Gelas-gelas saling bersulang. Sampanye. Wine. Brendi. Cocktail. Chocolat glace. Apalagi? Biskek. Salad. Daging kambing. Daging kuda. Makanan Perancis. Makanan Inggris. Skotlandia. Italia. Keju belanda. Oh jangan lupa, roti strada-makanan khas dari Alegra, semacam roti isi sayur dan daging yang dicampur dengan rempah-rempah. Macam-macam selai dan saus. Macam-macam perhiasaan. Macam-macam alunan musik. Pesta yang indah! Sungguh! Luar biasa!
“Rodrigue! Tolong isi lagi gelas-gelas ini!” tukas Lady Earlene kepada Rodrigue yang sudah turun ke bawah mengikuti sang Ratu. Rodrigue mengangguk dan segera mendekati Lady Earlene berserta para bangsawan lainnya.
Ha! Lord Alastairs disalami semua pejabat penting. Tertawa. Basa basi. Tertawa lagi. Terlena oleh hiruk pikuk pesta dan hanyut oleh kenikmatan.
“Dimana Adrien?” tanya seorang pria tua berambut putih, Charles Rosenblum. Ia adalah ketua partai tunggal “Mata Angin” saat ini. Dengan satu sergapan, ia melihat remaja tampan yang dikerumuni gadis-gadis di sudut ruangan. Charles tertawa, “Ah, Adrien akan menjadi pria sejati. Akan aku kenalkan dia pada dua putri kecilku nanti,”
“Hmmm...” Romelda, sang istri tersenyum. Ia gamit jemari kedua putri kecilnya di kanan dan kiri erat-erat. “Adrien akan sulit memilih diantara mereka berdua.”
“Yah, kalau begitu, biarkan Adrien memilih keduanya,” kelakar Lord Alastairs. Mereka semua bersulang. Kemudian para pria pejabat lain mendekat, Johannes Delbonel dan keluarga, Laughaire Schneid dan Danish-anak laki-laki satu-satunya. Kemudian datang pula kerabat paling dekat, adik Lord Alastairs, Frederich Ford Alegra dan keluarga. Tak lupa, mereka yang paling penting diantara yang terpenting, Wangsa B: Gavin Marshall, Leopold Sagan, Oswald Orben dan Nicholas Nietzsche. Mereka berbincang-bincang dengan elegan.
“Terpujilah bagi Adrien. Semoga Tuhan memberkatinya dan menyayanginya sepanjang hayat,” ucap Frederich.
Seisi ruangan menjawab, “Terpujilah Adrien dan keluarga Alegra!”
Mereka bersulang. Tepuk tangan membanjir.
Yang dipuji-puji hanya tersenyum sambil menyalami beberapa orang dan menggoda kedua putri kecil Rosenblum, “Oh Dinah dan Diana,” Lelaki itu mulai menebak dengan telunjuknya, “Dinah? Diana? Betul? Hmm.... ah, kalian sangat mirip hahaha...”
“Ini Dinah, ini Diana,” kata Romelda. Dinah dan Diana tersenyum kepada semua yang memandangi mereka.
“Oh mereka sangat menggemaskan,” tutur Lady Earlene.
“Yah, dan kau tahu, Dinah dan Diana begitu mengagumi Luna. Kata mereka, dia sangat cantik dan baik. Mereka ingin bermain bersama Luna,” jelas Romelda. “Tapi ngomong-ngomong, dimana Luna?”
“Ah, ya, dimana Luna? Dari tadi aku tidak melihatnya?” tanya yang lain sambil mengangguk-ngangguk.
“Dia sedang tidak terlalu bersemangat sepertinya,” Lady Earlene berkilah.
“Ah, begitu rupanya, sayang sekali.”
Lord Alastairs mengajak mereka semua bersulang. Mereka bersulang. Lagi dan lagi. Botol-botol minuman habis dalam sekerlip malam. Maka botol-botol minuman disediakan lagi. Diantara jas-jas dan gaun aristokrat, semerbak wangi mawar dan redup lampu pesta, mereka bertepuk tangan kepada kekuasaan dan kemewahan yang mereka dapatkan.
“Sayang sekali Luna tidak disini,” bisik Dinah.
“Ya, padahal ini pesta yang sangat indah,” jawab Diana.
Adrien yang mendengarnya, tersenyum simpul.
*****
“Saat itu aku sangat tidak nyaman dan terus memikirkan Lady Luna yang berada di lantai atas. Maka aku bolak-balik pergi ingin menemuinya, berharap aku dapat menghiburnya, tapi aku kaget betul waktu Tuan Muda Gavin Marshall tiba-tiba sudah ada di belakangku, dia memegang pundakku, ya ampun!” Rodrigue girang sendirian. Tapi kemudian, nada bicaranya sedih.
“Yah, dia menyuruhku untuk tidak mendekati Lady Luna dan sebagai gantinya, ia yang menghampiri.”
Isadora, Georgette, Suzanne dan Carter terkekeh.
*****
“Luna...” Gavin bersua lemah lembut. Luna kecil menoleh, matanya yang sembab oleh tangis disentuh pria itu.
“Jangan bersedih,” katanya, seakan mengerti penderitaan Luna.
“Ini tidak adil, Mr.Marshall. Sangat tidak adil,” tukas Luna. Kata-katanya berhamburan seiring dengan isak sesenggukan yang mengalir deras lagi.
Gavin menghela napas. “Ada kalanya kita diperlakukan tidak adil. Ada kalanya kita bersedih, dan satu-satunya hal yang mesti kita lakukan adalah bangkit dari keterpurukan itu.”
“Tidak ada pesta yang tidak berakhir. Demikian pula kesedihan kita,” lanjut Gavin ketika Luna tak mengucapkan apa-apa. “Nah, kemarilah, Luna, sayang, ada banyak hal yang indah untukmu.”
Luna tertohok. Baru kali ini seseorang memanggilnya dengan ‘Sayang’. Panggilan itu mengejutkannya seakan kata ‘sayang’ baru hari itu ia dengar. Gavin merangkul gadis kecil itu dan mengelus rambutnya.
“Kemarilah,” katanya lagi. Luna menurut. Mereka berpelukan.
*****
Pesta semakin larut, orang-orang semakin mabuk dalam bayang-bayang kemewahan. Namun tiba-tiba di tengah ruangan, lampu perlahan meredup hingga akhirnya tiada. Gelap. Orang kasak kusuk dalam bisik; bertanya-tanya tanpa jawaban. Hingga orang-orang mulai lelah berbisik, maka hening dan lampu menyala kembali. Akan tetapi tidak bercahaya seperti di awal, melainkan memancarkan sinar biru gelap yang membuat seluruh ruangan sebagaimana langit subuh. Tenang. Tirai menari-nari dibalik jendela yang dibuka. Angin berembus melewati segala celah, membelai wajah, melamunkan mimpi. Damai. Orang-orang mulai tertunduk.
Sebuah suara merintih selembut kapas, semerdu violin, bergema di seluruh ruangan. Segera setelah itu, dalam gelap cahaya biru tua, muncul sekumpulan putra dan putri. Mereka mengenakan jubah putih berkerah merah dengan kain berwarna hitam yang memutari pinggang mereka. Di atas kepala putra, menempel topi putih seukuran kepala mereka, mirip dengan peci bagi umat muslim. Sementara di atas kepala putri, menghias dengan cantik cadar pernikahan berwarna putih transparan yang menutupi rambut mereka. Di atas cadar, mawar-mawar putih seukuran mini berbaris melingkari bagian atas kepala seperti bandana, tak lupa dengan satu dua buah daun yang memperindah kontras warna hiasan kepala tersebut. Mereka semua, putra dan putri, membawa lilin di kedua tangannya. Harpa berdenting berpadu dengan gitar akustik. Sebuah paduan suara bergaung dan mereka berputar-putar. Bersamaan dengan itu, mereka yang menghadiri pesta, menundukkan kepalanya sambil menautkan kedua tangan di dada.
Inilah inti pesta. Sebuah ritual yang disajikan para penari untuk mengenang Supermoon Berdarah. La la la la la, lantunan dari lagu dalam ritual di lantai bawah terdengar sampai ke atas balkon dimana Gavin memeluk Luna dari belakang. Ia mengelus rambut gadis itu lembut.
“Apakah tidak apa-apa jika kita begini, Mr. Marshall? Lord Alastairs menyuruhku untuk bersikap hormat padamu.”
Hmm, Gavin bergumam. “Aku datang untuk menghibur seorang gadis, bukan minta untuk dihormati.”
Senyum Luna mengembang.
“Dahulu ibuku sering sekali memelukku setiap kali aku merasa sedih. Katanya, pelukan dapat menghilangkan rasa sedih, karena dengan berpelukan kita tahu bahwa kita tidak sendirian, bahwa ada orang lain yang selalu bersama kita ketika yang lain pergi,” lanjut Gavin. Angin berhembus kencang, menerobos celah-celah ventilasi dan jendela, menerbangkan tirai-tirai merah yang terjulur panjang. Gavin merapatkan pelukan. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya.
“Terima kasih, Mr. Marshall,” bisik Luna sambil terpejam. Gavin mengecup kepala Luna, merasakan harum rambut gadis itu menelisik indera penciumannya. Ia bernyanyi, mengikuti irama musik di lantai bawah. Ia terus bernyanyi sampai suara lirihnya tenggelam ke dalam mimpi-mimpi Luna.
*****
“Wah, Tuan Muda Gavin Marshall memang benar-benar baik sekali ya,” Isadora tak henti-hentinya kagum.
“Yah,” kata Rodrigue, sedih campur bingung terpancar di wajahnya.
“Kenapa?” Georgette bertanya. Rodrigue menggeleng. Pada saat yang bersamaan, Lady Earlene memanggil para pelayan untuk menambahkan sampanye dan beberapa kue penutup. Maka para pelayan kembali kepada dapur dan kesibukan yang mengepul dibaliknya. Obrolan mereka tentang sang majikan lisut. Akan tetapi, Rodrigue merasa pening. Sebab ada satu hal yang belum diceritakannya tapi tidak mungkin ia ceritakan juga.
Rodrigue menaruh kue-kue di atas nampan. Dengan gontai, ia menggoreng makanan penutup. Bunyi gemerisik meletup-letup dari penggorengan, dengan kejam memercik di tangannya setetes demi setetes. Rasa sakit menjalarinya seperti petasan, membuatnya terus teringat pada rasa sakit tentang Lady Luna yang tidak dia ceritakan.
Hari sudah mendekati pukul satu siang tetapi tidak ada tanda-tanda keceriaan di akhir musim semi ini. Hawa dingin. Kabut terbang membungkus kota dan angin berhembus kencang. Di pulau Saiorse, di sebelah tenggara dari Istana Alegra, selokan beriak-riak menuju sungai hingga ke laut. Airnya jernih dan deras. Sepucuk pohon granium berdiri di pinggir, sehelai kelopak ungunya jatuh ke selokan dan terbawa arus seperti perahu kertas. Orang-orang berjalan dengan pakaian tebal nan berat. Jejak-jejak uap putih keluar setiap kali mereka bernafas. Saat melihat kelopak-kelopak bunga berjatuhan dan mengalir di selokan, mereka tersenyum hangat menyadari bahwa sebenarnya ini musim semi, bukan musim dingin. “Cuaca adalah satu-satunya hal yang tidak aku inginkan disini,” seru Tuan Philomene. Dari kaca mobil sederhananya, ia memperhatikan kehidupan bergerak menuju kesunyian. Balok-balok gedung berbaris menciptakan gang-gang sempit. Orang-orang lalu lalang di depan toko yang setengah buka, para
Detik suara gerimis menghanyutkan suasana, menorehkan tinta hitam pada jalanan di pagi kelabu. Sebuah limosin beserta jajaran mobil lainnya meluncur mendekati pintu gerbang istana Alegra. Gerbang terbuka, penghormatan terhampar. Lord Alastairs telah kembali, demikian semua penghuni istana berbicara. Mereka bersiap-siap. Segala hal dipersiapkan. Lagu kebangsaan didengungkan. Para prajurit berbaris memanjang dari pintu gerbang hingga pintu istana utama; tegap, sigap. Mereka menampakkan wajah ceria, bahwa mereka senang Sang Raja kembali, bahwa mereka gembira dapat berjumpa Sang Raja lagi. Lady Earlene, Adrien dan Luna berjaga di depan pintu. Ketika Lord Alastairs keluar dari limosin dan pintu selebar dan setinggi beberapa kaki dengan ukiran kuno yang rumit itu terbuka, mereka semua membungkuk hormat. “Selamat datang, Tuanku,” seru Lady Earlene, disusul oleh Adrien dan Luna. Lord Alastairs tidak membalas, melainkan langsung masuk ke dalam, melewati ruang tengah dengan langit-lan
“Ke Margot ya, pak,” titah Gavin kepada supirnya. Luna tercengang.“Aku pikir kita akan pulang?”Gavin menggelengkan kepala, “Aku ada pementasan malam ini.”“Datanglah dan saksikan sebentar penampilanku,” kata Gavin, nada suaranya melembut. Luna mengeluh panjang.“Bisakah kita pulang saja? Aku sudah cukup lelah malam ini.”“Baiklah. Antarkan saja aku sampai Margot Boulevard, setelah itu antarkan Lady Luna sampai ke Istana Alegra.”Luna tak bergeming. Mobil terus melaju hingga pada suatu titik, di suatu Boulevard, sang sopir memarkirkan mobilnya ke pojok, persis di depan sebuah gedung teater. Malam semakin larut. Bintang-bintang yang biasa bertaburan hingga nyaris membuat orang yang melihat langit merasa tersesat, kini hilang, entah tersesat dimana. Hanya bias sabit yang redup bangkit dalam kesendiriannya, ditopang oleh baris cemara di kejauhan.Namun, di baw
Mereka sampai di depan restaurat milik Monsieur Lucien Benichou. Sebuah restaurant diantara jalan setapak yang penuh dengan pepohonan cemara, magnolia dan ash. Pepohonan itu digantungi lampu kerlap-kerlip, membuatnya mengapung dalam cahaya. Ini adalah restaurant kelas satu dengan kunjungan terbatas untuk kalangan bangsawan dan para pejabat saja. Pemiliknya, Monsieur Lucien Benichou, adalah seorang bekas bangsawan perancis bertubuh gempal yang memiliki rambut perak palsu dengan keriting yang panjang. Ia menggilai aroma renaissance, novel-novel klasik, pantomim, dan beethoven, yang kemudian menginspirasinya untuk mendekorasi restaurant ini dengan lukisan-lukisan, musik klasik dan rak buku berisi karya penulis besar.Ketika Adrien, William, Lucien, Luna, Julius dan Tuan Philomene datang, Monsieur Lucien terperanjat senang. Bibirnya yang tertutupi jenggot dan kumis terbuka lebar, ia mempersilakan mereka duduk di bangku di dekat jendela, tersisih dari bangku peng
Luna dan Tuan Philomene keluar ruangan lalu berjalan melewati koridor. Di ujung koridor, di dekat sebuah patung malaikat, mereka bertemu Adrien yang berdiri bersandar pada tiang berulir sambil melipat tangan. Luna tercekat.“Oh Prince Adrien Moritz Alegra, The Duke of The Young Majesty of Alegra,”ujar Tuan Philomene. Ia menangkupkan kedua tangannya dan membungkuk, “Hormat saya,” lanjutnya.Adrien menyipitkan matanya melihat Luna. Bibirnya terbuka hendak bersua. Namun sebelum ia mulai berkata-kata, terdengar suara dari arah belakang. Ia menengok dan mendapati dua saudara kandung, Leonel dan Julius, mendekat ke arahnya dengan ceria.Leonel Tissier Delbonel, adalah anak ketiga dari Johannes Hardy Delbonel, rival setia Lord Alastairs dan salah satu tokoh utama pendiri Partai Kesetiaan, “Mata Angin”. Ia adalah adik kedua dari Guillaume, ketua parlemen saat ini. Ia seorang pebisnis dan politikus. Ia adalah anggota
Kesedihan. Itulah yang dirasakan Lady Earlene saat pertama kali dering telepon itu berbunyi dan ia memutuskan untuk melaju berkilo-kilometer menuju pulau Margot. Berdiam dibalik mobilnya, ia memperhatikan jejeran rumah sederhana para penyair di Margot City. Ah, betapa indahnya hidup para penyair itu, sederhana dan bebas. Mereka bisa mengungkapkan isi hati dan pikiran tanpa beban. Mereka bisa menjadi diri mereka atau berkelakar untuk menjadi orang lain tanpa pernah ada yang tahu. Semuanya hanya terangkum manis dibalik larik-larik puisi dan kalimat-kalimat bersayap. Tidak ada yang tahu. Lady Earlene memikirkan tentang dirinya... betapa mengerikannya saat seluruh gerak-gerikmu diperhatikan banyak orang. Seluruh perkataanmu, seluruh perbuatanmu...“Berpura-puralah,” begitu kata Lord Alastairs.Tapi terkadang, aktris terbaik pun perlu turun panggung untuk sekedar minum dan istirahat. Seorang aktris terbaik pun, betapapun baiknya, lama-lama akan haus pada dirinya