Wanita itu tak kuasa menahan tangis. Sambil di peluk sang mama, Dena sesenggukkan. Ia jelas menolak dipoligami, apa-apaan Tara, kan? Alasan tidak mendasar untuk melakukannya.
"Kamu nggak bisa minta cerai sepihak sayang, kamu nggak mau selamatkan rumah tangga kamu?" tatapan seorang ibu yang begitu lembut, mencoba menjadi penengah, bukan memperkeruh.
"Papa nggak mau sampai kalian benar-benar cerai, Dena, ini ujian rumah tangga kalian. Tapi, kalau sudah kesepakatan kalian berdua, Papa hanya bisa mendukung kamu. Papa bisa lihat kamu makan hati selama tinggal di sana?
Papa mau tanya? Kamu dianggap menantu nggak sama mereka? Apa kamu di anggap pembantu? Kamu ngapain aja selama di sana? Beberes? Masak? Rapihin pakaian? Bekerjaan pembantu kamu kerjakan?" kedua mata pria itu penuh selidik. Dena hanya bisa menghela napas. Tanpa menjawab apa pun, kedua orang tuanya sudah paham.
"Ya Allah, Papa... a
Keluarga Dena berkumpul di ruang keluarga, duduk bersama untuk membahas masalah rumah tangga putrinya itu. Dena sesekali menangis sata cerita perlakuan ibu mertua juga dua kakak kembar Tara. Elmer, istrinya dan Saski begitu terkejut. Bahkan Saski tampak kesal mendengar Dena diperlakukan bak pembantu."Apa alasan Tara mau nikah lagi benar karena Ibunya? Bukan karena Kanti yang mendadak muncul dan kejar-kejar Tara lagi?" tanya istri Elmer."Mbak, yang Dena tahu memang Ibu yang terus memaksa Mas Tara supaya balik sama Kanti. Mas Tara terlalu apa-apa Ibu, iya memang, Ibu orang tua kandung, tapi kalau jadi begini, sikap Ibu jelas salah, kan? Dena udah sabar, tapi Ibu terusss ... begini. Di rumah itu cuma Argi dan Bapak yang belain Dena. Bahkan Bapak pernah nangis, mau balikin uang yang harusnya jadi hak Dena, tapi di ambil Ibu, karena Ibu juga punya hak untuk nikmatin uang bonus Mas Tara," ucap Dena."Tunggu. Jad
Saski dan Argi sudah tiba di depan rumah bernomor tiga itu. Tampak tak besar, tapi berada di cluster elite, tetangganya saja ada yang artis Ibu kota, bahkan selebgram terkenal. Pantas saja, ibu dan kedua kakak Argi matanya silau status sosial. "Itu dia, ayo turun!" ajak Argi yang langsung mematikan mesin mobil lalu turun bersama Saski yang masih tampak datar. "Gi... lo yakin kita nggak bakal di usir?" Saski tampak ragu. Tenang, gue udah tahu cara biar Kanti nggak bisa menghindar. Ayo jalannya buruan," ucap Argi lagi karena mereka parkir di dekat lapangan kecil sebelah pos satpam. Kanti baru saja tiba membeli makan mal
"Kita nggak bisa begini, Tara, setelah di tegur Argi dan Saski, aku mikir lagi. Aku diposisi jahat, walau jelas aku masih...," Kanti menundukkan kepalanya, menatap jemari tangannya yang lentik. Tara mengangguk, ia paham. Tapi bagaimana dengan ibunya, apa tak kan jadi masalah baru lagi. Di rumah itu pun, hanya ibu dan Argi yang bicara pun, seperlunya karena ibu terus-terusan menyalahkan putra bungsunya itu yang mendukung tindakan Bapak dan Dena."Orang tua kamu gimana? Mereka apa udah tau kalau Ibuku minta kamu untuk jadi menantunya juga?""Sudah, Tar, dan kedua orang tuanya setuju. Apalagi saat Ibu bilang kalau Dena belum hamil dan Ibu nggak setuju dengan pernikahan kalian, lebih setuju kalau kita menikah," ucap Kanti yang menghela napas gundah. Sungguh tak enak hati. Keduanya diam, mereka sedang berada di rumah Kanti ke esokkan harinya setelah Tara pulang dari rumah orang tua Dena, ia sempat membahas dengan ibunya dan tetap saja, ibu ngotot minta Tara meni
"Saran gue jangan cerai," ucap Tya saat keduanya duduk di teras kafe rumah sakit tempat Tya bekerja. Keduanya janji temu karena Dena akan medical check up, ia keterima kerja di tempat lamanya lagi dengan jabatan sama, Aspri, atau asisten pribadi CEO kantor itu. Seorang pria usia 45 tahun yang memiliki keluarga harmonis. Dena kenal istri juga anak-anak pria itu, semua baik dan menghormati Dena."Kenapa emangnya?" tanya Dena saat ia masih menunggu satu jam lagi untuk mulai pemeriksaan."Ya enak di Kanti, lah! Gue sih, nggak ikhlas temen gue di giniin. Bima, laki gue dan mencak-mencak ke Tara kalau lo mau tau, Dena. Bima juga nggak terima lo di giniin. Dan, pendapatnya sama, minta elo jangan cerai gitu aja. Ruginya double." Tya menyeruput kopi hangat miliknya sejenak sebelum lanjut bicara. "Lo kasih unjuk siapa lo, Dena, selama ini lo di injak-injak mereka, kan? Ini saatnya lo buktiin siapa lo. Dan, lo tau, Tara dipanggil orang HRD kantor, posisinya turun, buk
"Lo kenapa? Kaget banget tau gue mau ke Yogya, lagian gue kerja di sana." Celetuk Argi saat keduanya duduk di sofa ruang tamu rumah orang tua Dena. Sedangkan Dena cekikikan sendiri melihat dua manusia yang sepertinya, mendadak saling naksir."Biasa aja sih, sebenernya, kaget doang." Guman Saski sambil memaksa senyum. Kepalanya pusing, sudah dua hari ia mengabaikan rasa sakitnya itu."Gaya-gayaan sih, lo, nggak bisa pecicilan malah ikut jadi panitia. Demam kan," ujar Argi sembari menempelkan punggung tangannya ke kening Saski yang reflek memundurkan tubuhnya."Jangan pegang-pegang." Nyolot Saski."Ck. Bentar doang," paksa Argi menarik tangan Saski sehingga memajukan posisi duduknya lagi. "Panas banget, Sas, ke dokter ya, gue antar."Saski menggelengkan kepala, ia malas ke dokter, pasti banyak minum obat. Ia selalu menolak hal itu."Ke dokter sana,
Suara sepatu hak tinggi yang dikenakan Dena mengiringi langkahnya berjalan tegap di belakang pak Galih, hari itu, tepat satu minggu sudah ia bekerja di perusahaan besar yang semua orang baik kepadanya. Pak Galih meminta Dena ikut dengannya menghadiri rapat yang seharusnya, sudah dilakukan dua hari lalu, namun, berhubung anak sulung bos-nya itu sakit karena jatuh saat sedang olahraga basket sehingga kakinya terkilir, mau tak mau, pak Galih memundurkan jadwal rapat penting itu."Semua sudah siap, kan, Dena?" tanyanya."Sudah, Pak, sesuai yang Bapak minta." Jawabnya tegas. Dena berjalan sedikit cepat, ia membukakan pintu ruang rapat yang ada di lantai dua puluh satu gedung itu, sudah banyak orang menunggu, Dena segera kembali berjalan di belakang pak Galih dan duduk sedikit pojok kanan belakang kursi yang ditempati bos-nya itu. Ia mengeluarkan tablet, juga alat perekam. Pak Galih selalu membebaskan Dena bekerja dengan cara wanita i
Semalam, saat Dena kembali pulang ke rumah, kedua orang tuanya curiga dengan wajah sembab putrinya. Setelah ditanya juga didesak, Dena akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Tanpa pikir panjang, papa segera menelpon Prabu, untuk mendaftar surat cerai putrinya. Dena menolak, ia tak ingin bercerai sebelum bisa mendengar pengakuan Tara jika ia tak mencintainya lagi. Sayangnya, hati orang tua yang sudah terluka, tak bisa Dena halau. Hanya air mata yang bisa Dena tumpahkan sambil memeluk mamanya yang juga terisak pilu.Tragis, nasib putri yang ia kandung, lahirkan, dididik dengan baik hingga besar, giliran tiba dipinang seorang pria, disakiti dengan mudahnya, oleh keluarga sang pria. Keterlaluan. Dena akhirnya pasrah, ia melepaskan semua ke Omnya saja. Prabu yang sudah tau duduk perkara, segera mendaftarkan gugatan cerai itu.Ia menatap pantulan dirinya pada spion tengah mobil, jam tujuh tiga puluh, ia tiba di toko roti perancis yan
Bibir Dena terkatup rapat. Bahkan saat menikmati makan siang masakan jepang itu, ia tak bersuara satu kata pun. Hal itu membuat pak Galih bingung, tapi sungkan untuk bertanya ke asprinya itu. Istri pak Galih tidak ikut makan siang, setelah mengantar obat dan vitamin, ia bergegas pergi karena harus ke sekolah anak keduanya yang masih SMP kelas tiga. Ya... bisa dikatakan pak Galih dan istrinya memang terlambat menikah, pasalnya, di masa lalu, keduanya merupakan rival di perusahaan yang sama dengan nama berbeda. Sama-sama menjabat CEO sehingga melupakan kisah asmara. Alhasil, setelah istri pak Galih merasa jika ia sudah saatnya menikah, seketika, pak Galih langsung melamar, yang ternyata, kedua sudah saling suka sejak lama. Lucu, kadang tanpa di sadari, cinta dan jodoh sedekat itu."Dena, bisa kamu hubungi orang HRD, bilang kalau dua hari lagi, Adim resmi bekerja di kantor kita, masuk departemen keuangan sebagai kepala audit intern."