu di mana keberadaan lelaki yang sebulan lalu menikahinya.
"Sudah, Bu," jawabnya lalu segera pergi dengan mengendari motor PCX yang sedang hits saat ini. Baru saja menutup pintu, Tara menepuk jidatnya, kenapa dia sangat bodoh menanyakan hal itu pada orang lain.
"Ck, Tara...Tara....jangan ngarep, Raaa." Tara bermonolog, berjalan membawa aneka barang yang diantarkan tadi.
Pukul delapan malam, Tara telah selesai menidurkan Fia. Tara meluruskan pinggang, hari ini nambah lagi murid les nya, anak pak RT kelas tiga SD les mata pelajaran padanya. Lumayanlah buat tambahan sehari-hari.
Tok..tok..
Suara pintu diketuk. Siapa malam-malam gini bertamu, pikirnya. Tara mengambil kerudung yang terlampir di gantungan pintu. Berjalan cepat mengintip dari jendela, matanya membulat, apakah dia berhalusinasi. Zaka suaminya di depan pintu rumahnya. Dadanya berdegub kencang. Zaka masih mengenakan kemeja biru muda dengan logo perusahaan di sudut kantongnya.
"Assalamualaikum, Ra," seru suara Zaka dari balik pintu.
"W-wa'alaykumussalam." Tara membuka pintu dengan tergesa. Manik keduanya bersinggungan, Tara tersenyum kikuk menyambut kedatangan suaminya.
"Kok lama buka pintunya, sedang apa?" tanya Zaka yang kini tengah melepas penat dengan bersandar di kursi tamu.
"Eem ... itu Mas, mm ... lagi ngelonin Fia. Maaf," ucap Tara merasa bersalah.
"Oh, gak papa."
"Mas mau saya buatkan teh atau kopi?" tawar Tara.
"Sayang ingin air jahe, bisa buatnya?"
"Eehmm ... bisa Mas. " Tara menarik nafas lega, untung saja tadi pagi ia membeli berbagai macam bumbu dapur, termasuk jahe. Tara melangkah cepat ke dapur.
"Saya istirahat di mana?" tanya Zaka sedikit berteriak.
"Di kamar, Mas. Sebentar saya rapikan." Tara jadi salah tingkah, kasurnya berukuran nomor dua yang jika ditiduri dua orang dewasa dan satu anak balita pasti sangat sempit. Tara menggeser posisi Fia menjadi di tengah. Gundah gulana, deg deg an, apakah malam ini suaminya akan meminta haknya? Ah...iya Tara lupa, bahwa pesan Mei, tidak ada kontak fisik antara dia dan mas Zaka. Jadi sepertinya aman.
Zaka masih di dalam kamar mandi saat Tara selesai merapikan kamarnya. Tara membawa air jahe yang telah selesai ia buat, ke ruang tamu. Tara berdebar menunggu Zaka keluar dari kamar mandi, tiba-tiba hujan gerimis melanda di malam jum'at ini. Perasaan Tara semakin tak menentu. Zaka keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Tara tak berani menatap. Tubuh basah Zaka yang harumnya memabukkan indera penciuman itu, membuat kaki Tara lemas.
"Maaf saya lupa bawa baju salinnya tadi, " ucap Zaka sambil mengambil sesuatu dari dalam ranselnya.
Tara masih menunduk malu, benar-benar tak ingin melihat, tak siap jika akhirnya ia jatuh cinta pada teman almarhum suaminya.
"Cari apa sih di bawah? Dari tadi nunduk terus?" tanya Zaka yang benar bingung dengan Tara.
"Eh, ada kecoa, Mas," kilahnya. Tara menghembuskan napas lega, saat Zaka kembali masuk ke kamar mandi. Jantung Tara masih maraton.
Zaka keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, setelan piyama tidur warna coklat, melekat begitu pantas di tubuhnya. Hingga tak sadar Tara jadi terpesona.
"M-minum Mas." Tara mempersilakan. Sekilas menatap wajah Zaka yang begitu tampan setelah mandi. Zaka mengambil secangkir air jahe, menikmatinya dengan santai.
"Pas," komentar Zaka saat menikmati air jahe buatan Tara. Tara menyambutnya dengan senyuman
Zaka yang melihat Tara tersenyum manis, tiba-tiba saja hatinya berdesir.
"Saya akan menginap di sini selama tiga hari."
"Ah, ii-iyaa Mas."
"Kamu tidak keberatan'kan?"
"Apa boleh sama Mbak Mei Mas?"
"Boleh, selagi dia di Thailand ada urusan bisnis."
"Malah dia yang suruh saya untuk ke sini," ucapan Zaka barusan entah kenapa menyentil Tara. Oh, jadi jika Mbak Mei tidak menyuruhnya ke sini, maka ia takkan lagi menginjakkan kaki di rumahku. Nasib mu Raa..sabarlah yaa.
"Baik Mas, saya akan menyiapkan tempat untuk saya dan Fia dulu," pamit Tara bangun dari duduknya
"Mau ke mana Ra?"
"Mau pasang kasur lipat di depan sini Mas, biar saya dan Fia tidur di depan. Mas bisa istirahat di kamar. "
"Ngapain, bukannya kita bisa tidur seranjang?" tanya Zaka heran.
"Eh, itu kasur saya sempit Mas." Tara beralasan, padahal iya sudah setengah mati menahan dadanya yang berdebar.
"Muat kok, yuk tidur. Saya cape!" ajak Zaka masuk terlebih dahulu ke dalam kamar Tara. Zaka menatap kamar minimalis Tara sangat rapi dan teratur, tampak Fia tengah pulas tidur di atas ranjang yang tak terlalu besar ini. Zaka merebahkan tubuhnya.
"Aah..rasanya hari ini begitu melelahkan," gumamnya.
Tara masuk ke dalam kamarnya, setelah sebelumnya mengunci pintu rumah, dan mematikan lampu depan. Pelan Tara membuka pintu kamar, berharap Zaka sudah tertidur. Namun keberuntungan sedang tidak berpihak pada Tara. Saat ini Zaka malah asik senyum-senyum sendiri di depan ponselnya. Pasti sedang chat dengan istrinya. Tara menutup pintu pelan, Zaka masih tidak menyadari kehadiran Tara. Tara naik ke ranjang, posisinya di sebelah Fia yang kini posisinya berada di tengah kasur. Tara tidur dengan gamis dan kerudungnya. Pelan merebahkan kepalanya, menatap ke langit-langit kamar. Tak berani berbalik menghadap Zaka, apalagi memunggunginya, dosa.
"Ra, kamu tidur memang seperti ini ?" tanya Zaka heran melihat Tara memakai pakaian lengkap
"Hhmm ... gak juga sih, Mas."
"Mau tidur, apa mau pergi pengajian?"
"Mau tidur, Mas."
Zaka terkekeh, Tara polos sekali menjawab semua pertanyaan Zaka.
"Saya'kan suami kamu, Ra. Ga papa toh jika kamu memperlihatkan rambut kamu pada saya?"
"Mmm ... iya, Mas."
"Ayo buka! Pasti tidak nyaman tidur begitu," titah Zaka menatap intens ke arah Tara.
Ragu Tara turun dari kasur. Membalikkan badan, membuka kerudungnya, rambut hitamnya tergerai indah sepanjang pinggang. Tak berani berbalik badan, karena ia tahu Zaka pasti tengah memperhatikannya.
"Taraaa ...," panggil Zaka.
"Aah..iya Mas." Tara tersadar dari lamunanya. Pelan ia buka gamisnya, di dalam gamisnya sudah ada daster sepaha berwarna biru terang. Jantung Tara berdegub kencang. Saat ia membalikkan badannya. Duh malunya, tubuh yang berlemak dan dekil ini dilihat Mas Zaka. Pasti dia ilfil deh, bukan seleranya.
"Nah..gitu kan pantes," ucap Zaka kini meletakkan kembali kepalanya di atas bantal.
"Cantik juga, " gumam Zaka seraya menutup kedua matanya. Apakah Tara bisa tidur? Jawabannya tentu tidak, Tara merasa sangat risih dan malu. Lampu kamar redup, membuat suasana gerimis di luar semakin sahdu. Tara membalikkan tubuhnya saat dia rasa tak ada pergerakan lagi dari Zaka.
Akhirnya Zaka tidur juga, pikirnya. Kini posisi Tara menghadap Fia dan Zaka yang juga sedang terlelap menghadap Fia. Dalam keremangan Tara memperhatikan wajah Zaka. Garis bibirnya tertarik. "Suamiku tampan," bisiknya dalam hati.
Zaka membuka mata, bertatapan dengan Tara yang juga tengah memperhatikannya. Tara sangat malu ketahuan memperhatikan Zaka. Mau berbalik badan lagi tentu tidak mungkin, akhirnya Tara memejamkan paksa matanya.
"Ra...," bisik Zaka.
"Mmm ... ya, Mas."
"Boleh saya meminta hak saya malam ini?"
******
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag