Share

Makan Malam Yang Usai

“Mr. Marshall, bolehkah aku ikut denganmu? Bolehkah aku tinggal bersamamu?” tanya Luna, tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Gavin seketika tercengang.

“Boleh ya? Aku tidak ingin berada disini, ibu dan Adrien tidak menyukaiku.”

“Bukan begitu, Luna,” Gavin mengelus rambut Luna, mencoba memberi pengertian.

“Kau menyukaiku kan?” tanya Luna, polos. Gavin hanya menatap gadis kecil itu, bibirnya bergetar. Luna bertanya sekali lagi, Gavin tetap tak mengatakan apa-apa.

“Kenapa kau tidak menjawab, Mr. Marshall? Jika kau menyukaiku, tolong bawa aku pergi dari sini.”

“Kau tak akan pergi kemana-mana, Luna,” serobot Lady Earlene, secara mengejutkan sudah berdiri di belakang Luna dengan ekspresi sedingin es.

Gavin dan Luna sama-sama tercekat.

Lady Earlene menarik lengan gadis itu.

“Kau jangan membuat keadaan menjadi buruk, gadis kecil. Pergilah ke kamarmu dan tidur! Kau tidak akan kemana-mana. Mr. Marshall tidak menyukaimu dan tidak akan membawamu pergi. Kau tahu kenapa? Karena kau adalah anak haram. Kau sama sekali tidak berarti!”

Luna menangis. Ia menoleh kepada Mr. Marshall dengan tatapan memohon, berharap lelaki itu segera membantah pernyataan Lady Earlene. Tetapi hanya angin yang keluar dari mulut lelaki itu. Tidak ada kata. Tidak ada suara. Ia bahkan berbalik dan melangkah melewati Luna, meninggalkannya dengan bekas pandangan penuh pertanyaan.

“Lihat, dia tidak peduli padamu! Berhentilah berkhayal bahwa seseorang akan membawamu pergi dari kesengsaraanmu. Kau tidak berhak mendapatkannya. Kau adalah anak haram. Itulah yang pantas kau dapatkan! Kau hanyalah seonggok daging! Kau tidak berarti!”

Lady Earlene menarik Luna dan membawanya ke kamarnya. Ia membuka pintu dan melempar tubuh Luna begitu saja seperti melempar sesuatu ke dalam kandang. Klek. Ia mengunci pintu kamar. Luna menggedor-gedor pintu tetapi tak ada yang peduli. Dengan raut penuh kemenangan, Lady Earlene meninggalkan Luna sendirian.

Pada suatu titik di langit, burung-burung malam sahut menyahut.

*****

Air mata Rodrigue berderai-derai mengenang ini, bahwa sebagai Kepala Pelayan, ia tak mampu melakukan apapun untuk membantu majikan yang dikasihinya. Ia hanya bisa memeluk dan menghibur, yang sebenarnya tak banyak berarti karena seorang pelayan dengan Putri Kerajaan tak dapat hidup terlalu akrab. Demikian aturannya. Demikian rantai kekangnya.

Malam ini, setelah bertahun-tahun ia tinggal di Inggris, Gavin Marshall hadir kembali. Rodrigue tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Lady Luna sekarang. Betapa pun teman-temannya terbius oleh betapa mereka yakin Gavin Marshall menyukai, bahkan mencintai Luna. Ia sendiri sangsi. Setelah lelaki itu berani meninggalkan Luna dalam keterpurukan, mungkinkah cinta itu benar-benar ada?

***

Denting sendok dan garpu bertemu piring-piring putih memantul ke tiang-tiang, menciptakan sepi yang sempurna. Tangan kanan Gavin tidak sengaja menyenggol tangan Luna ketika dirinya tengah mengiris daging. Luna terkesiap bukan main. Membeku sejenak dan dengan gemetar, berusaha memasukkan seiris daging ke dalam mulutnya. Lady Earlene dan Adrien tersenyum sinis.

“Jadi, Mr. Marshall, apa yang kau lakukan selama di Inggris?” Alexandrina memecah kebekuan. Frederich memandang Gavin.

“Bisnis, tentu saja,” pria itu menjawab sebisanya.

“Bagus sekali, bisnis adalah alasan utama mengapa seseorang menetap dan berpindah-pindah,” balas Lady Earlene. Ia telah menggabungkan sikap keterbukaan yang dingin dengan sikap angkuh dan kesedihan yang membuat caranya memilih kata-kata tampak dibuat-buat.

Menu makanan diputar, Linda mengambil sebongkah daging. Sunyi lagi.

“Ayah juga tengah berada di Vancouver untuk urusan bisnisnya,” giliran Adrien bersua. “Mungkin untuk sebulan ini, dia tidak akan berada di istana.”

“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu, sebelum beliau ke Vancouver, beliau terbang ke Wina terlebih dahulu.”

“Kalian bertemu di Wina, Mr.Marshall?”

“Yah, ada pameran lukisan dan konser musik klasik disana.”

“Mr.Marshall memiliki gedung kesenian megah di Wina,” celetuk Linda. William membenarkan. “Aku pernah kesana, sungguh luar biasa sekali tempatnya!”

Semua tersenyum. Sesi makan malam selesai tanpa percakapan lagi.

***

Malam semakin mendekati pagi. Mereka berjalan menyusuri koridor, menuju ruang utama. Sepanjang perjalanan, lukisan-lukisan klasik terpajang dan patung-patung malaikat berdiri kokoh. Gavin, Sang Kurator Seni, mengamati dalam-dalam lukisan dan patung yang memanjang dikedua sisi. Ia berdecak kagum dan sesekali memuji sang pelukis. Frederich menjelaskan dan membeberkan dengan dramatis bagaimana perjalanan patung-patung dan lukisan-lukisan tersebut dari museum seni di Louvre ke Istana Alegra. Betapa mahal harganya! Betapa berat! Betapa Oh betapa! Gavin mengangguk-angguk.

“Tidak banyak yang berubah kecuali ada tambahan untuk Picasso dan Michaengelo,” tuturnya, santun. Ia merapatkan jas hitam panjangnya dan lanjut berjalan. Di depannya berjalan, adalah Sang Putri Luna Alegra. Gavin mempercepat langkahnya sehingga dapat sejajar dengan Luna.

“Bagaimana menurutmu jika aku menambahkan sedikit lukisan untuk istana ini, Lady?” tanyanya, dengan sopan.

“Ya, silahkan saja, Tuan.” Luna menjawab dengan tak kalah santun. Ia mencoba bersikap biasa saja kepada lelaki itu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.

“Bagaimana jika sedikit ada polesan De Caprio disini?”

“Ya, boleh saja, Tuan. Anda boleh ambil lukisan Leonardo De Caprio dari seluruh dunia dan membawanya kemari. Anda pasti mampu melakukannya.”

Luna berjalan cepat-cepat meninggalkan Gavin di belakang. Gavin menggelengkan kepala heran seraya tersimpul menahan tawa atas apa yang dianggapnya lucu tersebut.

*****

Sampai di ruang utama, Lady Earlene dan Frederich lebih banyak mengambil alih pembicaraan, terutama berkaitan dengan jadwal kunjungan Gavin Marshall yang padat. Kedatangan Gavin Marshall ke istana Alegra memiliki jadwal yang padat. Selama beberapa hari ke depan, ia akan mengikuti rapat bersama Kongres, juga menemui beberapa pebisnis ulung dan menerapkan beberapa strategi guna rencana The Great Alegra ke depan. Ia memang bukan Raja, namun Lord Alastairs telah setuju dengan Grand Master of Wangsa B untuk mengutusnya langsung dan siapapun tidak ada yang sanggup membantah.

“Ia akan menyelamatkan kita,” demikian ungkap Lord Alastairs tempo lalu kepada Frederich di telepon. “Grand Master bilang dia yang terbaik.”

“Kau tahu, sesungguhnya aku merasa terancam,” Frederich tidak menutup-nutupi kekesalannya. “Jika kau terlalu menuruti ucapan Grand Master itu, aku takut nantinya akan menjadi bumerang.”

“Aku tidak selalu mengikuti ucapan Grand Master, tapi aku mempertimbangkannya dan aku setuju.” Lord Alastairs tersinggung. “Apa kau punya ide yang lebih bagus? Untuk menumpas para pemberontak Rebelution itu? Untuk menutupi defisit negara? Untuk menyelamatkan bisnis-bisnismu? Carikan aku solusi selain mendatangkan dia?”

“Kalau begitu kenapa kau tidak datang kemari dan hadapi dia?”

“Kalau aku disana dan menemui dia, apa kau sanggup disini dan menemui Grand Master?”

Frederich tertohok. Lalu untuk menyembunyikan kekecewaannya, ia menghamburkan kata minta maaf. Lord Alastairs tak cukup ramah untuk merespon basa basi itu dan telepon ditutup sepihak.

*****

Luna adalah orang terakhir yang sampai di ruang utama. Entah bagaimana, padahal ia pikir mungkin masih ada orang lain, Gavin misalnya, di belakangnya. Tetapi ternyata ia salah. Maka ia duduk dengan canggung di sofa di sebelah Linda. Gavin melirik The Duchess of The Honorable of Alegra itu penuh kelembutan, “Apa kau baik-baik saja, Lady Luna?”

“Ya,” jawab Luna, nyaris tak terdengar. Linda, William, Adrien, Frederich dan  Alexandrina saling memandang kedua orang itu bergiliran, rasa heran menggelayut. Lady Earlene berdehem kesal.

“Bisa kita mulai, Mr. Marshall?” tanyanya.

“Oh, ya, baiklah,” Gavin bersua, “Jadi aku datang kemari untuk menyelamatkan negeri ini dari hmmm... kelompok pemberontak Rebelution dan... hutang negara. Benar bukan, Ratu?”

Lady Earlene tertawa kecil, “Benar sekali, Tuan Muda Marshall. Jadi, apa rencanamu?”

“Aku punya banyak rencana. Kepalaku penuh dengan segudang ide,” Gavin berkata dengan optimis. “Dari mana aku harus memulainya ya? Oh ya, mungkin dari masalah hutang. Ratu, bukankah besok kita akan ada rapat di parlemen dengan agenda merancang APBN dan menanggulangi defisit negara?”

“Ya, benar.”

“Aku yang akan memimpin rapat itu, Mr. Marshall,” Adrien menimpali. “Ini adalah pembekalan bagiku sebagai Putra Mahkota.”

Lady Earlene tersenyum anggun menyetujui ucapan Adrien.

“Oh, baguslah!” seru Gavin. “Jadi aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar disini. Intinya, aku akan mengusahakan peningkatan pajak dan transparansi dari perusahaan-perusahaan swasta yang bercokol disini. Beres.”

“Kau akan datang rapat besok, Mr.Marshall?” William penasaran.

“Oh, ya, tentu saja, Will. Aku harus berada disana untuk menjalankan rencanaku.”

Tak ada jawaban. Carter dan beberapa pelayan datang membawa senampan minuman dalam gelas-gelas piala. Masing-masing orang mengambilnya takzim.

Hening.

“Lalu bagaimana dengan masalah pemberontak itu?” Lady Earlene melirik Luna, “Aku dengar kau akan membawa ‘putri kesayanganku’ ini ke Asrama Honeysuckle, Mr. Marshall?”

Yang disebut namanya hanya mampu meneguk setengah gelas anggur dalam satu tegukan. Ia teringat bahwa ia harus bersikap sopan, namun ia nyaris tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Sikap Lady Earlene benar-benar menyiksanya.

Gavin memandang Luna, “Ya, dia akan ikut bersamaku untuk satu tahun ke depan. Kita akan menumpas pemberontak itu langsung di markasnya.”

Semua tercekat.

“Aku tidak mengerti,” Linda memberanikan diri bertanya, “Bagaimana?”

“Luna akan meneruskan sekolahnya di Asrama Honeysuckle bersamaku,” jawab Gavin, santai. “Asrama itu diduga menjadi pusat aktivitas para pemberontak. Kita harus adakan inspeksi langsung kesana.”

“Kenapa tidak suruh saja agen intelijenmu untuk menyelidikinya?” Luna spontan bertanya, suaranya bergetar ketakutan.

“Karena kasus ini tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada anggota diluar kerajaan,” jawab Gavin, tanpa memandang ke arah Luna. “Salah satu yang tidak dipahami para pemberontak itu adalah bahwa mereka tidak mengenal kalian begitu baik. Maka kita butuh sukarelawan. Salah satu dari keluarga kerajaan harus turun ke lapangan dan berhadapan dengan mereka. Dan aku memilih Lady Luna Lavina Alegra, The Duchess of The Honorable of Alegra.”

“Apa maksudmu? Aku akan dijadikan umpan?” Luna nyaris kehilangan kendali. Matanya berkaca-kaca, menahan jatuhnya air bah.

“Aku tidak bisa melakukan ini,” lanjutnya. “Ini sangat berbahaya. Mereka bisa membunuhku. Kalian tidak bisa mengorbankan aku begitu saja.”

“Luna, kalau bukan kau lantas siapa?” Lady Earlene blak-blakan. “Kau pikir aku yang harus turun kotor-kotor menghadapi mereka? Atau Adrien? Alexandrina? Lord Frederich? Kami semua sibuk mengurusi pemerintahan dan parlemen. Lalu siapa? Huh? William dan Linda? Mereka sedang sibuk menyiapkan pernikahan mereka. Apa kau tega menghancurkan impian yang bertahun-tahun yang mereka rajut?”

“Aku pun memiliki mimpiku sendiri, Mama...” Luna terisak. “Apa yang telah kau rencanakan untukku seolah-olah aku tidak pernah ada. Kau mengatur hidupku seakan kau ingin membuangku.”

Plak! Tamparan itu mendarat keras di pipi Luna. Gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya sedikit membentur kaki meja. Ia mengaduh kesakitan.

“Apa yang telah kau katakan padaku, anak haram? Kau telah hidup bertahun-tahun disini dengan segala kemewahan yang ada. Aku, semua yang ada disini memberikan segala materi yang kau mau. Lalu apa yang akan kau berikan untuk kami? Huh? Apa kau pikir kau akan enak-enakan saja berleha-leha disini, anak haram?” Lady Earlene naik pitam.

Suasana menjadi benar-benar tegang. Semua diam. Baik Adrien, Alexandrina, Frederich, William dan Linda, tidak ada yang berani menjawab ucapan Lady Earlene, bahkan memotong perkataannya pun tidak. Dia adalah Sang Ratu. Siapakah yang berani melawan kehendak Sang Ratu?

“Sebaiknya kau tahu diri,” timpal Adrien, datar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status