Saat itu sudah sangat malas aku akan bangun, terlambat ke sekolah juga aku tidak peduli. Leo telah tiada saat aku membuka mata, dia memberitahu bahwa mungkin akan pulang sedikit terlambat, ada latihan basket. Kuambil surat yang ditulis dan kubaca ulang hingga beberapa kali. Dibawahnya terdapat uang dengan lembaran lima puluh ribuan dengan jumlah dua lembar. “Ini untuk beli sarapan dan untuk jajan,” katanya.
“Ah aku tidak sabar ingin bertemu Leo lagi.”
Sambil menunggu kedatangannya, kuintai seluruh sudut dan bidang dari barang-barang yang ada di kamarnya. Tetapi, mataku tertahan pada sebuah benda yang berdiri di atas lemari pakaiannya. Sebuah bingkai, namun bukan perkara bingkainya, yang menjadi mataku melotot adalah foto yang ada di dalam bingkai.
“Ini apa sih maksudnya Leo!?”
Meskipun Leo tidak memberitahuku, aku bisa menebaknya bahwa dia juga memiliki masalah pribadi, dan aku tidak yakin jika dia telah menghianati cintaku.
***
“Halo … Kribo ada apa menelponku?”
“Siva, kamu kapan kembali sekolah?”
“Aku baru juga kemarin pergi, ada apa Kribo? Kamu kangen? Apa kamu kangen dengan gaya jariku?”
“Ah jangan bercanda, itu nomor dua saja, sekarang kamu di mana?”
“Ada.”
“Ada di mana?”
“Di rumah.”
“Ah, jangan bohong kamu. Ibumu datang ke sekolah dan tadi juga mencarimu ke asrama. Sekarang kamu di mana?”
“Ibuku?”
“Siva, sudah ya … jangan main kucing-kucingan.”
“Bilang padanya, jangan mencariku, aku sudah bahagia dengan pilihan hidupku!”
Aku detik itu juga telah berubah menjadi anak yang jahat, benar-benar tidak pernah tertarik pada hubungan keluarga yang utuh. Ibu memperlakukannya dengan baik ketika tidak sedang bersama pria muda, pria yang memuaskan libidonya.
Selama beberapa tahun, ini yang pertama dalam hidupku, ibu datang. Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah: Apa yang harus aku lakukan? Jawaban itu kadang adalah –meninggal. Kenyataannya adalah, terlepas dari pengaruhnya terhadap hidupku, sekarang sulit bagiku untuk mengkritisi keputusan yang dibuat begitu lama dan dalam keadaan tertekan seperti itu. Aku benar-benar merasakan rapuh.
“Saat kamu pulang dan aku tidak ada, lalu kamu menemukan secarik kertas yang kutulis, katakan kamu siap membacanya. Aku akan pergi, sebentar, jangan mencariku Leo … jangan juga rindu. Katakan dalam doa bahwa aku sedang baik-baik saja!
Salam, Siva”
Catatan yang sempat kubuat di secarik kertas lusuh yang kutemukan dari bawah kolong ranjang. Aku susah payah untuk menulisnya, pulpen yang hampir sekarat dan tidak muncul tinta pada kertas, perjuangan akan menulis sebanding dengan perjuanganku untuk hidup.
Aku merasa senja tak lagi menyenangkan seperti dulu, sawah berlantaran dan dihiasi awan merah yang menyala, seharusnya itu bagus, tapi ini buruk. Aku sudah muak menyaksikan alam yang tak bersahabat dengan jiwaku. “Ibu … seperti awan ini, aku benci senja yang seram penuh dengan nyala. Semua lingkaran kabut menyuguhkan jiwa Ibu. Bisakah segera malam saja ….”
“Siva …,” Leo tiba-tiba berada di belakang. “Kamu kenapa ke sini? Sebentar lagi malam, ayo pulang!”
Kulihat langkahnya lebih dulu, kemudian berbalik dan menatapku kembali, “ayo!”
Tidak kurespon ajakannya, sampai pada akhirnya dia menggendongku. Dia menggendongku di belakang. “Leo, aku mau tanya.”
“Aku tidak melarangmu.”
“Apa kamu akan meninggalkanku juga?”
Leo tidak menjawabku, dia berhenti melangkah, lalu berjalan kembali.
“Aku sungguh tanya.”
“Kita bicara di kost saja ya! Kamu butuh istirahat sekarang.”
Kueratkan pelukanku padanya saat Leo berusaha mempercepat langkahnya agar cepat sampai. Mataku pun sudah tidak normal, air mata kubiarkan tercurah dan secara langsung sudah merembes di permukaan baju bagian belakang milik Leo.
***
Hidupku sejauh ini selalu berubah campuran kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan dan keputusasaan saat bersama Leo. Namun, melihat mata Leo memandang selama beberapa detik, suatu hari di musim hujan bulan Desember, sebagai salah satu terburuk dalam seluruh hidupku. Aku pernah melupakan perasaan dingin dan tenggelam di perut, saat itu, lalu dibantu ibu yang mengosokan minya-mint untuk penghilang masuk angin.
"Aku tahu, Ibumu sebenarnya sayang padamu."
Melihat kata-kata yang terucap oleh Leo, tidak dapat menyampaikan rasa takut sedingin yang mencengkeram, untuk memahami situasinya. Apa yang dia maksud? Sungguh hal yang menijikan, betapa bodohnya untuk mengatakannya. Atau apakah dia memang bohong? Tentu saja aku sangat membenci ibuku: seperti sudah terjadi, semua kulihat, dia adalah wanita liar.
“Kamu kenapa diam?”
“Entahlah Leo, aku sedang tidak ingin berpikir banyak hal.”
Baru saja selesai melipat pakaian sekolah milik Leo, dan dia duduk di sebelahku, masih mengenakan seragam sekolah, celana abu-abu, menggertak-batinku. Dari kekacauan membuatku kesal, aku yakin bahwa akan segera menghilangkan perasaan ketidaknyamanan yang menakutkan … untuk segera berangkat sekolah.
“Seberapa salah Ibumu?”
“Aku menjadi gadis kecil yang sangat bahagia, itu dulu, sampai ketika dunia berbalik, masa sekarang yang penuh kasih jadi berantakan. Itu adalah masa ketika aku mengetahui bahwa semua orang yang aku cintai dan aku percayai, telah berbohong kepadaku.”
Aku menangis lagi. Dengan mengingat pelajaran normal di sekolah, dan dengan aku berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan diri sendiri. Leo selalu bercanda bahwa jika suatu hari akan selalu ada harapan. Kami di antara sebuah gelas dengan dua pipet, minum bersama penuh canda.
“Haha, kamu suka?”
“Suka.”
“Ke Leo?”
“Susu jahe.”
“Yasudah, aku marah.”
“Leo juga.”
“Haha.”
***
Bagiku, insiden intimidasi batin itu mudah ditangani: “Aku hanya harus membela diri sendiri, ya kan Leo?”
“Urungkan niatmu untuk berbalas dendam! Kamu anaknya. Peluk dia jika perlu!”
“Iya, kapan-kapan, tapi –”
“Apa?”
“Aku mau kamu bisa jelasin!” lebih tepatnya aku menunjuk bingkai. "Jangan bilang dia pacarmu," aku curiga.
"Dia sudah pergi dan di bunuh masa saat itu, alih-alih menghentikan tawuran tapi malah yang terkena pukulan.”
“Pacar?”
“Adik.”
Dalam pelajaran itu, tidak seharusnya aku menilai sesuatu yang aku belum tahu kebenarannya.
Aku jatuh telentang di kamar mandi sehabis membersihkan diri, mengangkat dirinya sendiri… dan jalan sambil menangis. Melihat ke sekeliling, Leo tidak ada (hanya aku sendiri) berusaha cara yang baru kutemukan kain pengikat luka untuk lututku. Pada suatu sore yang tak terlupakan, aku menyuruh Leo berlutut dan mencium lukaku untuk menebus kesalahnnya telah meninggalkanku seorang diri di kamarnya.
Salah satu kenangan, sebagai pacarnya adalah selalu bersikap dingin di kamarnya. Itu adalah caraku; jenis secara halus untuk menyadarkannya.
“Jangan marah!”
“Kalau kamu tidak suka, pergi saja!”
“Ini kamarku.”
“Oh, jadi kamu mengusirku, berarti?”
“Bukan begitu.”
“Ah menyebalkan banget sih kamu, sudahlah aku kembali ke asrama saja.”
Itu juga merupakan salah satu bentuk caraku, dan berharap aku dicegah keluar dari maranya, ternyata tidak. Dan menabah kekesalanku melangkah dari ambang pintu kamarnya.
-o0o-
Aku ingat saat berkunjung di asrama kali pertama dan berusaha membaur, untuk menambah masa tinggalku lebih lama, mungkin untuk menghindari keisengan mereka. Saat ini kembali ke kamar tidur yang berantakan setelah kutinggal beberapa hari. Ada saat-saat ketika ruangan tampak lebih dingin di dalam daripada di luar dan aku tidur karena seprai yang terasa dingin dan lembap, kupastikan di beberapa bagian. “Anjing ... ah si Kribo bikin ulah ini, pasti dia yang berbuat di sembarang tempat."Aku paham, anak satu itu kecenderuangan lebih bergairah, asli bau busuk, mungkin tidak sadar dia bahwa berhubungan dengan kain fakta bahwa jamur tumbuh tidak terkendali di bekas kain yang dipakai. Napsu itu tumbuh di sebuah ruangan di mana, alih-alih ruang kosong dan pikiran mengembang ke penjuru dunia dewasa, terkadang aku juga begitu, tidak hanya Kribo.Menjelang sore berbeda. Kribo punya rahasia yang harus d
Ibuku tiba-tiba datang, bersama Kribo, dan mereka menyeringai di seberang dari aku berdiri. Dan di mana aku dalam semua ini … yang sebenarnya diikuti oleh mereka?“Ah, menyebalkan.”Di tengah kebingungan, mungkin tidak mengherankan bahwa Tuhan memberi kasih dengan mendatangkan mereka, di masa sulit.Sejujurnya, bagaimanapun, aku tidak bisa berpura-pura bahwa memiliki perasaan rindu, sama dengan anak-anak lain, dan sebagian besar teman di sekolah.Kompromi dari usia mereka yang lebih tua, Kribu dan ibuku, mereka membuatku merasa diperhatikan. Dalam kesadaran, aku dapat melihat mereka mendekat, sikapkuterhadap mereka agak canggung.“Siva, maafin Ibu ya!”“Hah?”Aku tidak pernah meragukan cintanya, tetapi, tiba-tiba mem
Kribo, dia selalu mengatakan kepadaku bahwa berada di asrama lebih baik daripada kehidupan kejam yang ada di luar sana. Dia tidak tahu, jika aku jalani di rumah bersama ibu jahat aslinya dan betapa kacaunya setiap hari.“Kamu menjadi seperti itu karena dibutakan atas satu kesalahan orangtua, Siv. Kamu harus pulang sesekali, meski sebentar.”“Apa kamu bilang, satu? Mereka banyak menyakiti aku. Ayaku dan Ibuku sama saja, mereka tidak peduli padaku Bo. Sudah ya, jangan ngomongin soal itu! aku muak.”“Aku pikir, kamu akan kuat melebihi aku. Keberanianmu saat melakukan aksi, aku ingat itu, dan aku rindu kamu yang seperti itu, Siv.”“Hm, entahlah, aku juga tidak tahu apa yang aku akan lakukan.”“Pulang! Pulanglah dan temui Ibumu!”
Aku menyusuri jalanan berumput yang layu karena senja sore. Langit masih kuning, sinar mentari belum tenggelam untuk tidak lagi menerangi bumi. Terik panas masih menyayat di kulit, membuatku beberapa kali mengosok-dosok lengan dan mata memicing sesekali. Rambutku masih semeriwing diterpa angin, efek hanyut dalam alam. Masih dengan baju tidurku, masih berjalan agak sempoyongan, karena lelah menopang tubuh sudah terkuras tenaganya.Tujuanku adalah toko obat, langkahku terhenti ketika melihat seorang diri sedang melamun di pinggir jalan. Dia duduk membelakangiku.Di luar sepengetauanku, saat melintasi dan berbalik, rupanya ....“Ali,” kataku setengah tidak yakin sambil mengucek-ngucek mata, agak dibuat heran. Tidak ada respon dari cowok yang kupanggil, bahkan berkedip pun tidak. “Ali ...,” teriakku, tetapi tetap saja, dia masih berdiam. Sedeki
Pemahamanku tentang fakta bahwa ada perbedaan yang jelas terlihat antara aku dan Leo. Seks di luar nikah sudah terjadi.Pada kesempatan yang tidak diharapkan, berhentisekolah, lalu perut semakin hari semakin membesar, itu yang ada dibenakku.Mengingat pada usia belasan tahun masih layak bermain dan bercanda di sekolah. Aku tidak polos, Itu semua sangat kututup rapat, dan semuanya biar waktu yang mengungkap.Ironisnya, aku sekarang menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak kusuka, sebagai seorang anak, aku selalu menjadi orang yang yang tidak berguna sekali dan tidak menunjukkan tingkat sensitifitas yang tinggi. Terlalu ada perubahan hormon, pemalu hamil, mungkin faktornya.Menjadi siswi pensiun dini bukan suatu keharusan, tetapi, untuk mempertimbangkan berbagai hal.Aku melihat lampu kamar ibu nampak gelap, dari halaman terlihat seperti bia
Salah satu dari banyak sore hari ketika aku menolak di antar ke tempat les-private oleh ibu. Dalam perjalanan pulang, aku telah bertemu dengan seorang Deep yang usianya lebih dari dua tahun mudanya dari usiaku yang menurutku adalah kandidat setelah aku tiada di sekolah lagi. Dia bercerita tentang sekolah: “Oh Leo, dia hebat. Dia selain pintar, dia anak kepala sekolah dan ternyata anak pemilik yayasan juga, aku serasa bertemu dengan idola—dan dia punya pacar ...,” bicaranya terhenti.“Tunggu!” aku memotong ucapannnya. “Kamu pernah bilang, cewek yang kutampar adalah pacaarnya anak pemilik Yayasan, berarti Leo dong pacaranya?”“Hem, keren ya ... satu tampan satu cantik.”“Kenapa tidak bilang dari awal?” aku berteriak, “cih ... cantik apanya, genit baru iya.”
Seks sekarang menjadi aktivitas yang sangat menyakitkan. Yang kuharap tidak akan ada lagi anak-anak di luar sana masuk dalam perangkap seks bebas atau pergaulan bebas dan sejenisnya, berakhir secepatnya dan membuat moral setiap anak lebih baik. Satu kali pemakaian kondom secara cepat kemudian, mungkin bisa tanpa, beberapa dorongan napsu, lagi dan lagi akan menjadi pecandu. Cukup aku yang menjadi anak bodoh.Aku tahu ibu sudah mengetahui bahwa aku sangat menyukai Leo, tetapi aku jelas mengalami masalah menduga seseorang, tidak mahir berasumsi tanpa fakta. Dia memelukku dari belakang dan mengelus rambutku, "dia harus tanggung jawab, membunuh masa depanmu itu menyakitkan bagiku, Nak. Tidak seharusnya kamu di perlakukan seperti ini."“tidak usah membalas, biarkan! Aku hanya mau fokus sekolah.”“Ibu, nanti menghadap kepala sekolah, soal kamu harus tet
“Jika banyak orang mengatakan hari ulang tahun adalah spesial, baginya mungking iya, tapi tidak untukku. Menjijikan dan aku benci hari ulang tahun.”Tidak pergi ke mana pun selain ke taman yang berada di belakang rumah dan kembali, dan hubunganku dengan ibu terhenti denga di jalur yang berbeda, tidak ada hubungan harmonis. Mendemonstrasikan semangat sejati dari persahabatan, Deep dan Kribo adalah kesempatan untuk bisa membuat bibir senyum sebentar. Begitu mereka menyebutkan bahwa aku telah tertutup, itu benar dan aku menyadarinya.Malam sebelumnya, aku tahu tanpa keraguan bahwa ibu pasti telah berhubungan seks. Aku tidak terlalu keberatan karena aku merasa memenjarakan diri di dalam kamarku sendiri. Memang terasa sedikit tidak nyaman ketika mereka mengadakan pertemuan,aku telah menilai kinerja ibu luar biasa: dia punya sepuluh t