Share

4. Premanwati masuk Kampung.

"Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut-ribut?" Pak Hamid dan Mbok Sari ikut muncul dari pintu penghubung belakang rumah. Di belakang Pak Hamid ada bayangan Pak Sutris dan Bu Sri. Keduanya adalah orang tua Bagus yang juga tinggal di rumah ini. Di tangan Pak Hamid ada sebuah senter yang menyala terang. Alexa mengernyit. Apa-apaan ini? Mengapa semua penghuni rumah juga ikut keluar dari pintu penghubung yang sama?

"Ini, Kung. Ada maling yang mengendap-endap di--aduh!" Alexa mengaduh tertahan saat si Belanga ini benar-benar meremukkan tangannya.

"Kok maling sih? Ini Gala, Milah. Calon majikan kamu? Jenggala namanya." Pelototan Pak Hamid mengindikasikan satu hal. Bahwa ia sudah melakukan kesalahan. Eh Pak Hamid bilang apa tadi? Majikan?

Jadi si Belanga ini adalah Pak Gala yang kemarin Pak Hamid ceritakan. Kacau!

"Ayo minta maaf, Milah. Kamu tidak sopan sudah menuduh orang sembarangan," seru Pak Hamid lagi.

"Lah, Milah bagaimana minta maafnya, Kung. Lihat nih, kedua tangan Milah aja ditelikung gini," adu Lexa kesal.

"Lagian kenapa juga si Belanga--eh Pak Gala ini pagi-pagi buta mengendap-endap di belakang rumah kita? Ya, Milah kira ma--aduh!" Alexa memaki. Gala kembali meremas tangannya setiap kali ia menyebut kata maling. Sialan!

"Saya tidak mengendap-endap. Bagus membukakan pintu untuk saya. Dan saya datang untuk memantau Bagus memerah susu!" sergah Gala galak, seraya melepaskan tangannya. Jawaban ketus Gala itu membuat Alexa ternganga.

"Me--memerah susu? Susu siapa yang akan kalian  perah? Astaga!" Alexa merasa sangat ngeri mendengar kata-kata Gala. Ia refleks menyilangkan tangannya ke dada.

"Buang pikiran gila itu dari kepalamu, gadis kota! Memerah susu yang saya maksudkan adalah memerah susu sapi. Bukan susumu!"

Alhamdulillah W* Syukurillah.

Tawa tertahan terdengar dari arah belakangnya. Kurang ajar, Bagus menertawainya.

"Memangnya kamu tidak melihat ember-ember yang dibawa oleh Bagus itu." Gala menunjuk ember-ember yang bergelimpangan di tanah, karena dibuang sembarang oleh Bagus tadi.

"Ember-ember itu gunanya untuk menampung susu-susu sapi yang akan diperah. Kamu ini pikirannya melayang ke mana-mana!

"Ya mana gue tahu lo mau meres susu sapi. Gue kagak pernah ngelihat hal begituan sebelumnya. Gue minum susunya udah dalam bentuk kemasan!"

"Sudah... sudah... jangan diperpanjang lagi. Sebaiknya sekarang kita duduk dulu." Pak Hamid mendahului berjalan menuju teras. Diikuti oleh Mbok Sari dan Bagus. Sementara Alexa masih saling bertatap-tatapan sengit dengan Gala. Jika begini ini modelan bossnya, apa bisa ia bertahan dalam setahun?

"Saya tidak menyangka bahwa cucu Pak Hamid itu adalah perempuan bar bar sepertimu. Saya kira bahwa saya akan menemui gadis lugu yang tuturnya sopan dan sikapnya santun. Mengingat akung dan utimu yang sangat sopan tingkah dan lakunya."

"Sikap dan tingkah laku itu tidak diturunkan secara genetik. Jadi berhenti membanding-bandingkan gue dengan Akung dan Uti."

Gala tidak menyahuti kata-katanya lagi. Ia hanya menatapnya dingin dari sudut mata. Berikutnya ia telah menyusul langkah Mbok Sari dan Bagus. Alexa mau tidak mau mengekori langkah Gala walau hatinya sungguh kisruh. Baru hari pertama tinggal di kampung, masalah yang ia hadapi telah kacau seperti ini. Apalagi jika mengingat ia harus bekerja di bawah perintah Gala. Majikan yang sudah jelas-jelas tidak menyukainya, demikian pula sebaliknya. Setahun pasti akan terasa sepuluh tahun saat ia menjalaninya.

Dan akhirnya mereka semua berkumpul pada bale-bale panjang, dan juga kursi yang terbuat dari bambu yang disambung-sambung. Cuaca masih gelap dan berangin. Alexa bergidik. Subuh-subuh di perkampungan seperti ini, ternyata dinginnya luar biasa.

Pak Hamid dan Bagus telah lebih dulu duduk di bale-bale. Sementara Mbok Sari dan kedua orang tua Bagus sudah tidak terlihat. Sepertinya mereka semua telah masuk ke dalam rumah.

Alexa memandang sekitar. Tempat yang tersisa hanyalah bangku panjang bambu. Itu artinya dirinya dan Gala akan duduk bersama di sana. Ia ngeri apakah bangku bambu ini kuat menyangga berat badan mereka berdua. Mengingat perawakan Gala saja sudah sebesar ini. Sementara dirinya juga bisa dikategorikan berat. Struktur tubuhnya memang berbeda dengan gadis-gadis biasanya.

Gala yang lebih dulu menjatuhkan bokong di bangku. Diikuti dirinya yang duduk dengan takut-takut. Ia ngeri membayangkan kalau bokongnya sampai terjepit di antara bilah-bilah bambu.

"Nah, Nak Gala. Kebetulan sekali Nak Gala ke sini. Inilah Jamilah, cucu Bapak yang sudah Bapak ceritakan pada ayahmu. Jamilah akan tinggal di kampung ini , untuk menemani Bapak dan Ibu. Untuk itu Bapak ingin kamu mempekerjakan Milah di perkebunan, kalau kamu tidak keberatan." Pak Hamid dengan lancar memperkenalkannya pada Gala. Alexa angkat topi pada sempurnanya Pak Hamid ini berakting. Sedari tadi tutur katanya lancar jaya, tanpa keserimpet kata sedikitpun.

"Ayo, perkenalkan dirimu Milah. Ucapkan juga kata maaf karena kamu tadi telah salah menuduh Nak Gala." Selama berbicara Pak Hamid menatapnya dalam. Dalam tatapan itu tersirat kalu ia tidak ingin dibantah.

"Gue minta maaf," pungkasnya datar. Sungguh ia merasa seperti seorang anak SD yang tengah berseteru, dan dipaksa untuk berbaikan dengan teman sebangkunya yang nakal.

"Gunakan bahasa yang sopan, Milah. Gunakan kata saya sebagai penganti gue. Di Jakarta memang penyebutan kata gue itu sudah lumrah. Tetapi kalau di sini itu tidak sopan Milah. Ayo ulangi kalimat meminta maafnya," perintah Pak Hamid lagi.

Alexa meradang. Lihatlah gaya songong si Gala ini. Bukannya mengubah air muka menjadi lebih ramah, agar ia lebih rileks saat berbicara. Ini malah semakin ketat. Sekarang air muka Gala saingan dengan ketatnya kolor baru. Menegangkan. Selain itu si Gala ini juga tidak sopan. Karena terus mengotak-atik ponselnya saat ada orang yang ingin meminta maaf padanya. Padahal jarang-jarang ia bersedia meminta maaf pada orang lain. Apalagi sebenarnya ia juga tidak bersalah.

"Saya minta maaf."

"Hm,"

Eh sianying. Cuma hem doang?

"Kalau sudah saling memaafkan, kan lebih enak. Jadi bagaimana Nak Gala? Kapan Milah bisa mulai bekerja? Menurut Bagus, saat ini sedang musim panen cabe. Nak Gala pasti membutuhkan banyak tenaga untuk memetik cabe. Bukankah begitu, Nak?"

Alexa menggembungkan pipinya. Fixed, ia telah resmi menjadi buruh pemetik cabe sekarang.

"Kalau masalah kapan bekerja, saat ini juga dia bisa bekerja. Tapi bukan sebagai buruh pemetik cabe. Karena ini masih terlalu pagi. Nanti sekitar dua jam setengah lagi barulah waktu yang tepat untuk memanen. Karena cuaca sudah terang dan embun telah menghilang. Kalau masih berembun takutnya cabe akan

terkontaminasi oleh organisme pembusuk."

Mendengar perkataan Gala, Alexa menarik napas lega. Lumayan, ia bisa menjauhi orang ini selama dua jam lamanya. Lebih baik ia meneruskan menyapu dedaunan, dan setelahnya kembali ke kamarnya. Ia bisa sakit kuning kalau terus-terus melihat wajah asem si Gala ini.

"Tapi..." Gala memotong kalimatnya.

Alexa menghentikan langkahnya. Roman-romannya bakalan ada kejadian yang tidak menyenangkannya lagi ini.

"Tapi kalau membantu saya memerah susu, tentu saja bisa. Rencananya tadi, hanya saya dan Bagus yang akan memerah. Namun dengan adanya Jamidun ini--"

"Jamilah! Lo jangan sekate-kate ngeganti nama orang ya?" Alexa berkacak pinggang. Nama Alexandra Delacroix Adams diganti menjadi Jamilah Binti Surip saja rasanya sudah menyesakkan dada. Ini diubah lagi menjadi Jamidun. Ginjalnya langsung ingin koprol saja rasanya.

"Milah, biasakan menyebut diri dengan kata saya kepada orang yang lebih tua," peringat keras Pak Hamid yang kedua kalinya ini, sontak membuatnya mengunci mulut. Hanya tatapannya saja yang membara.

"Saya tidak boleh mengganti namamu sembarangan. Tapi kalau kamu yang melakukannya boleh? Begitu?" Gala menaikkan alisnya. Sebenarnya ia dongkol sekali melihat kekeraskepalaan cucu Pak Surip ini. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau Jamilah Binti Surip, yang dalam bayangannya adalah seorang gadis manis berambut panjang yang ayu, ternyata malah seperti ini wujudnya. Berwajah bule, berambut pendek dan bar bar luar biasa.

Mengenai wajah bulenya, ia tidak kaget. Karena Bagus tadi mengatakan bahwa ibu si Milah ini berasal dari Prancis. Yang membuatnya shock adalah sikap beraninya. Rasanya agak janggal kalau cucu dari seorang yang konon katanya, maaf, hanya seorang supir di Jakarta, mempunyai sikap percaya diri seperti ini. Jamilah terlalu berani untuk ukuran masyarakat golongan ekonomi lemah.

"Oh Milah mau Nak Gala ajak memerah susu toh? Silakan kalau begitu. Biar nanti Milah juga tahu, apa perbedaan sapi kecil dengan kambing."

Waduh, rencananya gagal!

Alexa hanya bisa memandangi kepergian Pak Hamid dengan pandangan nanar. Sebenarnya ia tidak masalah harus bekerja apa saja. Toh tujuannya dibuang ke desa ini adalah untuk menjalani hukuman. Hanya saja membayangkan dirinya harus memerah susu, selain takut ditendang sapi, ia juga merasa malu. Bayangkan, ia harus memegang-megang payudar* seekor sapi. Rasa-rasanya kok ia malu.

"Kenapa kamu bengong gadis kota? Tidak sanggup menjalani kehidupan keras di kampung ini? Kalau begitu untuk apa kamu ikut dengan akungmu tinggal di kampung ini? Sana, kembali saja ke ibukota!"

Ebuset ini orang mulutnya aktif bener ya?

"Siapa bilang gue kagak sanggup? Jangankan cuma meres susu. Meres lo pun gue jabanin. Paham lo!" Saat marah, ia lupa kalau harus menggunakan kata ganti saya.

"Kalau begitu tunggu apalagi? Ambil ember-ember itu dan ikuti saya dan Bagus ke kandang sapi!"

Setelah meneriakkan perintah, Gala berjalan ke arah pintu penghubung tadi. Alexa memandangi langkah sombongnya geram. Setelahnya ia meraih dua buah ember yang tadi dilempar sembarang oleh Bagus.

"Sudah Milah, jangan dipandangi terus Mas Galanya. Dikhawatirkan terlalu benci nanti malah jadi cinta lho."

Bagus yang sedari tadi menjadi pengamat yang budiman, iseng menggoda cucu galak Akung Hamid ini. Gadis-gadis di kampung ini rata-rata pemalu dan kemayu. Sementara si Milah ini tomboynya sampai ke pembuluh darahnya. Dengan rambut jagung pendek, mata coklat madu, serta kebaya kutu barunya, Milah terlihat seperti seorang artis bule yang tengah shooting di desa.

Jika dibandingkan dengan Indah, pacarnya, karakter keduanya bagai langit dan bumi. Indah, manis dan menenangkan. Indah memperlakukannya seperti  hanya dirinyalah satu-satunya hal yang paling berarti di hidupnya. Indah itu wanita impian setiap laki-laki. Manis dan manut. Tidak seperti perempuan bar bar yang menatapnya dengan pandangan berapi-api begini. Tapi jujur, ada gelenyar aneh di pembuluh darahnya melihat sikap membangkang Jamilah ini. Ternyata perempuan yang tidak ngeh-ngeh saja, juga memiliki pesona magis sendiri. Ia merasa tertantang untuk menaklukkan api di kedua mata indahnya.

Bagus mengibaskan kepala. Membuang pikiran tidak-tidak yang sempat menyinggahi kepalanya. Tidak boleh! Ia tidak boleh terhanyut dalam pesona cucu Akung Hamid ini. Kemarin kedua orang tuanya sudah memperingatkannya secara langsung. Bahwa ia tidak boleh jatuh cinta pada Jamilah. Selain karena ia sudah memiliki Indah tentu saja, Jamilah itu terlarang baginya. Jujur, sebenarnya ia sedikit heran. Biasanya kedua orang tuanya tidak pernah mencampuri urusan pribadinya. Namun mengapa kali ini berbeda? Keduanya bahkan sampai berkali-kali memperingatinya, agar ia tidak lupa. Begitulah alasan kedua orang tuanya.

"Diem kagak lo? Kalo lo masih ribut aja, gue sumpelin ini ember ke mulut lo!" Alexa berbalik. Ia benar-benar butuh pelampiasan untuk meredakan emosinya sekarang.

"Masyaallah, Milah. Kamu ini benar-benar tidak ada manis-manisnya menjadi perempuan. Kalau kamu galak begini, siapa yang mau padamu? Kamu bisa nggak laku nanti, Milah." Bagus mengekor sembari menggeleng-gelengkan kepala. Alexa ini galaknya seperti singa.

Mendengar tuduhan seksis Bagus, Alexa membalikkan badan. Kalimat Bagus bukan hanya mencuil harga dirinya. Tapi juga harga diri semua perempuan di dunia. Bagus menjadikan wanita hanya sebagai komoditi alias barang dagangan. Pemikiran feodal ini, harus dimusnahkan!

"Eh lo denger baik-baik ya? Gue dan semua perempuan itu bukan barang dagangan. Bahwa kami harus bertingkah laku sesuai sesuai dengan keinginan si pemesan, agar kami dibeli dan terlepas dari predikat perawan tua, itu bukan zamannya lagi. Kami juga punya perasaan. Jadi kami juga berhak memilih pasangan yang sesuai dengan keinginan kami . Satu hal yang harus lo tahu. Kalo suatu saat gue nikah, itu karena gue yang memilih pasangan gue. Bukan hanya sekedar agar gue laku dan takut di cap sebagai perawan tua. Paham lo!"

Bagus termangu. Pemikiran Jamilah ini bukan pemikiran anak SMA yang putus sekolah. Karena sesungguhnya dibalik kata-kata ketusnya, Jamilah ini mampu merangkai kalimat hingga ia tidak kuasa untuk membantahnya. Jamilah ini cerdas!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status