Share

Mendapat hukuman

Aku ingat saat berkunjung di asrama kali pertama dan berusaha membaur, untuk menambah masa tinggalku lebih lama, mungkin untuk menghindari keisengan mereka. Saat ini kembali ke kamar tidur yang berantakan setelah kutinggal beberapa hari. Ada saat-saat ketika ruangan tampak lebih dingin di dalam daripada di luar dan aku tidur karena seprai yang terasa dingin dan lembap, kupastikan di beberapa bagian. “Anjing ... ah si Kribo bikin ulah ini, pasti dia yang berbuat di sembarang tempat."

Aku paham, anak satu itu kecenderuangan lebih bergairah, asli bau busuk, mungkin tidak sadar dia bahwa berhubungan dengan kain fakta bahwa jamur tumbuh tidak terkendali di bekas kain yang dipakai. Napsu itu tumbuh di sebuah ruangan di mana, alih-alih ruang kosong dan pikiran mengembang ke penjuru dunia dewasa, terkadang aku juga begitu, tidak hanya Kribo.

Menjelang sore berbeda. Kribo punya rahasia yang harus dia katakan, apa pun yang diungkap, aku menjadi pendengar yang baik.

“Ibumu datang, Siva.”

“Kan kamu sudah bilang padaku.”

“Iya, hanya mengulang saja.”

“Ingatanku masih normal. Ibuku bilang apa?”

“Emm,” ada keraguan pada diri Kribo. “Setelah menghadap kepala sekolah, ke asrama, terus dia tanya soal kamu, itu saja sih.”

“Iya tanya apa?”

“Kalau menurutku, kamu harus temui Ibumu, Siv.”

“Jawab aku!” konyol, seperti permainan pura-pura menjadi agak kucing-kucingan dan apa yang mungkin dia rahasiakan … hanya akan merugikan dirinya sendiri, aku tidak akan pernah datang ke rumah lagi.

***

Malam sesudahnya, mengobrol dengan tetangga kamar, sudah agak tua. Aku memperhatikan gaya bicaranya radak meninggi, sombong, apa yang disombongkan, aku hanya basa-basi dalam mendengarkan topik tidak penting itu, ya, dia namany Deep. Beberapa yang melintas telah mendengar percakapan, sangat penasaran, itu mungkin, apu pun jika aku seperti mereka akan merasakan hal yang sama.

“Kacau, asrama hanya namanya, isinya penuh dengan manusia sampah.”

“Hah?” Deep, tidak paham apa yang kukatakan, mulutnya menganga dengan penasarannya. Dia adalah gadis bongsor, usia jauh dibawahku tapi wajah seperti lima tahun di atasku.

“Maksudku tidak teratur, lihat saja, ini jam sepuluh malam, tapi penghuni masih berseliweran,” jelasku.

“Termasuk bergosip seperti kita.”

“Iya, haha ….”

Dan … gadis kecil bajingan melintas, punya mulut tapi tidak dipergunakan dengan semestinya, “dasar cewek murahan, jam segini masih mangkal,” mengumpatnya yang bisa kudengar sangat jelas. Aku sangat senang dengan tantangan; mengungkapkan kekesalam tidak perlu dengan kata-kata untuk selesai dan yang kudengar itu perlu penghakiman.

Ditambah tidak memiliki pemahaman tentang berdamai dengan kata maaf, “apa itu cewek murahan?” aku tahu itu untuk menantangnya, logatnya yang menjijikkan sok orang dewasa, ingin segera kusumpal mulutnya dengan telapak tangan.

Plak! Plak! Plak!

Ketika setiap jatah pipinya dan dari bibirnya berdarah-darah, sekeliling yang menyaksikan ricuh, aku menemukan diriku berjuang untuk kebenaran, tidak membenarkan dengan rasa ngeri di era sekarang masih saja banyak yang nyinyir alias banyak mulut dan ketidakpercayaan yang semakin meningkat pada orang asing.

“Siva, sudah!” Deep berusaha menahanku dan merenggangkan tubuhku dari mangksa yang kucengkram. Akhirnya, dengan air mata yang kini membasahi wajahnya, dia berlari secepat mungkin, menuruni anak tangga dan aku tebak, dia pasti langsung mengadu kepada petugas bodoh, di asrama.

“Hah, Deep … apa yang terjadi? Kenapa Siva? Apakah kamu terluka? Apa kamu dihina Siv?” tanya kribo baru datang.

“Telat. Sudah sana pada bubar!” minta Deep.

Butuh beberapa detik untuk melangkah, dan berpikir jernih. Aku tahu akan membuat kekacauan, semuanya akan disidang. Tetapi, ketika aku beranjak dari lokasi bekas perkara, Deep menyatakan peringatan, membuat terkejut aku dan Kribo; “hati-hati kamu Siva, pacar si anak yang kamu tonjok, anak pemilik Yayasan ini, jadi siap-siap saja!”

“Oh, ancaman, kah itu?” tanyaku melintir peringatannya.

“Bukan, itu supaya kamu lebih bijak kedepannya sebelum membuat keputusan buruk.”

“Ya, er-ra-la … whatever.”

***

“Aku pikir, aku akan dikeluarin, dan hanya disuspensi seminggu. Gokil … ini sekolah santai banget.”

“Iya, aneh bingit ya Siv.”

“Banget!”

“Apaan sih Siv, aku hanya menirukan dialek anak jaman now.”

“Norak!”

Kulihat ke belakang wajah Kribo, lebih satu meter jaraknya, aku masih tidak yakin apakah masa bercanda tidak akan lagi kudapatkan. Ini seperti takdir yang sudah mendaur ulang supaya aku tidak bisa merasakan kebebasan dengan teman-teman, seperti anak pada umumnya.

“Siva!”

“Hah, iya, haha. Aku mau berkemas dulu ya!”

“Kenapa dibawa? Kan hanya seminggu saja.”

Omongan itu rupanya akan membekukan pikiranku, dan bahwa aku harus berbohong dari ketidaktahuannya. “Aku tidak ada baju ganti di rumah, semua sudah diamalkan, diberitahu Ibuku tadi,” aku kemudian berasumsi bahwa, dengan berdiam adalah yang terbaik.

***

Pikiranku, gadis kecil, tidak ada kata yang pernah diucapkan sejak awal setelah meninggalkan asrama. Aku telah mengalami beberapa kekhawatiran, bahwa semua kehidupanku tidak seperti yang terlihat seperti wajar. Anak-anak lain tahu lebih banyak tentang waktuku dan perilakuku, daripada ibuku.

“Oh Tuhan, kemana aku harus pergi? Ibu? Ah, nggak mungkin. Leo? Aku lagi marahan,” aku sekarang sudah dewasa, betapa anehnya aku tidak dapat menentukan jawaban sendiri, alami, aku bebal dan tidak masalah seperti itu selalu terhambat oleh cara sendiri. “Leo, aku harus menghilangkan gengsi, dia pasti memaafkanku.”

Jika aku memiliki inti dari diriku sendiri, mengapa aku tidak ingat bahwa aku bisa melakukan sendiri, apa pun itu. Mungkinkah ... bahkan di usia mudaku dengan cara tidak terkontaminasi dan cenderung membelenggu. Dan tanpa kusadari, untuk tidak marah, tidak bisa aku menyembunyikannya. Yang kulihat, faktanya adalah bahwa dari depan pintu kamar Leo, saat awal akan kugedor begitu saja, mata tertuju ada sebuah wedges berwarna abu-abu. Dan, bahkan jika aku tidak mendengar apa yang terjadi, tidak jadi masalah, tapi ini tawanya mengiang.

Aku pikir, Leo tidak akan menyangkal lagi dan begitu banyak hal yang terjadi: penjelasan instan tentang mengapa ada seorang wanita dan lebih tua daripada usianya. Tidak peduli akan marah, semua kulakukan demi harga diri. “Leo, kita putus!”

Namun, bagaimana mungkin Leo dan wanita jalang itu mengelak? Itu hanya membuat tidak lagi menjadi Leo yang kupercya. Tanpa embel-embel sanggahan dan aku langsung membanting pintu kamarnya saat pergi. “Mengapa Leo berbohong padaku? Mengapa semua orang melakukan padaku? Oh Tuhan!”

Kemudian, terisak-isak di tempat umum, menangis sesekali, di terminal jalu dua Blok M, ada banyak orang memperhatikan. Karena butuh waktu menemukan cara untuk pergi kemana, secara umum bagi banyak orang menilai bahwa aku sedang gila.

Setelah beberapa menit berlalu, sebagai anggapan ini sudah berlalu, aku butuh menjelaskan pada Kribo, supaya tidak terulang lagi seperti saat ibu mendatangi asrama; “Kribo, aku tidak jadi ke rumah, kalau Ibuku datang, bilang ya! Aku sedang di kost Leo. Katakan juga, jangan khawatir!” itu kusampaikan dalam bentuk pesan teks.

“Huh ... lega, aku sudah selesai,” kurogoh isi kantong, “hanya segini, dapat apa ini?” kumasukan kembali ke kantong, uang pecahan lima puluh ribuan berjumlah empat lembar.

Belum menemukan arah, sampai hari telah membawaku ke sebuah stasiun kereta api, pada usia ketika seseorang dapat mulai menikmati remajanya, aku malah terlunta-lunta atas konsekuensiku sendiri. Wajah mendidih dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca, bingung bagaimana cara aku bisa mendapatkan tiket kereta tanpa memerlukan kartu identitas, yang orang menyebutnya-KTP.

-o0o-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status