Tara menatap pintu kamarnya yang kini telah tertutup kembali, setelahnya suara mobil suaminya meninggalkan pekarangan rumah. Tara mengahapus air mata yang menetes di pipinya, semakin lama semakin deras air itu tumpah, tanpa bisa dibendungnya. Bahu bergetar tanda menahan kepedihan atas semua yang ia jalani saat ini. Ditariknya selimut bulu bermotif hello kitty menutupi tubuh polosnya. Berjalan ke kamar mandi, membersihkan semua sisa percumbuan yang menyesakkan dadanya. Setelahnya, ia kembali memakai bajunya, kembali ke peraduan sambil memeluk tubuh mungil Fia anaknya. Berharap semua kepedihan ini hanya mimpi.
Seminggu berlalu, tak ada kabar lagi dari Zaka. Terakhir Zaka mengirimkan uang melalui kurir yang biasa ditunjuknya, untuk membawa Fia kontrol ke dokter asma. Tara pun menjalani hari seperti biasa mengajar anak-anak tetangga calistung di pagi dan sore hari. Sore ini ia membuat kolak pisang untuk Fia, memang semenjak menikah dengan Zaka, Tara tidak pernah lagi kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Meskipun tidak berlebih, namun cukup untuk Tara dan Fia hidup berdua. Yaah, hidup berdua, karena Zaka sepertinya tidak menganggap mereka berdua ada.
"Mama." Fia menghampiri Tara yang sedang memasak kolak di dapur.
"Ya sayang." Tara menoleh tersenyum manis pada anaknya.
"Om papa nana?"
"Huh?" Tara melongo.
"Om papa nana, Ma?"tanya Fia lagi semakin mendekat pada Tara.
"Ohh ... Om papa kerja, sayang." Tara tersenyum kecut.
"Mau om papa!" ucapnya lagi kini sudut bibirnya turun ke bawah. Tanda akan menangis.
"Nanti om papa pulang, sabar ya, om papa kan sedang cari uang yang banyak untuk ajak Fia jalan-jalan." Tara menenangkan putri kecilnya, bagaimana pun dua hari Zaka pernah menginap disini memberi kesan pada Fia sosok dirinya. Meskipun masih terlihat canggung, namun Zaka tetap senang mengajak Fia bermain dan mencuci sepedanya saat itu.
Hari beranjak malam, Tara menemani Fia menonton acara kesukaannya. Fia duduk di bawah sambil bermain boneka. Setiap deru mobil yang lewat, Fia berlari ke jendela, mengintip siapa yang datang. Wajahnya cemberut kembali duduk di bawah memegang bonekanya, begitu terus sampai ada empat mobil yang lewat di depan rumahnya, Fia berlari ke jendela.
Tara menatap iba pada putrinya, apakah Fia merindukan Zaka? Sepertinya iya. Lalu bagaimana dengan dirinya, apakah ia merindukan suami orang itu?yah meskipun suami dia juga sih.
"Assalamualaikum," suara seseorang yang dinanti Fia pun terdengar dibalik pintu.
Fia mengenal suaranya, berlari mengintip di jendela.
"Mama, om papa ... om papa," ucapnya kegirangan sambil melompat-lompat.
Tara bergegas ke pintu, membukakan pintu untuk suaminya. "Wa'alaykumussalam," sahut Tara sambil menyungingkan senyum manisnya.
Tara mencium punggung tangan Zaka, saat Zaka tengah menggendong Fia. Putri kecil Tara sibuk memegang pipi Zaka lalu menciumnya rindu.
"Waah, anak papa rindu ya," ujar Zaka senang lalu duduk di kursi tamu. Tara berjongkok, maksud hati melepaskan kaos kaki suaminya, sedikit canggung Zaka membiarkan Tara melakukannya. Setelahnya kaos kaki tersebut dimasukkan Tara ke dalam keranjang cucian, lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan air jahe madu untuk suaminya.
"Fia, papa mandi dulu ya, bau acem," ucap Zaka sambil mengusap rambut Fia lembut dan menaruhnya di sofa beserta bonekanya. Putri kecil itu mengangguk patuh. Zaka mencium pipi Fia di sebelah kanan.
"Belah aji." Fia menyerahkan pipi kirinya. Zaka tertawa kecil, lalu mencium pipi kiri Fia. Fia tertawa senang, menatap lelaki yang ia panggil om papa sampai masuk ke dalam kamar mandi.
Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, disaat bersamaan pula, Tara bergegas ke kamar, merapikannya, mengganti seprei lalu menatanya dengan rapi. Tara melewati cermin, kucel! Cepat Tara bersisiran, lalu menguncir ekor kuda rambut sebahunya. Mengangkat tangan sampai atas kepala, hidungnya membaui ketiaknya, kanan dan kiri berganti. Alhamdulillah ga bau ketek. Tara tersenyum lalu membuka pintu kamar.
Ceklleek
"Eh ...." tubuh Tara dan Zaka bertabrakan, saat Tara membuka pintu, Zaka hendak masuk, karena kaget keduanya berbenturan, kening Tara mengenai dada polos Zaka, karena lelaki itu hanya melilitkan handuk sampai pinggang saat keluar kamar mandi.
"Maaf, Mas." Tara menunduk malu, lalu berjalan ke arah meja makan untuk menyiapkan makanan. Zaka memperhatikan Tara sambil mengulum senyum, lalu masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
"Bagaimana kabar Mbak Mei Mas?" Tara membuka pembicaraan, Zaka tengah duduk menyantap makan malam dengam sayur asem, cumi asin sambel ijo dan kerupuk. Terasa nikmat dilidah dan tenggorokannya.
"Sedang kurang sehat," jawabnya masih asik melahap makanan di atas piringnya.
"Sakit apa, Mas?"
"Pusing."
"Oh, semoga Mbak Mei lekas sembuh ya Mas."
Tara membiarkan Zaka makan dengan tenang, tak bertanya lagi, menunggu Zaka selesai makan.
"Masakan kamu enak," pujinya tulus sambil menatap Tara intens, Tara tersenyum menanggapinya. "Terimakasih Mas."
"Om papa, ayo main!" Fia menarik tangan Zaka menuju ruang tamu, saat Zaka telah selesai makan, Zaka tersenyum, mengikuti langkah gadis kecil yang tengah menggenggam erat jari telunjuk Zaka. Tara tersenyum bahagia, paling tidak putri kecilnya memiliki sosok ayah, walaupun sesekali datang, tapi tak apalah. Tara rela, asal Zaka berlaku baik pada Fia dan dirinya. Lalu bagaimana dengan perasaannya? Ah..tidak usah dipusingkan. Anggap saja semua ini berdasarkan azas tolong menolong.
Tepat pukul delapan tiga puluh, akhirnya Fia tertidur di dalam gendongan Zaka dengan lelapnya. Zaka menaruhnya di atas ranjang dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Zaka masih menemani Fia, rebahan di sampingnya. Lalu Tara masuk setelah membersihkan diri di kamar mandi. Masih canggung tak berani menatap Zaka yang kini memperhatikannya.
"Sini!" titah Zaka sambil menepuk sampingnya.
Tara merebahkan diri ragu, dadanya berdebar. Perasaannya tak enak, saat tangan Zaka sudah menyusup di bawah dasternya. Mencoba tak terlalu larut dalam alunan sentuhan lelaki itu, namun raganya seakan tak setuju, raga itu menikmati, walaupun tetap gulinglah yang menjadi sasaran gigitannya. Matanya pun tak berani menatap, benar-benar takut hati ini menyerah dengan kata cinta.
Kali ini nama istri sahnya yang disebut diujung kenikmatannya." Mei" lolos air mata turun dari sudut netra Tara. Harga dirinya sebagai wanita hancur berkeping-keping. Menangisi hatinya yang ternyata cemburu dengan nama Mei yang selalu disebut Zaka diujung surga dunia yang ia gapai, padahal raga Taralah yang ia cicipi.
Zaka keluar kamar dengan santai tanpa pakaian apapun. Tara menghapus air matanya cepat, tak ingin dilihat cengeng oleh Zaka, Zaka tak boleh tahu bahwa dirinya kalah dengan kata cinta. Tara masih rebahan, sambil menyelimuti tubuhnya dengan selimut hello kitty.
Zaka kembali dari kamar mandi lalu memakai baju kaos serta celana panjang yang ia ambil dari dalam tas.
"Mei hamil Ra," ucapnya sambil merapikan gespernya.
Tara terdiam sesaat.
"Alhamdulillah ... selamat Mas, akhirnya." Tara tulus memberikan selamat. Senyumnya terbit, bagaimanapun kabar itu adalah kabar bahagia bagi Zaka dan Mei yang sudah bertahun-tahun menanti kehadiran sang buah hati dalam pernikahan mereka.
"Terimakasih."
"Mmm ... mungkin saya dalam waktu lama tidak bisa mampir ke sini lagi."
"Ohh, iya," cicit Tara mendadak lemas, ucapan Zaka membuat tulang belulangnya rasa remuk. Kecewa sungguh kecewa, itulah jerit di hatinya. Zaka mengambil ponselnya dan membaca beberapa pesan yang masuk.
"Saya pulang dulu," ucap Zaka kini tengah menggendong ranselnya, tak lupa Zaka mencium Fia dan tersenyum pada Tara. Tara mengangguk sedih, tak boleh air matanya turun saat ini. Bagaimana nasibnya selanjutnya, apakah ia akan benar-benar dicampakkan oleh Zaka?
Sepuluh hari sudah, setiap malam disujudnya, Tara menangisi dirinya sendiri. Entah apa arti dirinya bagi Zaka, istri?sepertinya tidak. Saudara? bukan juga. Apa mungkin pelacurnya?mengingat Zaka mengunjungi Tara hanya untuk memuaskan selangkangan.
Benar saja selama sepuluh hari sudah Zaka tak menampakkan batang hidungnya, menanyakan kabar pun tidak. Lama Tara memandangi ponselnya, kebanyakan panggilan dari ayah dan pamannya di kampung yang sangat perhatian padanya.
Kepalanya berkunang saat tengah mengajarkan les calistung anak pak RT. Lalu tak mengingat apapun, saat matanya terbuka. Sudah ada Dokter Yusi dan Bu RT Yasmin yang berada dalam kamarnya.
" Selamat Tara, kamu hamil."
****
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag