Share

Tidak ada harapan

Author: Sandi Hasan
last update Huling Na-update: 2023-12-05 16:01:10

Mataku terasa begitu berat, saat aku terjaga ternyata anak-anakku sudah tidur di sampingku. "Ya Tuhan, sakit sekali," gumamku seraya memegang pipiku yang begitu sakit. 

Aku berusaha untuk berdiri, ingin mendekati cermin untuk melihat keadaan wajahku. Benar saja, wajahku merah dan mataku terlihat berwarna biru akibat memar. 

 "Kejam sekali dia, aku sedang hamil, tapi dia melakukan ini padaku," geram ku dalam hati sambil air mata kembali mengalir di pipiku.

 Kedua anakku yang sedang terlelap di sampingku begitu menarik perhatianku, masih mengenakan baju yang sama seperti sebelumnya. "Maafkan Mama, Nak, maafkan Mama karena sudah membuat kalian terlelap sendiri," ucapku lembut dengan suara yang hampir tak terdengar, saat mengecup kening mereka.

 Aku melirik jam dinding dan baru sadar sudah malam. Ternyata waktu berlalu begitu cepat semenjak aku pingsan. Namun, apa yang membuatku kaget adalah tidak menemukan keberadaan suamiku, Mas Surya. 

"Sungguh jahat sekali Mas Surya padaku, kenapa dia begitu tega melakukan ini? Apakah dia tidak mencintaiku lagi, atau Nayla  yang membuatnya melakukan hal ini?" Gumamku dalam hati, mencoba menenangkan diri diatas perasaan kecewa dan marah yang mendera.

Aku bergegas menuju dapur untuk mengambil batu es, berharap dapat meredakan memar di wajahku. Sambil memegangi batu es di wajah, aku mencoba menelan obat pereda nyeri agar sakitnya bisa berkurang.

 "Anak-anak butuh perhatian, aku tidak bisa membiarkan diriku terpuruk seperti ini," batinku sambil merasakan sakit yang menjalar ke sekujur tubuhku.

 Keesokan paginya, aku berniat untuk melaporkan perbuatan kejam anaknya ini kepada ibu mertuaku. Setidaknya, dengan ibu mertuaku, aku bisa berbicara dan meminta dukungan, meskipun responsnya mungkin tidak akan terlalu antusias.

 "Kenapa ya keluarga mereka terlihat begitu tidak menyukai aku dan orang tuaku? Padahal kami sama-sama dari keluarga terpandang," gumamku pelan, seraya berusaha menahan rasa perih di hatiku. 

 Malam itu, aku berjuang untuk menahan tangis dan rasa sakit, tidak ingin anak-anakku terbangun dan melihat penderitaanku. Aku tahu mereka baru saja menghadapi banyak pengalaman baru yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. 

"Besok pagi, aku harus melaporkan hal ini kepada orang tuanya, walaupun aku merasa ragu akan reaksi kedua orang tua Mas Surya. Tapi, ini harus kulakukan, karena tidak ada pilihan lain," aku bergumam lirih, mencari keberanian untuk menghadapi hari yang akan datang.

.......

Keesokan paginya, aku terbangun lebih awal dari biasanya dan mencari-cari Mas Surya di sekitar rumah. Sejak semalam, aku tak tahu kemana dia pergi.

 Namun, hari ini aku sudah bertekad untuk membawa kedua anakku menemui mertuaku. Walaupun aku masih ragu apakah mereka akan mendengarkan apa yang hendak ku sampaikan, setidaknya aku bisa merasa puas karena perasaanku telah tersampaikan kepada mereka.

 "Ayo, Nak, ikut Mama dulu," kataku kepada kedua putraku yang terlihat sangat bahagia, terutama saat mendengar bahwa kita akan pergi ke rumah nenek mereka. Walaupun mereka tidak terlalu akrab dengan kedua mertuaku, tapi selama ini mereka tetap memberikan dukungan untuk kehidupan kami melalui Mas Surya.

Dalam hati, aku merasa gugup dan bingung tentang bagaimana nanti pertemuan ini akan berlangsung. "Apakah mertuaku akan marah kepadaku? Atau mereka justru akan mendukungku?" gumamku. Namun, tekadku sudah bulat. Aku harus menjalani ini demi kedua anakku dan kebahagiaan keluarga kami.

 "Kita mau ke rumah Nenek, ayo," ujarku semangat sambil merangkul kedua putraku.

Aku menyalakan motor dan segera mengenakan masker untuk menutupi wajahku yang memar. Beruntung rumah mertuaku tidak terlalu jauh dari rumahku, sehingga dalam waktu kurang dari sepuluh menit aku sudah tiba di depan rumah mereka. "Ayo turun, Nak," ajakku pada kedua anakku yang terlihat murung dan kecewa. Aku tahu mereka kecewa karena nenek yang mereka maksud adalah orang tua dari pihakku, bukan orang tua Mas Surya. 

 "Mama, aku nggak mau ke rumah nenek yang ini," keluh anakku dengan wajah sedih. Aku berusaha memberi semangat dan menjelaskan bahwa nenek di sini juga sayang dengan mereka. 

"Sudah, ayo turun dulu, yaa. Nenek yang ini sama saja dengan nenek yang di sana, hanya saja nenek yang ini sibuk bekerja, banyak usahanya, kan?" ujarku sambil tersenyum dan melepaskan masker yang menutupi wajahku. Mengumpulkan keberanian, aku menarik nafas dalam-dalam dan mengetuk pintu rumah besar itu. 

"Assalamualaikum," ucapku dengan suara yang sedikit gemetar. Tak perlu waktu lama, akhirnya pintu pun terbuka dan kami pun diizinkan masuk

 Dan sesuai dengan dugaanku sebelumnya, wajah ibu mertuaku tampak datar saat melihat kedatangan kami, padahal aku bersama cucu kandungnya. 

"Ibu," aku langsung mencium tangannya, walaupun dia menolaknya dengan tegas,

 "Tidak usah." Aku mencoba untuk tidak kecewa, karena memang sejak awal dia tidak pernah menyukaiku. Entah apa alasan sebenarnya, aku tak pernah tahu apa yang salah dalam diriku.

 "Ada perlu apa kemari?" ujarnya sambil langsung duduk di kursi, dan aku pun mengikuti nya, bersama kedua putraku.

 "Jangan nakal, pergi main di sana," ucapku pada anak-anak, mengarahkan mereka bermain di dalam ruangan agar tak mendengar pembicaraan kami. Keduanya pun langsung berlari kegirangan,

 namun terhenti ketika ibu mertuaku berteriak, "Eh, jangan nakal, nanti gucinya pecah! Duduk yang baik, jangan lari-lari!" Dia tampak kesal, namun aku mencoba untuk tetap tersenyum walaupun sebenarnya itu sangat menyakitkan hatiku.

 "Tidak apa-apa," batinku, berusaha untuk berpikir positif. Aku mencoba memahami bahwa ini mungkin adalah hal yang wajar, seorang nenek mengomeli cucunya. Namun, bukan kebahagiaan sejati yang aku rasakan ketika melihat sikap ibu mertua yang tak pernah berubah. Aku hanya bisa berharap suatu saat, dia akan menerima aku sebagai bagian dari keluarganya.

"Aku mau pergi ke toko, katakan ada perlu apa? Apa kebutuhan dapurmu habis?" Tanyanya sambil membuang muka, seolah-olah tidak ingin melihat wajahku sama sekali.

 "Apa aku begitu hina di mata ibu mertuaku, sampai dia tak mau berbicara sambil memandangku?" batin ku. Padahal aku ini menantunya dan dia juga tak memiliki anak perempuan. 

"Tidak Bu, aku tidak meminta itu. Kedatanganku kemari karena Mas Surya, memukulku. Dia sudah melakukan kesalahan fatal, berselingkuh di belakangku. Aku tak tahu lagi harus bercerita kepada siapa Bu," ujarku tak mampu menahan air mataku, tangisanku semakin menjadi-jadi.

 Tapi jawaban mertuaku benar-benar membuatku bertambah sakit. "Hanya itu saja yang ingin kau sampaikan?"

 "Bu, rumah tanggaku sedang tidak baik-baik saja, aku mohon ibu nasehati Mas Surya. Kasihan anak-anak kami Bu," pintaku dengan harapan besar agar mertuaku mau membantu menyelamatkan pernikahan kami.

"Aku rasa ini masalah kalian, namanya rumah tangga tentu saja banyak masalah, apa lagi sejak awal aku memang tidak mau ikut campur, urusan kalian, kalau sekiranya kamu sudah tidak tahan dengan putraku, ya sudah minta cerai saja."

 Mendengar ucapan yang keluar dari mulut ibu mertuaku, darahku langsung berdesir. Aku tak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu padaku. Apakah dia tidak pernah berpikir betapa sulitnya bagiku untuk menghadapi suami yang tak lagi mencintaiku? Apakah dia tidak menyadari betapa aku telah berusaha menenangkan gelombang masalah dalam rumah tangga ini, terutama demi anak yang kami cintai? Bukan semudah itu untuk mengakhiri hubungan ini. Bagaimanapun, kami ini sudah berkeluarga, memiliki anak, bukan pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran. 

Aku benar-benar merasa frustrasi, kalau di tengah masalah yang melanda, keluarga sekalipun hanya bisa memberikan dukungan sebatas kata-kata. Sepertinya, aku benar-benar harus berjuang sendiri demi kebahagiaanku dan anak-anak. "Mungkin jika berbicara lagi padanya, ada perubahan yang bisa terjadi. Tapi, apakah itu bisa menghapus sakit hati dan kekecewaan yang kurasakan selama ini?" gumamku lirih dalam hati, berusaha mencari jalan keluar terbaik

dari labirin perasaan yang tak kunjung mendapatkan titik temu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku menanggung karma Ibuku    Tidak mau di salahkan

    Salamah tersenyum puas atas kejadian malam ini, sebenarnya dia sendiri tak menyangka bisa melakukan hal sekejam ini. "Mungkin ini adalah warisan sisi jahat ibuku yang menular padaku, tapi entah mengapa, ada perasaan bahagia yang kini menyelimutiku," gumam Salamah dalam hati. "Ini belum seberapa, Nayla. Kau harus merasakan betapa dalamnya luka yang kurasakan sekarang!" Salamah terlihat semakin terobsesi oleh rasa dendam yang sudah merasuki hatinya. "Bahkan, aku sudah melangkah sejauh ini, untuk bisa membalas rasa sakit yang sudah menyeruak di dada," gumamnya lagi, sembari merenung apa yang telah ia perbuat. "Walaupun aku tahu Mas Surya juga berbuat salah, tapi seharusnya Nayla juga bisa menolak ajakannya, jika dia perempuan baik-baik. Karena hidup ini penuh dengan pilihan!". Dengan pikiran yang kian terkoyak antara kebahagiaan dan penyesalan, Salamah mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang telah ia lakukan adalah langkah yang tepat demi melampiaskan dendam yang telah lama ia penda

  • Aku menanggung karma Ibuku    Rasa sakit yang sama

    Salamah tersenyum sinis, saat mendengar kabar dari salah satu temannya bahwa Nayla baru saja pulang dari rumah sakit.Dalam hati, dia bertanya-tanya, "Apa kau merasa kesakitan, Nayla? Apakah itu sebanding dengan sakit yang pernah aku rasakan?" Salamah melemparkan handphonenya ke atas kasur, lalu teringat betapa ia kehilangan anak yang selama ini dinanti.Memegang perutnya, air mata berlinang deras, perasaan luka mendalam itu tak mampu ia ungkapkan."Tidak mungkin aku bisa merasakannya lagi," gumamnya perlahan."Kau masih beruntung, Nayla, karena kehamilanmu baik-baik saja. Tapi, di lubuk hati, aku berharap anak itu tak bisa lahir ke dunia ini."Salamah terlihat begitu penuh kebencian karena sebagai seorang ibu, kehilangan anak terlebih anak perempuan yang selama ini diharapkan membuatnya merasa hancur dan tersiksa."Aku tak sabar melihat dia semakin menderita!" lirih Salamah, kemudian memukul tembok dengan kedua tangannya. Emosi ini mungkin wajar, mengingat bagaimana perasaan terluka

  • Aku menanggung karma Ibuku    Hampir keguguran

    Nayla menangis tersedu-sedu sambil pulang ke rumah, merasa marah dan sedih. Dalam hati, ia meratapi nasib buruk yang menimpanya. "Mas Surya, mengapa kau tega? Aku di sini dengan perut yang membesar, namun kau malah sibuk bersama perempuan itu," keluhnya dengan air mata yang masih menetes di pipinya. Tiba di rumah, Nayla langsung masuk ke kamarnya dan menangis sesegukan. "Dia bahkan hampir seminggu tak pulang ke rumah. Apa lagi yang kuinginkan darinya? Apakah aku masih kurang?", keluhnya lirih. Tanpa disadarinya, tangisannya terdengar oleh ibunya yang baru saja pulang dari acara yasinan. Ibu Nayla sudah terbiasa dengan cibiran orang-orang terhadap dirinya dan keluarganya, namun tak bisa berbuat apa-apa karena kesalahan memang ada pada anaknya. "Kenapa kamu menangis Nak?" tanya ibunya dengan kekhawatiran. Namun Nayla, yang terlarut dalam kesedihannya, hanya diam, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ibunya. "Nay, kamu baik-baik saja Nak?" tanya ibunya kembali dengan nada lembut

  • Aku menanggung karma Ibuku    Harus Sama

    Aku tertawa puas sekali, sampai kembali ke kantor. "Ini baru awal, kenapa aku jadi menikmati permainan ini?" Gumamku dalam hati.Ketika sampai di ruang kantor, ternyata teman-teman satu ruangan sudah mengetahui apa yang terjadi tadi. Aku menyadari bahwa kabar ini telah menyebar lebih cepat daripada yang kubayangkan."Aku rasa Intel yang melaporkan pada kalian patut diberikan apresiasi, karena sudah melaporkan kejadian siang ini," kataku dengan nada ironis.Salah satu temanku segera menyahut, "Tentu saja Sal, apalagi jika Intel itu adalah Pak Andi, kau tahu kan, wajahnya begitu terlihat kecewa saat menceritakan apa yang dia lihat tadi.""Masa?" gumamku lagi."Iya, Sal, kamu sih, pakai acara bertemu dengan mantan kamu itu. Kalau aku jadi kamu, jangankan untuk bertemu, melihatnya saja tidak sudi!" timpal temanku.Aku langsung menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaan yang sedang kacau. "Andai saja kalian yang berada di posisi ku, aku yakin kalian tidak akan semudah itu untu

  • Aku menanggung karma Ibuku    Bagaimana rasanya

    Mas Surya tampak sangat bahagia saat berbicara denganku. "Kamu makin cantik," ucapnya dengan wajah yang menunduk. Aku tersenyum, berusaha untuk tidak terbawa dalam rayuannya. Walaupun sebenarnya di dalam hati, aku merasakan degupan yang lebih kencang. "Mana Nayla? Aku sedang menunggu kehadirannya," pikirku dalam hati. "Terima kasih, Mas, untuk pujian tersebut, tapi aku rasa Mas lebih pantas memberikan pujian itu pada Nayla, bukan padaku," kataku sambil tersenyum. Namun, Mas Surya malah menjawab, "Tidak, jangan bahas dia lagi, Salamah. Jujur saja, aku menyesal sudah menikahi dia. Ternyata dia bukan perempuan yang sabar seperti kamu." Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berbicara seperti ini? Entah mengapa, di tengah perasaan terkejut, aku merasa ada tugas yang harus kuselesaikan untuk Nayla. Tanpa Mas Surya sadari, aku sengaja merekam pembicaraan ini, untuk dikirimkan pada Nayla nanti. Aku berharap semoga ini bisa membantu Nayla untuk mengetahui, siapa Surya yang menjadi suaminya

  • Aku menanggung karma Ibuku    Perasaan itu masih ada

    Hari ini, aku berdandan dengan sempurna, lengkap dengan wewangian yang memenuhi ruangan kamar.Aku ingin tampil percaya diri, tetapi tidak menyangka akan ada yang memuji penampilanku seperti ini lebih awal"Wah, Mama cantik sekali!" seru Nabil dan Yahya sambil langsung memelukku.Aku kaget saat mendengar suara kecil tersebut, masuk kedalam kamar pagi-pagi "Iya dong, Mama siapa dulu?" sahutku sambil mencubit hidung mungil mereka, yang mirip banget dengan Mas Surya.Aku terkejut mendengar perkataan Nabil berikutnya. "Mama, jangan cantik-cantik nanti banyak yang naksir."Sejenak aku bertanya-tanya, "Siapa yang mengajari anakku bicara begini?" lalu kuberkacak pinggang, berpura-pura marah."Hei, siapa yang ngajarin Nabil berbicara seperti ini?""Papa dong, kabur!" seru mereka sambil berlari keluar dari kamarku.Mendengar jawaban itu, aku mulai berpikir. "Jadi, Mas Surya ternyata mengajari anak-anak ini agar menjadi mata-mata baginya? Pantas saja, dia selalu mengetahui setiap gerak-gerikku.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status