Perjanjian antar keluarga memaksa tunangan aku, Marvin Kurniawan, untuk menikah dengan aku. Orang tuaku telah meninggal. Sementara dia tergila-gila dengan Irma Fasnitan, putri dari musuh keluarga kami. Pada akhirnya, Marvin menelan seluruh kekaisaran keluargaku dan membuang aku ke dalam bahaya. Ia memamerkan Irma di sisinya, seolah wanita itu adalah trofi atas kemenangan yang berhasil diraihnya. Dua puluh tahun kemudian, aku berada di ambang kematian. Putra kami sendiri, anak aku dan Marvin yang menggenggam racun itu. Dia berkata aku tidak berguna, dan ayahnya butuh kekuatan keluarganya Irma. Lalu saat membuka mata lagi, aku sudah hidup kembali. Kembali ke hari sumpah pernikahan aku. Kali ini, untuk menyelamatkan keluargaku, aku tidak akan menandatangani namaku di perjanjian itu. Aku menandatangani namanya, Irma Fasnitan. Sedangkan aku? Aku membawa lari seluruh harta warisan yang ditinggalkan orang tuaku dan menghilang. Kali ini, aku tidak akan menjadi orang bodoh yang sekarat demi pria yang tak pernah menjadi milikku.
View MorePagi hari Natal, aku bangun dengan suara ombak yang lembut.Cahaya matahari menembus jendela besar, menyebar hangat dan menenangkan.Ini adalah hari Natal paling tenang yang aku miliki selama bertahun-tahun.Tidak ada politik keluarga, tidak ada sapaan palsu. Hanya kedamaian yang murni.Aku melangkah ke teras dan menemukan sarapan cantik yang sudah tersaji di meja.Stroberi yang segar, roti yang hangat, dan seteko kopi yang harum.“Selamat pagi, Nona Sara.”Pelayan rumah, Ani, wanita yang berasal dari Negara Isni yang anggun berusia lima puluhan, menghampiri aku.“Pak Daniel minta kami menyiapkan sarapan untuk Anda.”“Di mana dia?” tanya aku.“Sedang menangani urusan mendesak,” jawab Ani dengan tersenyum. “Dia bilang tidak ingin mengganggu Anda. Katanya, biarkan Anda tidur lebih lama.”Kehangatan merambat di dada aku.Marvin di kehidupan sebelumnya tidak pernah mempertimbangkan perasaan aku. Dia akan membangunkan aku di tengah malam yang katanya demi “bisnis keluarga.”Daniel sebalikny
Setelah Marvin pergi, aku bersandar pada pintu, lelah yang kurasakan tidak seperti sebelumnya.Sesaat, ketika dia berlutut, hati aku hampir luluh.Namun seketika aku teringat rasa sakit di kehidupan sebelumnya, tatapan dinginnya saat dia menyerahkan racun kepada aku, dan semua rasa iba itu lenyap.Beberapa luka… memang tidak akan pernah bisa dimaafkan.Keesokan harinya, aku membuat keputusan.“Kelen, pesan tiket pesawat ke Kota Perni untuk aku,” kataku kepada asisten aku. “Aku butuh liburan.”“Segera, Bos. Kapan Anda ingin berangkat?”“Sesegera mungkin.”Aku harus meninggalkan Kota Lesalos untuk sementara.Kehadiran Marvin telah meracuni udara di sekitar aku.Aku ingin melupakannya dengan keliling di lorong-lorong Museum Lesanan. Berdiri di depan karya seni yang dulu pernah menyelamatkan aku. Menghirup udara yang tidak lagi tercemar oleh ingatannya.Dua jam kemudian, Kelen kembali dengan berita buruk.“Bos, ini aneh,” katanya sambil mengerutkan alis. “Semua penerbangan jet pribadi ke B
“Nona Sara, majalah Seni Mingguan ingin membuat konten cerita tentang Anda.”Minggu itu menjelang Natal, dan galeri aku menjadi pusat perhatian dunia seni Kota Lesalos.Dalam waktu empat bulan saja, Galeri Rebian telah mencatat penjualan senilai tiga ratus miliar rupiah.Aku akhirnya dapat membuktikan diriku. Aku bisa lebih dari sekadar bertahan tanpa Marvin Kurniawan. Aku bisa hidup lebih baik.“Katakan pada mereka aku ada waktu minggu depan,” kataku pada Kelen.Saat aku sedang menata dekorasi untuk pameran Natal, Kelen berlari menghampiri aku. Wajahnya pucat.“Bos, kabar buruk,” katanya dengan terburu-buru. “Marvin Kurniawan tiba di Kota Lesalos kemarin.”Ornamen kristal di tangan aku hampir terjatuh.“Apa?”“Dia dan istrinya yang sedang hamil sudah memasuki di Hotel Kota Bahana,” lanjut Kelen. “Kabarnya, keluarganya Marvin sedang menghadapi masalah besar di Kota Cessana.”Jantung aku berdetak kencang.Marvin ada di Kota Lesalos? Bersama Irma?“Masalah apa?” tanya aku dengan pelan.K
“Para tamu yang terhormat, lelang malam ini akan segera dimulai.”Aku berada di lelang seni bergaya formal yang diadakan di ruang aula megah, ruangan yang terbesar di Kota Lesalos.Sambil menyesap sedikit sampanye, aku berbaur dengan para tamu.Sebagai pemilik galeri baru, membangun jaringan adalah hal yang wajib aku lakukan.“Nona Sara, apa pendapat Anda tentang lukisan Pikaso malam ini?” tanya Wiardi Megan, seorang kolektor besar.“Karya master, tentunya,” jawab aku sambil mengamati lukisan itu. “Tapi aku lebih tertarik pada yang di sebelah…”“Astaga, itu Sara Rusadi?”Suara tajam memotong percakapan kami.Aku menoleh. Irma Fasnitan berjalan ke arah aku dengan mengenakan gaun sutra berwarna emas tanpa punggung.Perutnya yang mulai membesar terlihat jelas di balik kain halus itu. Setidaknya sudah empat bulan hamil.Beberapa sosialita dari Kota Cessana mengikutinya, mata mereka berkilat haus akan drama.“Irma.” Aku mengangguk kepala dengan dingin. “Selamat atas kehamilan kamu.”Irma de
Aku keluar dari rumah itu tanpa menoleh ke belakang.Aku sudah muak dengan tempat itu. Muak dengan segala rasa sakit yang mengikutinya.Enam jam kemudian, aku tiba di gerbang keluar Bandara Internasional Lanisa.Matahari Negara Ciponal bersinar terang dan hangat. Dunia yang sepenuhnya berbeda dari kelabu dan kegelapan Kota Cessana.Aku menyeret koper, lalu menghilang di tengah kerumunan orang.Kali ini, tak akan ada yang mencari aku.Dalam pikiran Marvin, aku sudah mati.Tiga bulan kerja keras berlalu. Kini, galeriku resmi dibuka.“Para tamu yang terhormat, selamat datang di pesta pembukaan Galeri Rebian.”Aku berdiri di ruang pameran seni paling mewah di Kota Bahana, memandang kerumunan kalangan elit Kota Lanisa.Setiap lukisan di sini aku yang pilih sendiri, mulai dari karya seniman baru yang berani hingga koleksi karya master tak ternilai harganya.“Sara, tempat ini luar biasa,” kata Jovanka Wistina, seorang produser Hawlan, sambil mengangkat gelas sampanye. “Kau benar-benar jago me
Saat tembakan terdengar, aku melihat naluri sejati Marvin.Dia tidak bergerak ke arah aku.Sebaliknya, dia melompat menutupi Irma, menjadikan tubuhnya seperti perisai untuk wanita itu, siap menahan setiap peluru yang mengarah padanya.Tanpa ragu. Dia justru mendorong aku ke arah lemari buku kayu yang berat.Tubuh aku menghantam keras pada kayu tersebut, buku-buku jatuh menimpa aku bertubi-tubi.Sudut tajam salah satu buku menusuk lengan aku, menorehkan luka terbuka.Darah mekar di atas kain sutra putih bajuku, seperti bunga hitam yang busuk.Rasa sakit menyebar dalam tubuh aku, tapi tidak sebanding dengan rasa hati yang hancur berkeping-keping.Ketika suara tembakan berhenti, Marvin tidak menoleh ke arahku.Dia memeriksa Irma yang gemetar di pelukannya.“Sayang, kamu baik-baik saja? Ada yang terluka?” Suaranya campuran antara panik dan pengabdian yang mentah.“Tidak… tidak.” Irma menangis pelan. “Marvin, aku takut banget.”“Jangan takut. Aku di sini.” Dia mencium dahi Irma. “Aku tidak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments