"Vir."
Vira yang sedang serius merapikan tanaman hias menoleh pada Mama Lily. selepas sarapan tadi, mereka langsung ke depan. Seperti biasa, setiap akhir pekan Mama Lily dah Vira akan asyik mengurus tanaman hias. Sementara Hendra memilih membaca surat kabar di teras sambil mendengarkan percakapan mereka."Iya, Ma?" tanya Vira sambil tangannya kembali sibuk memotong daun-daun bunga yang mulai menguning."Kamu sudah halangan belum bulan ini?"Vira mengerutkan kening mendengar pertanyaan Mama Lily. Tumben mertuanya itu bertanya tentang hal yang sangat pribadi."Baru saja selesai dua hari yang lalu. Kenapa, Ma?""Nah! Pas itu, Hen!" Mama Lily memukul kaki Hendra yang duduk di kursi belakangnya dengan menggunakan gunting untuk merapikan taman hias."Aduh! Apa sih, Ma?" Hendra mengelus kakinya yang tadi dipukul Mama Lily. Lelaki itu meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya."Itu Vira baru selesai halangan." Mama Lily menoleh ke belakang. Mengedipkan sebelah mata pada anak laki-laki semata wayangnya itu."Hah?! Terus?" Hendra bertanya dengan wajah bingung."Waktu yang tepat untuk merencanakan kehamilan. Vira sedang subur-suburnya itu.""Uhuk!!" Hendra yang sedang minum teh tersedak mendengar ucapan Mama Lily."Kapan dong kalian serius merencanakan kehamilan? Iya kamu dan Vira masih muda. Lah mama ini sudah tua loh, Hen. Sudah ingin sekali menggendong cucu." Mama Lily menatap anak laki-lakinya itu dengan sedikit sebal karena Hendra terlihat tidak terlalu serius menanggapi."Belum rezekinya, Ma." Hendra melirik pada Vira yang terlihat santai memotong daun bunga."Cobalah periksa, semenjak menikah, belum sekalipun kalian ke dokter, kan?"Vira pura-pura sibuk dengan kegiatannya, sementara Hendra menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kau dengar tidak, Hen?" Mama Lily melotot melihat anak laki-lakinya seperti ridak mendengarkan omongannya."Iya, Ma, iya." Hendra menjawab malas."Udah anak tunggal, malas-malasan pula. Vira, suamimu ini gagah kan kalo di ranjang?" Mama Lily menoleh pada Vira."Kok mama menyalahkan Hendra terus sih, Ma? Di cerita-cerita lain, mertua biasanya menyalahkan menantu wanitanya." Hendra berdiri sambil mengangkat kedua tangan."Kamu itu!" Mama Lily ikut bediri, bermaksud menoyor kepala hendra.Gagal.Lelaki itu lebih dulu berlari masuk ke dalam sambil tertawa-tawa. "Aduh! Aduh! Punya anak laki-laki satu kok ya begitu bange. Ck!" Mama Lily berdecak sebal."Kamu yang sabar jadi istrinya Hendra ya, Vir." Mama Lily duduk di samping Vira lagi.Vira mengangguk sambil tersenyum saat Mama Lily mengelus punggungnya lembut. Wanita berlesung pipi itu menarik napas pelan. Bagaimana pula akan memberikan mertuanya cucu? Sementara selama tiga tahun pernikahan mereka, belum sekalipun Hendra menyentuhnya. Vira menggigit bibir. Bagaimana cara meruntuhkan keangkuhan suaminya itu? Hendra lebih memilih bermain gila di luar sana dari pada melakukan dengannya. Vira tahu betul kenapa Hendra melakukannya. Lelaki itu sengaja berbuat demikian agar dia menyerah pada pernikahan mereka.Tetapi Hendra salah. Vira bertahan bukan karena keinginannya, tetapi dia bertahan karena dia harus melakukannya. Mau tidak mau, suka tidak suka.Ck! Vira berdecak sebal. Cara apa lagi yang harus dia lakukan agar Hendra tergoda? Bukan sekali dua dia mencoba mengundang Hendra untuk melakukan hal menyenangkan itu, Vira bahkan pernah menaruh obat p*rangs*ng pada minuman Hendra. Gagal. Lelaki itu memilih pergi keluar saat obat itu mulai bereaksi. "Kau tidak kasihan dengan mama, Mas?" Vira langsung duduk di paha Hendra saat lelaki itu sedang duduk santai di balkon kamar mereka.Hendra yang sedang melamun sontak terkejut. Tidak menyangka Vira semakin berani. Bergegas dia menolak tubuh wanita yang menempel lengket padanya."Apa kau sudah tidak ada harga diri?""Hei! Kau suamiku! Melayanimu adalah ibadah bagiku." Vira tertawa kecil, semakin mengeratkan tangannya pada leher Hendra."Setidaknya kau harus punya sedikit rasa malu sebagai seorang wanita!" Hendra akhirnya menyerah. Membiarkan Vira menempel padanya. Pelukan wanita itu terlalu erat, membuatnya kesulitan melepaskan diri. Atau, sebenarnya dia suka? Sehingga tidak bersungguh-sungguh melepaskannya."Sayang." Vira membasahi bibirnya dengan lidah. Tangan kanannya mengelus pipi Hendra pelan, sementara tangan kirinya masih melingkar manis di leher Hendra."Tiga tahun aku menjadi istrimu, Mas. Kenapa aku harus malu dengan suamiku sendiri?" Vira tersenyum manis, sambil meniup lembut wajah Hendra. Hendra menggelengkan kepala sambil menghembuskan napas kencang. Lelaki itu memaksa berdiri sehingga membuat Vira dengan berat hati ikut berdiri juga. Hendra sedikit menjauh dari Vira. Lelaki itu terlihat memindai penampilan Vira yang terlihat segar dan … seksi. Hendra kembali menghembuskan napas kencang. Dia segera memalingkan muka dari pemandangan yang sebenarnya sangat ingin dia lihat. Nalurinya sebagai lelaki normal tidak berbohong, Vira sangat menggoda.Sementara Vira yang mengetahui Hendra mati-matian mengendalikan diri tersenyum penuh kemenangan. Wanita cantik itu sengaja Bergerak-gerak membuat pose menantang untuk semakin mengganggu Hendra."Berhenti!" Hendra memegang bahu Vira agar wanita itu berhenti menggodanya.Vira hanya menanggapi tatapan tajam Hendra dengan kedipan mata genit."Apa kau sudah biasa seperti ini pada laki-laki lain sehingga tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirimu?" Hendra menatap Vira dengan pandangan yang entahlah.Sementara Vira hanya mengangkat bahu. Malas berdebat. Tujuannya berpakaian dan berbuat demikian memang untuk mencari tahu apakah Hendra tertarik atau tidak padanya. Dari sikap lelaki itu, Vira menyadari masih ada harapan baginya untuk bisa meruntuhkan dinding tinggi yang sengaja dibangun Hendra dalam rumah tangga mereka."Jangan-jangan kau sudah sering melakukannya, Vir? Apa kau sudah tidak pera*an lagi?" Hendra berdecih, menatap Vira dari bawah sampai ke atas dengan tatapan merendahkan."Kenapa tidak kau coba sendiri saja, Mas? Apakah aku masih orisinil atau sudah barang bekasan?" Vira berkata dengan sedikit mendesah sambil mengangkat sebelah pahanya."Dasar wanita sableng!" Hendra berbalik badan, pergi meninggalkan Vira.Dia harus menenangkan diri. Kalau tidak, wanita gila itu bisa berhasil menggodanya. Itu tidak boleh terjadi! Dia harus bisa menyingkirkan Vira dari hidupnya. Hendra tidak mau ada ikatan apapun dengan Vira, apalagi sampai menghasilkan keturunan. Hal itu akan mempersulitnya saat nanti waktu perpisahan mereka tiba.Sementara di balkon Vira tertawa terbahak-bahak melihat Hendra yang pergi begitu saja. Lelaki itu terlihat seperti ketakutan menatap tubuh seksinya."Kupastikan kau akan kalah tidak lama lagi, Mas!" Senyum Vira mengembang sempurna. Membuat kedua lesung pipinya terlihat dengan jelas.Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.