Short
Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!

Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!

Oleh:  CocojamTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
7Bab
5Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Malam sebelum aku seharusnya menikah dengan pewaris Keluarga Moro, aku mendapati rentetan 99 pesan teks mesum di ponsel Leo, tunanganku. Seorang wanita bernama Via Cokro, memberi tahu Leo bahwa dia mencintai Leo. Sangat mencintainya. Tanpa tahu malu sama sekali. Dia memohon pada Leo supaya membatalkan pernikahan kami, mengancam akan bunuh diri jika Leo tetap melanjutkan pernikahan ini. Aku langsung bereaksi. Aku menyodorkan ponsel itu ke wajah Leo untuk menuntut penjelasan. Keheningan terasa abadi sebelum Leo akhirnya angkat bicara. "Kakaknya itu Alan, wakilku. Dia kena tembak demi aku. Aku sudah janji padanya akan menjaga adiknya." "Jeny, kita tumbuh bersama. Kamu tahu cuma kamu satu-satunya di hatiku. Aku janji bakal urus ini, aku akan memutus hubungan dengannya." Aku mencari kebohongan di mata Leo. Akhirnya aku menelan rasa getir dalam tenggorokanku dan memilih untuk memercayai Leo. Pernikahan pun tetap dilanjutkan. Pernikahan ini bukan sekadar tentang kami berdua. Ini adalah perjanjian yang ditandatangani dengan darah antara dua keluarga. Dan, Tuhan tolong aku, aku masih mencintainya. Namun, di hari pernikahan kami, saat kami berdiri di altar dengan janji yang hampir diucapkan, Leo menerima telepon. Itu dari dia, Via. Dia sedang berada di jembatan dan mengancam akan melompat. Menuntut supaya Leo segera datang sekarang juga. Cincin berlian yang hanya sejengkal dari jariku, jatuh berdenting ke lantai batu gereja. Tidak ada sepatah kata pun. Tidak ada satu pun penjelasan. Leo pergi begitu saja. Meninggalkanku, keluarga kami, masa depan kami... Meninggalkanku berdiri sendirian di altar. Dalam kabut air mata, aku berteriak padanya, "Leo, kalau kamu keluar dari pintu itu, kita putus!" Jawaban satu-satunya dari mulut Leo, diucapkannya sambil berjalan menjauh, "Dia butuh aku." Leo tidak pernah menoleh ke belakang. Aku pun menghilang dari dunia Leo dan tidak pernah menoleh ke belakang sambil mengandung anaknya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

"Apakah kamu menerima cincin ini sebagai simbol janjimu pada Keluarga Moro?"

Suara pendeta menggema di seluruh gereja yang suci ini.

Leo menggenggam cincin lambang keluarga itu, emas berat yang telah diwariskan selama lima generasi.

Dia mencondongkan tubuh, napasnya yang hangat menerpa telingaku sembari berbisik, "Aku sudah menunggu seumur hidupku untuk ini, Jeny."

Deretan bangku dipenuhi oleh keluarga-keluarga paling berkuasa di Casida, mata mereka tertuju pada kami bak belati.

Aku menatap mata cokelat gelap Leo. "Aku bersedia."

Cincin itu menyentuh ujung jariku.

Leo hendak mengucapkan, "aku bersedia" bagiannya.

Tapi ponsel pribadi Leo bergetar, hanya tiga orang yang mengetahui nomor pribadinya ini.

Ayahnya, wakilnya Mark, dan aku.

Namun, Ayah Leo berada di luar negeri.

Dan Mark serta aku berdiri tepat di sini.

Jadi, siapa gerangan yang menelepon?

Leo mengerutkan kening sembari melirik layar.

Wajahnya pucat pasi.

Tangan yang menggenggam tanganku itu bergetar, dan dia hampir menjatuhkan ponselnya.

"Leo?" tanyaku lembut.

Leo tidak menjawab. Dia hanya membalikkan badan untuk menjawab telepon itu.

"Apa? Kamu di mana?!" Suara Leo tercekat karena panik. "Jangan lakukan hal bodoh! Aku lagi di jalan."

Cincin itu terlepas dari tangan Leo hingga jatuh ke karpet merah tua.

Keheningan melanda seluruh gereja.

Dua ratus pasang mata tertuju pada kami.

Leo menutup telepon dan menatapku, matanya penuh permintaan maaf. "Jeny, aku harus pergi."

Sekarang? Aku tidak percaya. "Leo, kita bahkan belum menyelesaikan janji pernikahan."

"Dia mau lompat," bisik Leo, lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. "Aku nggak bisa biarin dia mati."

Rasa ngeri dingin menjalar ke tulang punggungku. "Telepon dari Via, 'kan?"

Leo sudah berbalik hendak pergi. Dia berhenti sebentar tanpa menoleh. "Dia... dia butuh aku."

Dan kemudian Leo lari.

Di pernikahan kami, di depan semua keluarga penting, Leo Moro meninggalkan pengantinnya.

Kerumunan pun langsung banyak yang berbisik.

Aku mendengar gerutuan marah dari para tetua Moro, juga mendengar suara pukulan tangan ayahku ke sandaran kursi.

Mark bergegas ke altar. "Semuanya, tolong tetap tenang. Ini… keadaan darurat."

Ayahku berdiri. "Keadaan darurat macam apa yang pantas melanggar janji di hadapan Tuhan?"

"Via Cokro ada di Jembatan Jalan Jaksa, dia mengancam mau lompat," kata Mark dengan suara tegang. "Dia nggak stabil. Kalau polisi ikut campur, dua keluarga bakal kena imbasnya."

Aku teringat pesan-pesan semalam, tentang Leo yang bersumpah bahwa gadis itu tidak berarti apa-apa baginya.

Rasanya bak serpihan es telah menusuk jantungku.

Aku berdiri membeku di altar dengan gaun seharga belasan miliar, cincin lambang Keluarga Moro membakar lingkaran dingin di kulitku, setengah jalan menuju buku jariku.

Dua ratus pasang mata, semuanya tertuju padaku sembari menunggu.

Aku mengeluarkan ponsel cadanganku sendiri.

Aku menelepon Leo.

Nada sibuk terdengar.

Lagi-lagi...

Nada sibuk.

Tiga belas kali.

Tiga belas kali tidak bisa dihubungi, hanya kotak suara yang menjawab.

"Jeny, mungkin kita sebaiknya... " Mark mencoba menenangkanku.

"Diam kamu." Setiap kata keluar seperti pecahan es. Mark tersentak, lalu mundur selangkah.

Lima jam penuh.

Aku menunggu di altar itu selama lima jam.

Di jam pertama, aku berbohong pada diriku sendiri. Dia akan kembali. Ini cuma keadaan darurat.

Di jam kedua, tatapan para tamu terasa seperti menguliti kulitku.

Menjelang jam ketiga, bisikan-bisikan berubah menjadi keheningan mencekik ketika bangku-bangku mulai kosong.

Hatiku bukan hanya hancur, tetapi sudah berubah menjadi bongkahan es di dalam dadaku.

Aku terus meraba cincin di jariku.

Pertama, untuk merasakan janji Leo. Kemudian, melepaskannya dengan paksa.

Akhirnya, tidak ada apa-apa. Aku tidak merasakan apa pun.

Bahkan anggota inti keluarga kami tidak tahan lagi.

Ibuku datang ke sisiku. "Jeny, Sayang, mari kita pulang."

"Nggak." Aku menggeleng. "Janji pernikahan belum selesai."

"Janji itu sudah hancur." Suara ayahku terdengar seperti racun murni. "Ini penghinaan terhadap Keluarga Arosa."

Aku merasa pusing.

Mungkin karena tidak makan, atau... mungkin karena hatiku hancur berkeping-keping.

"Aku perlu menyendiri."

Aku berjalan ke bilik pengakuan dosa di belakang gereja.

Kotak kayu kecil itu memberiku secercah rasa aman.

Aku berlutut di bangku sembari menyatukan tanganku. "Ampuni aku, Bapa, atas dosa yang akan kulakukan."

Hanya keheningan yang menjawab.

Hanya kegelapan yang menindas di bilik pengakuan dosa.

Pandanganku menyempit.

Udara terasa berat yang membuatku sulit bernapas.

Lalu segalanya berubah gelap.

Begitu aku bangun, aku berada di tempat tidur di klinik pribadi Keluarga Arosa.

Langit-langit berwarna putih, lampu-lampunya menyilaukan.

Aku mencoba untuk duduk, tetapi gelombang mual menerpaku.

"Jangan bergerak, Jeny," kata Dokter Romeo, dokter keluarga kami, sambil mendekat. "Kamu dehidrasi dan gula darahmu rendah."

"Di mana Leo?" tanyaku.

"Dia belum balik," jawab Dokter Romeo sembari menghindari tatapanku. "Tapi… ada sesuatu yang harus aku kasih tahu padamu."

Jantungku mulai berdebar kencang. "Apa itu?"

"Kamu hamil, sekitar enam minggu."

Dunia menjadi sunyi seketika.

Hamil...

Aku mengandung pewaris Keluarga Moro.

Tawa pahit dan histeris mencoba merayap naik di tenggorokanku.

Sungguh kejam, lelucon yang kejam!

Pintu terbuka.

Ayahku dan beberapa tetua keluarga masuk.

Tatapan mereka menyimpan berbagai emosi.

Kemarahan, perhitungan... tetapi di balik semuanya, ada secercah harapan.

Mata mereka tidak tertuju padaku.

Mereka tertuju pada perutku.

Seolah rahimku adalah taruhan terakhir di meja, satu-satunya yang bisa menyelamatkan harga diri mereka.

"Jeny," panggil ayahku yang duduk di tepi ranjang. "Ini kabar baik. Keluarga Moro akan kembali merendah pada kita, aliansi nggak bakal putus… "

Aku tidak bisa mendengar sepatah kata pun yang Ayah ucapkan. Yang bisa kulihat hanyalah wajah Leo.

Aku teringat tumbuh besar bersamanya.

Aku selalu tahu aku akan menikah dengannya.

Dari anak-anak yang bermain... hingga ciuman nyata pertama kami, aku tidak pernah meragukan cintanya padaku.

Kami berlatih bersama, mempelajari bisnis keluarga bersama.

Dia mengajariku menembak, aku membantunya dengan pembukuan.

Kami mengikat sumpah darah.

Namun hari ini, di hadapan Tuhan, dia justru memilih wanita lain.

Dia menginjak-injak cinta kami, menginjak-injak kehormatan keluarga kami.

Dokter Romeo memeriksa tekanan darahku. "Selamat, Jeny. Anak ini... anak ini jadi masa depan kedua keluarga kita."

Aku menutup mata, air mata membakar di baliknya.

Aku tidak bisa bicara.

Pewaris yang mereka tunggu-tunggu?

Aku akan mempertahankannya.

Namun, anak ini tidak akan pernah menjadi bagian Keluarga Moro, dia akan menjadi Keluarga Arosa.

Sedangkan untukku dan Leo... Hubungan kami sudah berakhir.
Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
7 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status