Share

Bab 3

Alfheim adalah dunia para light elf. Terbagi menjadi lima wilayah yang memiliki ciri khas masing-masing dan dipimpin oleh penguasa berbeda di setiap wilayah. Penghuni Alfheim didominasi oleh kaum light elf, yang wajahnya sangat rupawan hingga mampu menyihir siapa pun untuk selalu mengagumi kecantikan fisik mereka. Meski begitu, jenis peri lain juga terdapat di Alfheim, walau populasinya tidak terlalu banyak dan tidak mendominasi, terutama dari segi kekuasaan.

Niels memacu kudanya menuju perbatasan wilayah selatan dan timur Alfheim. Iklim di wilayah selatan terasa cukup hangat dan cocok untuk melakukan kegiatan pertanian. Tak ayal daerah itu menjadi penghasil sumber makanan bagi wilayah-wilayah lain. Semakin menuju ke timur, suhu menjadi lebih panas. Niels dan rombongannya sampai harus beristirahat dan meneguk sesekali perbekalan air mereka agar tidak kehausan.

“Serius? Kita bahkan dikerahkan ke wilayah yang bukan penjagaan kita. Apa mereka sebegitu lemahnya sampai harus mendapat bantuan?” keluh salah seorang elf berambut perak.

“Hentikan omongan itu. Kau mau menghina misi kita?” sungut Syver. “Kita tidak akan dikerahkan ke sana kalau mereka tidak benar-benar membutuhkan bantuan. Menurutmu melawan raksasa adalah hal yang mudah?”

Elf berambut perak tadi hendak memprotes, tetapi Niels angkat bicara dan memerintahkan rombongannya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke wilayah perbatasan timur.

Niels memimpin dengan berani, dia bersyukur memiliki Syver yang selalu membelanya dan menjadi tangan kanannya untuk mengatasi bawahan yang sering mengeluh. Mulanya Niels memang merasa segan pada Syver, apalagi usia mereka terpaut hampir sepuluh tahun dan Niels termasuk sorang pelindung yang usianya cukup muda.

Niels bekerja sebagai penjaga dan pelindung perbatasan antar dunia. Misinya kali ini pergi ke wilayah perbatasan timur dikarenakan ada laporan bahwa sesosok raksasa meuncul ke Alfheim dan meresahkan penduduk di sana. Entah apa tujuan raksasa itu, tetapi Niels tidak suka jika ada orang tak bersalah menjadi korban.

Ketika jalanan semakin menurun dan landai, suhu terasa panas dan angin menerbangkan debu-debu yang mengganggu mata. Wilayah timur terkenal dengan sebutan daerah matahari bersinar, sebab musim panas terasa sangat lama di sepanjang tahunnya. Gurun-gurun ganas pun banyak mendominasi wilayah timur, bahkan daerah yang berbatasan dengan wilayah selatan pun masih terasa panasnya.

Rombongan mereka tiba di salah satu desa perbatasan, ditandai dengan sungai yang membagi antara wilayah selatan dan timur. Rumah-rumah di sana berbentuk kotak dan sedikit jendela, Niels tidak melihat seorang elf pun berada di luar. Sementara di suatu titik, Niels mendapati sesosok raksasa tengah duduk santai memainkan pasir seakan menunggu kedatangan mereka.

Niels dan rekannya bergerak mendekat, mamacu kudanya sambil bersiaga dengan busur panah serta pedang sebagai senjata.

"Tahan!" seru Niels saat mereka berjarak cukup dekat dengan raksasa itu.

Di sekeliling mereka, para prajurit pelindung perbatasan tampak terkapar tidak berdaya, entah mereka sudah mati atau beberapa masih hidup, tetapi yang pasti Niels menduga kalau raksasa inilah penyebabnya.

"Nyamuk-nyamuk seperti kalian datang lagi, apa kalian tidak punya kerjaan sampai mau bertarung terus-terusan?" Suara sosok raksasa itu menggelegar, padahal dia berbicara pelan.

Raksasa itu berdiri, dia membetulkan posisi sarung tangannya yang besar dan tebal lalu memasang kuda-kuda seolah siap untuk bertarung.

Seorang elf meluncurkan panahnya, tetapi dihalau oleh tangan si raksasa yang sudah ditamengi sarung tangan. Niels merasa kesal karena anak baru itu bertindak gegabah padahal belum diberi perintah. Atas tindakan tersebut, dia pun menyerukan penyerangan.

"Serang! Tapi jangan sampai menbunuhnya!" teriak Niels.

Rombongan elf serempak menyerang dari segala sisi. Satu lawan dua belas sungguh tidak begitu adil. Akan tetapi, ukuran besar dan kecil juga tampak tidak seimbang.

Sang raksasa meski memiliki tubuh yang besar, gerakannya gesit, dia tahu arah serangan yang akan datang, sehingga dengan sigap menghalau semua gempuran dari para elf.

Niels melepas jubah biru tua panjangnya dan mengubah benda itu menjadi sesosok elang, membiarkannya terbang mengelilingi tubuh sang raksasa. Tanpa membuang waktu, dia pun bergerak cepat menerjang sang raksasa menggunakan pedangnya yang terhunus.

Sang raksasa meraung mengerikan. Dia mengentak kaki dan membuat tanah berguncang. Para elf kehilangan keseimbangan, dan pada kesempatan terbuka itu sang raksasa menyapu sosok-sosok kecil pengganggunya.

"Rupanya sekarang  kalian memang sangat menyebalkan, selalu senang menyerang dan tidak mau berkompromi!" teriak sosok besar itu. “Ke mana perginya kebijaksanaan kalian?”

Tanpa ada yang menjawab pertanyaan sang raksasan, Niels menggerakkan tanah untuk membentuk kuncian di kedua kaki raksasa hingga sosok besar itu roboh dan tidak bisa bergerak. Di atas, elang bentukan Niels menjadi mata kedua bagi lelaki itu, dia jadi tahu berbagai sisi yang menguntungkan untuk bertarung.

Niels dan para elf berhenti menyerang. Sang raksasa sudah terbelenggu pada jerat hingga terdiam pasrah. Di kala itu, Niels bergerak mendekat. Dia merasa penasaran dan ingin mengorek informasi lebih jauh.

"Mengapa sosok seperti dirimu muncul ke Alfheim? Apa Jotunheim sudah membosankan bagimu?"

Raksasa menggeram dan merutuk tidak jelas, lebih terdengar seperti gemuruh di langit yang mengerikan. Dia lantas memandang Niels sehingga mata mereka beradu dan Niels menangkap sorot kepiluan di mata besar itu.

"Aku hanya ingin mengambil anakku. Kalian pikir berita eksekusi itu tidak terendus dunia lain? Aku sudah tahu, dan aku ingin menyelamatkan anakku dari tindakan busuk pemimpin kalian!"

Niels terdiam mendengarkan, sementara para elf lain kembali bersiaga di segala sisi.

"Sebaiknya kau kembali ke duniamu, aku memberimu kesempatan."

Sontak para elf lain memandang Niles kebingungan, mengapa pemimpinnya malah membebaskan raksasa itu?

Syver menyentuh pundak Niels hendak mengatakan keraguannya. Tetapi Niels lantas berseru. "Kembalilah sekarang!"

Bersamaan dengan telapak tangan Niels yang memegang wajah raksasa itu, tanah berpasir di sekitar mereka naik menyelimuti sang raksasa, perlahan-lahan sosok besar itu pun hilang ditelan pasir.

Semua tercengang melihat Niels mendadak membentuk portal antar dunia dan mengembalikan sang raksasa ke Jotunheim, tindakan itu terlihat seperti bukan Niels yang biasanya—tak kenal ampun pada lawab. Para elf masih terguncang, tetapi mereka tidak punya cukup keberanian untuk menentang Niels.

"Jangan tulis laporan tentang kejadian ini. Anggap saja kita belum beruntung untuk bisa menangkap raksasa kali ini."

Syver langsung semangguk saat mendengar perintah itu, tetapi tidak dengan para elf yang lain terutama para prajurit baru.

Setelah menolong para penjaga perbatasan yang semula bertarung dengan raksasa, Niels dan pasukannya kembali ke wilayah selatan. Sesampainya mereka di markas, Syver mengumpulkan pasukannya dan segera menghapus ingatan tentang pertemuan mereka dengan sang raksasa atas perintah Niels.

***

Greta terbangun di ruang gelap yang dingin. Dia terbaring pada sebuah sel berukuran dua kali dua meter berdinding batu di ketiga sisi. Sementara di depan, terdapat jeruji-jeruji besi yang berdiri renggang membatasi akses keluar.

Greta berusaha bangkit meski punggungnya terasa sakit. Di petak penjara itu dia berkeliling gelisah. Isinya kosong, tidak ada kursi kayu atau benda lain yang memenuhi ruangan selain kedua tangan Greta yang terbelenggu oleh rantasi besi yang kokoh.

Hanya satu pertanyaan yang melintas di kepalanya.

Di mana kini dia berada?

Ingatannya kemudian datang menyengat otak, terputar pada kejadian beberapa jam bahkan beberapa hari lalu mungkin? Greta tidak terlalu mengingat waktu, tetapi kejadian itu penuh kericuhan, kepiluan, dan kengerian.

Dia ingat ketika desanya diserang para makhluk terang. Dia ingat ketika Gunther mati tertusuk panah. Dia ingat ketika ibunya mendorong Greta ke sumur. Dia ingat suara ledakan yang membuatnya terpaksa berenang menuju laut, tetapi setelah itu dia tidak ingat lagi. Hingga kilasan memori itu menunjukkan bahwa dia digiring seperti tawanan, melewati tempat-tempat indah tetapi melihat hal mengerikan.

Sepanjang jalan itu Greta melihat bagaimana para elf dieksekusi di alun-alun, menjadi tontotan bagi elf lain sambil berteriak penuh kebencian dan sorot mata yang memandang rendah. Pada hari itu Greta ingat setidaknya ada lima orang yang dieksekusi, kesemuanya diberi suntikan mati dan langsung tidak berdaya, sementara di lain sisi Greta mendengar para elf yang menonton menyerukan ingin melihat eksekusi yang lebih pantas, lebih menyakitkan hingga tidak ada ampun bagi para pendosa.

Setelah itu Greta tidak ingat lagi, sampai akhirnya dia terbangun di petak penjara sempit ini.

Greta beringsut menuju jeruji besi, dia memerhatikan sekelilingnya yang tampak gelap, hanya ada beberapa obor di dinding yang memancarkan cahaya yang tidak terlalu membantu.

Derap langkah kaki terdengar mendekat, Greta menebak sepertinya ada tiga atau empat orang. Mereka berjalan pelan, memeriksa setiap isi sel dengan cermat hingga ketiga sosok rupawan itu berhenti tepat di depan sel yang Greta tempati.

Seorang berjubah putih panjang menatapnya lekat, dia terlihat muda tetapi tersorot penuh kekuasaan di mata birunya. Netra berkilau itu memandangnya dari atas sampai bawah, seolah berusaha mencari sesuatu dalam diri Greta.

Gadis itu ingat, sosok di depannya ini adalah seorang elf yang duduk di singgasana perak dan menyaksikan ekseskusi berlangsung di alun-alun. Saat itu Greta yakin bahwa dialah yang memiliki kekuasaan penuh di wilayah ini.

"Apa ada sesuatu?" kata seseorang di sampingnya, dia bertubuh lebih tua seperti usia empat puluhan, memiliki rambut putih panjang dan mata abu-abu yang lelah.

Elf berjubah putih menggeleng. "Kita lanjut ke yg berikutnya."

Setelah itu mereka berdua pergi melangkah ke sel selanjutnya yang Greta duga pasti berisi tawanan seperti dirinya. Sementara itu, seorang elf penjaga penjara yang mendapingi mereka tidak segera menyusul, melainkan berjalan mendekat kepada Greta yang terhalang besi kemudian berbisik.

"Makhluk rendahan."

Darah gadis itu mendidih, dia diliputi amarah karena telah mendapat hinaan. Meski begitu, Greta belum bisa melakukan apa-apa, posisinya sungguh tidak menguntungkan dan tidak berdaya.

"Besok kau akan dialihkan ke Kamp, bersama makhluk-makhluk rendahan lain. Dan tunggu saja tanggal eksekusimu." Sang penjaga itu menyeringai lalu pergi.

Greta mendadak terkejut mendengar itu. Jadi dia juga akan dieksekusi? Mengapa? Apa di mata mereka manusia adalah makhluk rendah?

Greta tidak bisa menghentikan pikiran-pikiran di kepalanya, tetapi satu hal yang pasti dia harus bebas bagaimana pun caranya. Sebab dia tidak bersalah sama sekali.[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status