Siang hari setelah mengajar Bimo; murid lesnya calistung, Tara melanjutkan dunianya sebagai ibu rumah tangga. Tara menyuapi Fia dan juga merapikan rumah. Kondisi Fia sudah lebih sehat, hanya saja dokter tidak membolehkan Fia minum es, chiki dan coklat. Fia tengah asik bermain bersama boneka barbie, hadiah dari Mei saat Fia diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Tara masih memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, Zaka memberikan waktu kepada Tara untuk memikirkan hal tersebut selama dua pekan. Baru tiga hari saja rasanya otak Tara sedikit lemot, banyak bengong dan melamun.
"Mama, asap," seru Fia sambil menarik arah pandangnya ke bawah.
"Astaghfirulloh!" pekik Tara saat tersadar mukena terbagus pemberian almarhum suaminya gosong, karena Tara menyetrika sambil melamunkan perkataan Zaka. Cepat Tara menyingkirkan setrikaan dan menatap sedih mukenanya yang bolong bagian dadanya.
"Fia." Tara menarik Fia ke pangkuannya. Fia menatap wajah Tara sambil tersenyum manis.
"Kalau Fia punya papa mau gak?"
"Maaauu ...." Fia mengangguk cepat.
"Ayo tita beli setalang ma!" ajak Fia menarik tangan Tara.
"He he he ... papa tidak ada di warung, Nak, papa adanya di rumah," jawab Tara sambil mencium gemas pipi Fia.
"Dua ya Ma, papanya," ucap Fia sambil mengangkat dua jarinya. Papa bukan permen nak.
"Kok dua?" tanya Tara heran.
"Bial dantian?"
"Gantian? Ha ha ha ...." Tara tertawa keras mendengar ucapan polos Fia. Baju kali nak ada gantinya," Batin Tara. Wanita itu mengusap pucuk kepala Fia yang masih asik memainkan rambut barbie di pangkuan Tara.
"Belbi yaya tantik...milip mama." Fia menatap boneka dan ibunya bergantian dengan penuh takjub. Tara nyengir kuda. Taukan barbie yang kulitnya hitam, naahh..itu dia kata Fia mirip mamanya.
Begitulah keseharian Tara dan Fia, selalu penuh senyuman dan keceriaan, meskipun kehidupan ekonomi mereka sangat terbatas sejak suami Tara meninggal setahun yang lalu. Tara tengah merapikan kamarnya saat suara pintu rumahnya diketuk.
"Assalamualaikum," suara di balik pintu. Kening Tara berkerut, suaranya seperti tak asing. Tara mengintip dari jendela.
"Eh, wa'alaykumussalam Mbak-Mas," sahut Tara lalu membukakan pintu rumahnya. Mempersilahkan Mei dan Zaka masuk.
"Mana Fia, Mbak?" tanya Mei saat tak melihat Fia di rumah.
"Oh, sedang main ke tetangga sebelah, Mbak. Baru saja. Nanti saya panggilkan. Sebentar saya ke dapur dulu." Tara sedikit canggung karena Zaka terus memperhatikan dirinya. Tara kembali dengan dua cangkir teh manis hangat.
"Silahkan Mbak-Mas diminum tehnya," ucap Tara lalu duduk di kursi tamu, tepat di seberang Mei.
"Begini Mbak Tara, maksud kedatangan saya kemari adalah ...."
Setelah cukup pusing memikirkan perkataan Zaka beberapa hari lalu, sekarang dia dipusingkan dengan perkataan Mei. Kayaknya di dunia ini bisa dihitung dengan jari wanita yang rela suaminya melakukan poligami. Kebanyakan para istri hanya menginginkan cinta dan perhatian suaminya hanya tercurah untuk dirinya saja, bukan berbagi dengan wanita lainnya.
Kata ikhlas sebenarnya sangat sulit untuk dijabarkan bentuknya dalam perbuatan, karena namanya manusia, pasti ada sifat iri dan dengkinya walaupun setitik. Anehnya lagi, Mei rela berbagi suaminya dengan Tara asal suaminya tetap tinggal bersamanya, tidak boleh menggunakan perasaan saat berdekatan dengan Tara dan tidak boleh memiliki anak dari Tara. Jadi pernikahan ini hanya sebatas status saja, untuk menghindari prasangka orang jika Zaka berkunjung menjenguk dirinya dan untuk membantu kesulitan ekonomi Tara juga puterinya.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang bisa dianggap main-main, lelaki yang menikahi seorang wanita wajib memberikan mafkah lahir dan batin serta bertanggung jawab atas diri sang istri. Istri wajib patuh pada suami, mengikutinya perintahnya dan menjadi penyejuk hati dan hiasan pandangan suami, tapi aturan yang disebutkan Mei tadi sangatlah tidak masuk akal buat Tara. Tapi ya sudahlah, Tara kembali meluruskan pemikirannya, bahwa Zaka melakukan ini atas dasar kemanusiaan, menolong janda sahabatnya.
****
"Saya terima nikah dan kawinnya Tara Zakia binti Danu Zaki Suherman dengan mas kawin cincin emas lima gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."
SAH...SAH...
Dengan balutan hijab dan gamis putih boleh seragam dari pengajian ibu-ibu, Tara terlihat begitu manis. Kulitnya yang sawo matang dengan make up natural membuatnya sangat enak dipandang mata. Bapak dan pamannya datang dari Solo untuk menikahkan Tara dengan Zaka. Bapaknya malah bersuka cita dengan peristiwa ini karena bapak Tara cukup mengenal Zaka dari Rahman menantunya.
Tara mencium punggung tangan Zaka dengan sedikit kikuk, karena Tara tidak pernah bersentuhan langsung dengan lelaki selain suaminya dan keluarganya. Meskipun ini pernikahan siri, tapi tampak hadir juga beberapa tetangga dan aparat lingkungan sekitar perumahan tempat tinggal Tara. Mei ikut hadir di sana, memberikan restunya, senyumnya terbit walau tak lama akhirnya air matanya jatuh juga. Tara yang memperhatikan merasa sungguh tak enak.
"Mama tantik deh," puji Fia kini tengah duduk di pangkuan Tara.
"Masa sih? cantikkan Fia dong," puji Tara balik kepada Fia yang kini tengah memainkan payet kerudung yang dipakai Tara.
"Fia ... sini sama Papa!" Zaka menghampiri Tara dan Fia, diikuti oleh Mei.
"Fia mulai sekarang panggil Om Zaka, Papa ya," lanjut Zaka lagi sambil duduk di sebelah Tara yang tersenyum. Fia menatap wajah ibunya, seakan meminta persetujuan ibunya. Tara mengangguk, lagi-lagi dengan senyuman.
Acara pun selesai para tamu pamit satu persatu setelah memberikan doa restu.
"Saya antar Mei pulang dulu, Pak," ucap Zaka pada bapak Tara.
"Oh iya, hati-hati. nanti balik lagi tho?" tanyanya. Zaka mengangguk.
Tara memperhatikan sampai mobil Zaka menghilang dari pandangan.
"Nduk sini!" titah bapak Tara pada puterinya, menuntun Tara agar duduk disebelahnya.
"Ya, Pak."
"Kamu kan jadi istri kedua, jadi harus banyak sabar dan ikhlas, Zaka sekarang adalah suamimu juga suami Mei. Namun kamu tetap harus patuh dan tunduk pada Zaka. Melayaninya dengan sabar saat ia berkunjung. Berikan selalu senyuman padanya, jangan pernah sekalipun kamu berwajah masam pada suamimu. Ingat, kamu sudah ditolong oleh Zaka dan Mei, jadi tidak boleh egois apalagi serakah," petuah sang bapak mampu membuat air matanya meleleh.
"Iya, Pak. Pesan bapak akan Tara ingat."
Tara menatap wajah pulas Fia yang tengah tertidur. Malam sudah semakin larut, dan Tara tahu bahwa Zaka pasti tidak akan kembali ke rumahnya, sebelum berpamitan tadi Zaka sudah memberitahukan hal ini pada Tara. Zaka akan pergi ke Malaysia, tempat orangtuanya Mei yang menetap di sana. Tara tidak masalah, meskipun sedikit ada rasa sedih, tapi ya sudahlah, namanya juga yang kedua. Tara mengambil bingkai foto almarhum suaminya dari dalam laci lemari.
"Sekarang saya sudah menikah dengan Mas Zaka, Mas, tapi ya jadi istri kedua, ga papa kan Mas?" Tara mengajak bicara foto suaminya, hal ini sudah sering dia lakukan semenjak suaminya meninggal. Hal sekecil apapun selalu dia sampaikan pada foto suaminya, seakan foto itu hidup dan mampu mendengarkan keluh kesahnya.
"Doakan saya bisa menjadi istri yang baik dan patuh ya, Mas. Mas tidak perlu cemburu, karena Mas Zaka dan saya menikah hanya karena dasar kemanusiaan, menolong saya dan Fia, semoga Mas Rahman mengerti. Cinta Tara sudah bulat dan tak terbagi hanya untuk Mas Rahman," ucapnya lagi sambil memeluk hangat foto almarhum suaminya. Hingga matanya terlelap masih dengan memeluk figura tersebut, rindu semakin membuncah, namun hanya bisa ia sampaikan lewat ayat-ayat suci. Semoga Allah memberikan surga bagi suaminya.
Keesokan paginya, bapak dan pamannya pamit, setelah menunggu sampai siang hari Zaka belum juga kembali. Bapak memeluk Tara dengan hangat. "Kuat ya Nduk." Pak Danu merasa ada yang aneh dengan pernikahan yang dilakukan anaknya, tapi mau bagaimana lagi, dia sendiri sebagai orang tua yang kehidupan ekonominya sangat pas-pasan, tidak sanggup jika harus menanggung biaya hidup Tara dan Fia.
Raut ceria Tara tunjukkan kepada bapaknya, tak ada keluhan. Tara mencoba mensyukuri segala pemberian Allah pada dirinya.
"Pak, ini ongkos dan uang pegangan selama di jalan." Tara memberikan titipan uang dari Zaka untuk bapaknya.
"Makasih Nduk, kamu ndak minta tho sama suamimu?" tanya Pak Danu sedikit khawatir.
"Ndak, Pak. Justru, ini uang Mas Zaka yang titipin."
"Ya udah jaga diri ya Nduk, Bapak dan pamanmu balik dulu," pamit Bapak dan Pamannya. Tara pun mencium punggung tangan keduanya.
Setelah Bapak dan Pamannya berangkat dengan ojek, Tara menutup pintu rumahnya, bersiap mengajar Salma, murid les membacanya. Fia sedang menonton televisi baru yang dibelikan Zaka. Sekilas Tara melihat ponselnya, ponsel yang diberikan oleh Mei, ponsel lama tapi masih bagus dan bisa dipakai untuk berfoto juga berkirim pesan dengan WA.
"Taraaa ... Taraa ... bukan cuma suaminya aja bekas Mei, bahkan ponselnya juga bekas Mei," gumam Tara sambil menatap ponselnya. Tak ada pesan apapun dari Zaka ataupun Mei.
*****
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y