Share

5. Si Sapi'i

Alexa memegangi dua ember yang sedianya untuk menampung susu sapi. Sementara Gala dan Bagus telah masuk ke dalam kandang sapi dan bersiap untuk memerah. Sungguh ia baru tahu kalau di belakang rumah Pak Hamid ini ada beberapa ekor sapi yang besar-besar. Hanya saja jumlahnya tidak banyak.

Alexa mulai menghitung. Hanya enam ekor sapi di sana. Yang begini ini namanya peternak besar? Kalau sapinya cuma enam mana pantas menyandang nama peternak besar? Tukang sapi sih iya. Pak Hamid juga bilang kalau si Gala ini petani cabe merah dan bawah merah terbesar di negeri ini kan? Coba nanti ia lihat. Jangan-jangan kebunnya juga cuma sepetak dua petak juga. Mungkin pengertian besarnya ia dengan Pak Hamid beda.

"Eh gadis kota, ngapain kamu bengong saja di situ? Kamu ini niat bekerja atau tidak?" Teriakan Gala membuat Alexa mengkertakkan gerahamnya. Sialan emang si Gala ini. Pasti majikan galaknya ini mempunyai sifat pendendam. Buktinya baru dikatai sekali saja, ia sudah membalas dengan memberinya bermacam-macam nama julukan. Namun demi menunaikan tugas ia akan menutup mulutnya dulu. Biarlah majikannya ia menang duluan. Toh pemenang sejati adalah ia yang tertawa paling akhir bukan?

"Iya, Bos kampung. Gue datang. Nyinyir amat sih jadi laki?"

Lo manggil gue gadis kota. Gantian gue manggil lo Bos kampung. Satu sama.

"Kamu ini bukannya sudah dinasehati akungmu untuk selalu menggunakan kata saya sebagai penyebut diri. Kenapa sekarang kamu memakai kata gue lagi?"

Eh sianying. Dia inget aja lagi. Tapi biar saja. Toh Pak Hamid sedang tidak ada di sini.

"Ck. Udahlah Pak Bos kampung. Masalah kecil seperti begitu jangan dibesar-besarkan. Lagian saya dan gue itu artinya sama kan?" gerutunya. Alexa pun mulai masuk ke dalam kandang. Seketika ia merasa mual. Hidungnya belum bisa beradaptasi dengan kotoran sapi, dan segala aroma yang tidak mengenakkan di dalamnya. Dari jarak jauh sih, masih mendingan. Namun saat ia benar-benar berada dalam kandang seperti ini, ia megap-megap juga. Tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa mualnya. Ia bertekad akan melalui semua ujiannya dengan gagah berani. Makanya saat ini ia mati-matian memperlihatkan air muka yang biasa saja. Padahal kepalanya keliyengan luar biasa.

"Ya bedalah," bantah Gala.

"Heh. Beda? Apa coba bedanya?" Demi menetralisir aroma-aroma yang tidak enak, Alexa terus saja berbicara. Diharapkan dengan terus berdebat kusir, ia jadi tidak mengingat-ingat aroma yang tidak mengenakkan ini.

"Kalau saya itu, aku," jawab Gala sambil menepuk dadanya sendiri.

"Lah kalau gue?" tanya Alexa penasaran.

"Monyet," sahut Gala kalem.

Eh sianying!

"Ngomong apa lo?" Alexa merasa darahnya naik semua ke kepala. Ini orang mulutnya lemes amat ya? Rasa-rasanya ingin sekali menggantungkan ember yang tengah dijinjingnya ke kepala Gala. Namun ia masih berpikir panjang. Statusnya di sini adalah Jamilah binti Surip. Bukan Alexa Delacroix Adams. Tetapi kalau ia mendiamkan saja pembully-an ini, lama-lama ia bisa bisulan karena makan hati.

Baru saja ia berniat untuk balas membalas mulut lemes Gala, Pak Hamid sudah lebih dulu memanggilnya. Pak Hamid meneriakkan namanya seraya mengelurkan ponsel. Alexa merasa sangat gembira. Itu artinya keluarga di Jakarta yang menghubunginya. Entah siapa yang mencarinya di pagi buta seperti ini. Mungkin mamanya. Ya, pasti mamanya merindukannya. Selama ini ia memang tidak pernah terpisah jauh dari rumah.

Ia meletakkan kedua ember itu ke tanah begitu saja. Ia kemudia menghambur ke arah Pak Hamid yang berdiri di pintu penghubung. Selama diungsikan ke desa ini, ia memang tidak diperbolehkan membawa ponselnya. Kata papanya jika ia ingin memiliki ponsel, maka ia harus membelinya sendiri. Untuk itulah ia bertekad mati-matian bekerja di sini. Ia harus kembali memiliki ponsel. Bayangkan, sudah diasingkan ke desa, eh hiburan satu-satunya pun disita. Bagaimana ia tidak ingin menangis sambil koprol saja rasanya.

"Mama menelepon ya, Pak?" Alexa meraih ponsel dari tangan pak Hamid dengan gembira.

"Bukan. Den Xander. Bicaranya jangan lama-lama ya, Non? Gala itu tidak suka kalau saat bekerja, malah bermain ponsel. Bapak tunggu lima menit ya?" Pak Hamid masuk kembali ke dalam rumah. Ya ingin memberi majikan kecilnya ini privasi.

"Ya, Bang. Tumben Abang menelepon Lexa pagi-pagi. Ada kabar penting ya, Bang?" Insting Alexa mengatakan ada hal urgent yang ingin disampaikan oleh kakaknya. Jika tidak ada hal yang penting sekali, tidak mungkin kakaknya mencarinya pagi-pagi buta seperti ini. Sikap tubuhnya langsung waspada.

"Brandon sedang mengincarmu. Tadi malam Brandon dan Pak Hardiman datang menghadap papa. Mereka ingin melamarmu. Brandon juga bersedia dijajal di Alcatraz sebagai syarat menjadi calon menantu katanya. Abang bisa menilai kalau Brandon itu sungguh-sungguh dengan niatnya. Kamu harus berhati-hati."

Brandon melamarnya? Kiamat sudah sedekat ini rupanya!

"Nggak mau! Sampai mati pun Lexa nggak sudi menjadi istri Brandon!" Alexa panik. Di dunia ini laki-laki yang paling tidak ia sukai adalah Brandon. Selain tidak suka, sebenarnya ia juga takut pada Brandon. Ada satu kejadian yang membuatnya trauma. Dan demi membunuh rasa takutnya, ia dengan sengaja menantang-nantang Brandon dalam segala hal. Ia tidak ingin Brandon mengendus rasa takutnya.

"Kalau begitu, kamu harus lulus dalam ujian ini. Karena papa mengatakan pada mereka, kalau saat ini kamu tengah menjalani masa hukuman. Dan apabila kamu menyerah sebelum masa hukumanmu selesai, barulah papa akan menerima lamaran mereka. Kamu tahu kan apa artinya itu, Lexa?"

"Tahu, Bang. Berarti Lexa harus bertahan di sini sampai setahun ke depan, walau apapun yang akan terjadi. Sekalipun terjadi banjir bandang bahkan gempa bumi."

"Seperti itulah kira-kira gambarannya kalau kamu tidak ingin menjadi nyonya Brandon Sanjaya. Atau kamu boleh kembali ke rumah sebelum masa hukuman habis, tetapi dengan satu syarat. Bawa calon suamimu ke hadapan Papa dan Abang. Dan kalau Brandon masih menginginkanmu menjadi istrinya, maka calon suamimu itu wajib menghadapi tantangan Brandon. Setelah ia mampu mengalahkan Brandon dalam keadaan masih hidup, barulah ia berhadapan dengan Abang dan papa. Apakah kata-kata Abang ini bisa kamu mengerti, Lexa?"

Mengerti, tapi masalahnya, siapa orangnya?

"Mengerti, Bang."

"Bagus, Abang tutup dulu teleponnya. Ingat satu hal Lexa. Sesal kemudian tiada berguna."

Setelah menutup ponsel, satu tekad tumbuh dalam dirinya. Yaitu ia akan bertahan hingga akhir di desa Pelem ini. Walau ia tahu, untuk itu bukanlah hal yang mudah. Menghadapi seorang Gala saja, ia terus naik darah, apalagi ia harus beradaptasi dengan kehidupan di sini. Namun ia juga menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain lagi.

Ayolah, Lexa. Lo ini adalah keturunan seorang Delacroix Adams. Lo ingat semboyan sakral keluarga lo yang melegenda? Bahwa jangan pernah takluk pada keadaan. Tetapi taklukkanlah keadaan, hingga ia merunduk padamu.

"Harus berapa lama lagi saya menunggumu bekerja, Gadis kota?" Teriakan bercampur kecaman Gala membuat lamunan Alexa buyar.

"Siap, Pak. Sebentar, gue--eh saya mengembalikan ponsel dulu pada Akung." Alexa yang telah memutuskan bahwa ia akan berjuang di desa ini, memulainya dengan menyebut dirinya sendiri dengan sebutan saya. Seperti keinginan Pak Hamid dan juga Gala. Namun ternyata ia tidak perlu mengembalikan ponselnya pada Pak Hamid. Karena si bapak sudah lebih dulu muncul di ambang pintu penghubung. Setelah mengembalikan ponsel pada Pak Hamid, ia bergegas kembali ke kandang sapi.

"Saya datang, Bapak Gala yang terhormat. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Mohon petunjuknya," ujar Alexa sopan. Alih-alih menjawab pertanyaannya Gala malah saling memandang dengan Bagus. Sepertinya mereka heran dengan perubahan sikapnya yang mendadak ini. Setelah sempat terdiam beberapa detik, barulah Gala menanggapi pertanyaannya.

"Sekarang kamu jongkok dan ambil ember yang kamu letakkan tadi. Saya akan mengajarimu cara memerah susu."

"Siap," jawab Alexa singkat. Dan lagi-lagi ia mendapati Gala dan Bagus saling memandang. Tingkah keduanya telah menyerupai orang yang sedang berpacaran saja. Sebentar-sebentar saling memandang dalam diam dengan penuh perasaan.

"Baik. Mulailah dengan mengikatkan halter di leher sapi ini pada tiang yang kukuh," sembari menginstruksikan Gala juga ikut jongkok dan mempraktekkan caranya.

"Kemudian dekati sapi secara perlahan dan mulailah dengan membersihkan ambingnya. Yaitu kelenjar yang berfungsi untuk mengeluarkan susu. Perhatikan baik-baik cara saya membersihkannya." Dengan patuh Alexa memperhatikan Gala mencelupkan kain lembut pada sebuah ember kecil. Memeras airnya lembut seraya mendekati sapi.

"Bersihkan ambing sapi perlahan-lahan dengan air sabun atau yodium. Karena ambing biasanya kotor oleh rumput, jerami, dan tanah. Kita harus mencuci ambing hingga bersih sebelum mulai memerah. Gunanya adalah untuk mencegah tanah dan semua bakteri agar tidak mengontaminasi susu. Ikuti gerakan saya."

Walau sesungguhnya ia was was karena takut disepak oleh sapi, ia juga malu. Bayangkan, ia harus menggerepe-gerepe ambing sapi di depan mata Gala. Namun karena ia telah bertekad akan terus berjuang di sini, ia tetap melaksanakan titah Gala. Ia mulai membersihkan ambing sapi dengan lembut.

"Seka terus hingga bersih," perintah Gala lagi. Gala kemudian berdiri perlahan, sembari mengelus-elus sapi.

"Nah sekarang lumasi tanganmu dengan pelumas ambing sapi, agar ambing sapi tidak luka atau lecet-lecet saat kamu memerahnya nanti. Bicara yang lembut pada sapi dan tepuk-tepuk sisi tubuhnya sehingga ia mengetahui tempatmu berada. Sapi memiliki jangkauan penglihatan sebesar 300 derajat. Yang artinya ia bisa melihat sekelilingnya tanpa menggerakkan kepala. Kecuali yang berada langsung di depan dan di belakangnya."

Mengajak sapi bicara? Emangnya gue harus ngobrol apa sama ini sapi? Masa gue harus nanya apa ia mau mau diajak ngetrack bareng?

Tetapi Alexa tetap juga mengikuti instruksi Gala. Ia segera berdiri karena ingin mengajak Sapi'i berbicara. Ya, ia memutuskan untuk memberi nama sapi ini dengan nama Sapi'i saja. Singkat, tepat, namun bermakna

Sesuatu kemudian terjadi di di luar perkiraannya. Sapi'i bergerak dan mengibaskan ekornya. Alexa kaget luar biasa. Sontak ia memeluk erat Gala yang berdiri tepat di hadapannya karena ketakutan. Apalagi si Sapi'i kini mendengkus-dengkus ganas. Alexa merinding. Tanpa sadar ia makin melesakkan tubuh pada Gala. Memeluknya kian rapat. Alexa bahkan tidak mempedulikan suara batuk-batuk kecil Bagus. Ia terlalu takut untuk menyadari keadaan di di sekelilingnya.

"Tidak apa-apa, Milah. Kamu jangan ketakutan seperti itu. Sapi itu tidak seberbahaya kuda. Yang penting jangan melakukan gerakan mendadak." Alexa tidak menjawab. Ia masih berusaha meredakan jantungnya. Ia memang akrab dengan kekerasan. Berkelahi, balap mobil, bahkan menghadapi keroyokan musuh pun ia tidak gentar. Tetapi ia tidak pernah menghadapi binatang. Apalagi yang besarnya seperti si Sapi'i ini. Mendengarnya mendengkus-dengkus saja, ia sudah ketakutan setengah mati.

Akan halnya Gala. Ia risih luar biasa. Apalagi tubuhnya kotor dan berkeringat akibat aktifitas fisiknya. Pasti tubuhnya kini telah mengeluarkan aroma yang tidak enak. Apalagi Bagus memandangnya dengan tatapan ganjil. Antara kaget dan tawa tertahan. Saat ini ia hanya berdiri diam dengan kedua tangan tetap berada di sisi tubuhnya. Ia tidak berani menyentuh gadis kota ini. Ia bukanlah laki-laki mata keranjang yang suka mengambil kesempatan.

"Sudah hilang kagetnya? Sekarang coba kamu jongkok kembali." Serba salah Gala mencoba memisahkan tubuhnya yang melekat erat dengan Jamilah.

Alexa membuka matanya perlahan. Tatapannya menelusuri dada bidang yang basah oleh keringat. Naik ke leher, hingga ke rahang kokoh dan wajah datar Gala. Astaga! Ia telah sembarangan memeluk orang rupanya. Ia sontak melepaskan diri dan mendorong keras dada Gala. Hebatnya Gala tidak terjengkang. Padahal ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Gala hanya mundur dua langkah. Dan itu pun karena ia memang ingin mundur. Bukan karena dorongannya. Setelahnya mereka berdua sama-sama kikuk. Ia tidak tahu harus melakukan apa.

"Ayo sekarang kamu jongkok, dan letakkan ember di bawah ambing sapi." Akhirnya Gala bersuara. Tanpa perlu disuruh dua kali Alexa segera menuruti perintahnya.

"Ingat kamu jangan membuat gerakan tiba-tiba yang mengejutkan sapi. Karena sapi bisa panik, hingga ia bisa menendang atau menginjak."

Menendang? Menginjak? Kok rasanya sapi-sapi ini seperti ingin mengajaknya berkelahi.

"Berarti tidak aman dong, Pak duduk di dekat sapi?"

"Kamu salah. Justru kamu harus duduk sedekat mungkin dengan sapi. Dengan begitu kalau pun ada kejadian, paling kamu hanya akan terjengkang apabila sapi menendang. Tapi jika jarak di antara kalian cukup jauh, tendangan sapi bisa telak melukaimu. Mengerti?"

Ingat Lexa, lo harus lulus ujian kalo lo nggak mau dimilikin si brengsek Brandon.

"Mengerti, Pak. Jangan 'kan cuma disepak. Kalau pun gue eh saya harus berantem sama ini si Sapi'i, saya jabanin dah."

"Lantas siapa tadi yang memeluk saya begitu erat seperti anak monyet?"

Eh dia bahas monyet lagi? Sialan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status